Jakarta, 2/4 (ANTARA) - Kinerja PT Garuda Indonesia pada akhir 2006 masih
menunjukkan kinerja keuangnnya yang kurang baik, hal itu antara lain karena masih adanya warisan utang dari masa lalu.
Tingkat rata-rata cash flow per bulan mengalami kenaikan mencapai sekitar 13
persen per bulan atau 89 juta dolar AS dibanding tahun sebelumnya, tetapi kerugian pada perusahaan itu masih cukup besar atau mencapai Rp191,9 miliar, kata Kepala Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Keuangan, ESCOM, Oke F. Supit di Jakarta, Senin.
Dikatakan, berdasarkan data keuangan perusahaan penerbangan nasional itu, terungkap
bahwa kerugian usaha itu disebabkan beban utang di masa lalu yang belum terselesaikan.
Akibatnya, BUMN harus menanggung beban rugi Rp 191,9 miliar pada 2006, dan
sebelumnya pada 2005 kerugian itu mencapai Rp 362,1 miliar.
Walau beban rugi tersebut cenderung menurun, menurut salah satu sumber menyebutkan,
beban utang itu bermula dari pembelian pesawat Airbus (A-330) yang dibeli seharga US$660 juta pada 1989.
Pembelian A-330 pada saat itu bukan berasal dari anggaran sendiri, melainkan melalui
sebuah konsorsium Morgan Grenfell yang sanggup ‘menalangi’ pembayarannya. Kemudian
konsorsium itu membentuk model special purpose vechicle (SPV) dengan nama GIE ‘Sulawesi’.
Selain itu, Garuda Indonesia juga menjalin kerja sama serupa dengan grup Jepang
Yamasa dengan membentuk SPV yang bernama GIE ‘Sumatera’. Sehingga beban Garuda semakin berat karena setiap tahun harus membayar biaya operating lease yang cukup besar.
Dirut PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, dalam dengar dengan Komisi V DPR belum
lama ini mengakui, jumlah utang perusahaannya hingga akhir 2006 tercatat US$748,05 juta, diantaranya US$470 juta merupakan beban utang pembelian pesawat A-330 tersebut. “Jadi kita tetap saja masih berutang,” ujarnya.
Adanya kredit bermasalah di Garuda itu merupakan masalah lama dan struktural yang
perlu penanganan secara baik, katanya.
Monday, April 2, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment