Untouchable Mega Corruption?

Kasus Mega Korupsi Yang Sudah Sangat Transparan, dan Sangat Membebani Garuda. Kasus ini harus diusut karena sebesar US$ 470 juta dari US$ 748 juta utang Garuda berasal dari pembelian A330-300 tersebut. Artinya, Garuda hingga kini membayar utang hasil Mega Korupsi Mark Up, bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya.................

>>>Namun hingga saat ini belum tersentuh Aparat Penegak Hukum & Pemberantas Korupsi Republik Indonesia<<<

ADA APA DENGAN APARAT KITA?

MOHON DUKUNGAN MASYARAKAT & SEGENAP KARYAWAN GARUDA UNTUK MELAKUKAN KONTROL SOSIAL TERHADAP KASUS MEGA KORUPSI INI.

INFO PEDULI KITA

Jika kita memiliki info dan data-data sekitar kasus ini silakan mengirimkannya ke mega_dosa_garuda@yahoo.com kerahasiaan dan keamanan kita dijamin. "Kalau bukan kita siapa lagi?"

Thursday, February 4, 1999

SKANDAL MEMO HABIBIE DI MERPATI

http://www.mail-archive.com/siarlist@minipostgresql.org/msg00358.html

CePe---SKANDAL MEMO HABIBIE DI MERPATI (Bagian Kedua)
SiaR News Service
Thu, 4 Feb 1999 02:13:49 -0500

Precedence: bulk


Jakarta, Indonesia
23 Desember 1998

SKANDAL MEMO HABIBIE DI MERPATI (Bagian Kedua)

Oleh Rahmat Yunianto
Reporter Crash Program

JAKARTA --- Merpati Nusantara Airlines (MNA), terancam gulung tikar.
Perusahaan burung besi itu tak mampu lagi menanggung beban utang yang kian
menjulang. Sekadar gambaran, berdasarkan neraca keuangan terakhir, per
Agustus kemarin, Merpati mesti nombok sekitar Rp323 miliar. Negative capital
inflow-nya malah menembus angka Rp605 miliar. Kondisi ini menempatkan
Merpati kembali pada posisi seperti di tahun 1978 kala perusahaan itu tak
mampu lagi beroperasi.

Trend merugi anak perusahaan PT Garuda Indonesia Airways ini berkait erat
dengan misi yang dibebankan sejak kelahirannya. Kala didirikan pada 6
September 1962 dengan nama Perusahaan Negara Perhubungan Udara Daerah dan
Penerbangan Serba Guna Merpati Nusantara (PN Merpati), pemerintah menetapkan
Merpati sebagai perintis pembuka jalur penerbangan ke daerah-daerah
terpencil. Tentunya jalur ini sepi penumpang.

Di tahun-tahun berikutnya beban Merpati kian berat, yakni setelah pemerintah
"memintanya" menjadi pengasuh produk-produk Industri Pesawat Terbang
Nusantara (IPTN), Bandung. Diawali dengan permintaan agar Merpati membeli 15
buah pesawat produk IPTN, CN-235 seri 10, pada pertengahan 1986. Ketika itu
direksi Merpati menerima dengan syarat pemerintah yang akan menanggung
kredit pembelian pesawatnya, sedangkan Merpati menanggung biaya operasinya.

Di tahun 1992 kembali Merpati dihadang dilema. Saat itu muncul kebijakan
baru, Garuda melepas Merpati. Akibatnya, Merpati harus merelakan kehilangan
20 persen rute gemuknya, yang berdampak hilangnya pendapatan potensialnya.
Jelaslah sudah posisi Merpati. Perusahaan tersebut bukan Mister Profit.
Merpati lebih mengemban misi pemerintah ketimbang murni mengejar profit.

Agaknya Merpati lahir buat diobok-obok sampai mabok. Menurut mantan Dirut
Merpati, Ridwan Fataruddin, "gangguan" terbesar terjadi ketika Merpati
menjadi babysitter produk-produk IPTN. Dari dokumen yang berhasil ditemukan
terlihat bagaimana Merpati "diintervensi" Habibie yang kala itu menjabat
menteri riset dan teknologi dan direktur utama (dirut) IPTN.

Salah satu kasus intervensi Habibie terlihat dalam pembelian pesawat
Advanced Turbo Prop (ATP) di tahun 1991. Dalam pemilihan pesawat tersebut
terlihat jelas Habibie lebih mendahulukan kepentingan IPTN ketimbang bisnis
Merpati. Kasus ini sempat memicu perseteruan keras antara Habibie dan mantan
Dirut Garuda Muhamad Soeparno.

Beberapa tahun kemudian kembali muncul skandal besar. Menurut pengakuan
Fataruddin, Habibie dan Merpati sempat membuat perjanjian fiktif di hadapan
Presiden Soeharto dalam suatu upacara resmi.

Kisahnya dimulai ketika Presiden Soeharto meresmikan pemunculan pesawat
N-250 pada hari Kamis, 10 November 1994. Tak lama kemudian digelar acara
seremonial penandatanganan perjanjian yang menyatakan Merpati siap
menggunakan 150 buah pesawat CN-235 dan N-250. Nota kesepakatan itu
ditandatangani Fataruddin dan Habibie di hadapan Pak Harto. "Anda bayangkan,
mungkin nggak pesawat sebanyak itu dibeli atau disewa Merpati?" tanya
Fataruddin. "Saya hanya mau bilang, MOU itu sebenarnya fiktif. Itu
dimaksudkan untuk menggambarkan kepada Pak Harto betapa produksi IPTN itu
sudah terpasarkan."

Adalah Haryanto Dhanutirto yang membela diri. Menurutnya, berhitung pada
kondisi pasar ketika itu yang tengah tumbuh, 10,5 juta penumpang, pengadaan
150 buah CN-235 dan N-250 sangat realistis. "Tapi kenyataannya kan nggak
jalan. Karena krisis ekonomi akhirnya nggak ada penumpang," sanggah
Fataruddin.

Akhirnya proyek itu kandas. Dan setahun kemudian Merpati kembali terhimpit.
Di penghujung 1995, Fataruddin mengaku didesak Dhanutirto untuk menambah
armadanya dengan CN-235 (seri 200). Kali ini transaksinya lebih memberatkan.
Merpati tak langsung berhubungan dengan IPTN, tetapi melalui pihak ketiga,
PT Arthasaka Nusaphala (ASN) milik Indra Bakrie dan Hutomo Mandala Putera.

Dhanutirto membantah pernah melakukan pemaksaan. "Saya hanya mempertemukan
Merpati dengan IPTN. Selebihnya saya tidak turut campur," ujarnya. Entah,
mana yang benar. Yang jelas, tawaran tersebut sempat ditampik direksi
Merpati. Selain selama ini CN merugi, sewa beli per unitnya dinilai tinggi,
US$110 ribu per bulan. Padahal leasing sebuah Boeing 737-200 yang
kemampuannya jauh melebihi CN, tak lebih dari US$105 ribu per bulan per
unit. "Kemampuan Merpati pun ketika itu cuma US$70 ribu per bulan per
unitnya," aku Fataruddin.

Penolakan Merpati itu sempat membuat geger. Sampai meruyak isu yang
menyebutkan Fataruddin bakal dicopot dari jabatannya lantaran membangkang.
Belakangan hari terbukti Fataruddin harus rela turun dari jabatannya.
Bahkan, menurut Fataruddin, Pak Harto sampai "menyentilnya". "Masih ada
orang Indonesia yang tidak mendukung produk nasional," ujar Pak Harto di
pesawat yang membawanya pulang dari lawatan ke Mesir pada 1995. Ucapan itu
keluar, kata Fataruddin, setelah Dhanutirto dan Habibie melaporkannya di
Mesir.

Bukan apa-apa. Merpati sudah memperhitungkan, kalau menggunakan CN-235,
mereka bakal merugi. Pertama, pesawat itu hanya bisa terbang satu jam dengan
penumpang 35 orang. Jarak tempuhnya cuma Jakarta-Semarang. Padahal, di jalur
itu ada F-28 dan jet. "Tentunya CN tak menarik minat penumpang. Kita kalah
bersaing," ungkap Fataruddin.

Fataruddin mengaku tidak alergi terhadap produk-produk IPTN. Pertimbangannya
semata bisnis murni. Namun, yang terjadi muatan politis lebih kuat. "Kalau
memang misi pemerintah dan MNA satu-satunya pengguna produk IPTN, ya
pemerintah harus turut bertanggung jawab dong," ujar Fataruddin.

Sejak "mengasuh" CN-235, Merpati memang terus rugi. Padahal, Dirut Garuda
kala itu mengeluarkan surat yang menyetujui Merpati menggunakan produk IPTN
sepanjang tidak merugikan Merpati. "Kata-kata ‘sepanjang tidak merugikan
Merpati’ itu yang saya pegang. Saya harus menyelamatkan perusahaan. Justru
kalau tidak, saya akan dicap tidak benar menjalankan tugas," dalihnya.

Sejak 1986 hingga 1995, pesawat yang efektif beroperasi cuma delapan dari 15
unit yang ada di Merpati. Laporan keuangan Merpati 1995 mengungkapkan,
selama satu tahun kerugian yang harus dipikul sekitar Rp2,2 miliar.
Maklumlah, "Sebagai produk baru, CN-235 ada baby sickness-nya," kata
Fataruddin.

Ada sebuah skandal lain yang tersimpan rapi dalam arsip Merpati. Kasusnya
terbilang basi lantaran terjadi di pertengahan 1991. Ceritanya dibuka saat
Merpati merencanakan menggantikan pesawat-pesawat tuanya, F-27 dan HS-748.
Ada empat alternatif pesawat pengganti yang diajukan oleh Merpati: DASH
8/300 dari de Havilland Boeing Canada, Fokker 50 dari Belanda, ATP dari
British Aerospace (Bae), dan Avions de Transport Regional (ATR) 72 dari
Prancis/Italia.

Singkat kisah, cuma dua alternatif terpilih: ATP dan ATR 72. Proses
pemilihan ini berlangsung seru karena terjadi benturan hebat antara Habibie
dan Merpati serta Garuda. Habibie dengan kepentingan IPTN, sedangkan Merpati
dengan pure airline business.

Ketika Merpati tengah membanding-bandingkan kedua jenis pesawat itu,
tiba-tiba BAe mendemostrasikan pesawat ATP-nya di hadapan Habibie. Sejak
itu, IPTN lebih intens membicarakan ATP ketimbang ATR.

Gambaran konflik interes tersebut sangat transparan diperlihatkan dalam
dokumen yang berhasil diperoleh. Misalnya, bagaimana ATR harus terlempar
dari ajang penawarannya ke Merpati, padahal sebenarnya Merpati lebih condong
memilih ATR.

Salah satu temuan adalah layangan surat Senior Vice President Marketing and
Sales ATR, P. Revelli-Beaumont, ke Habibie, 1 Mei 1991. Ia mengatakan,
merujuk pada diskusi mereka beberapa bulan sebelumnya, maka pihak ATR
memberikan proposal penawaran terbaru kepada Garuda-Merpati, 23 April 1991,
untuk menjual 20 pesawat ATR.

Lebih jauh Revelli menuturkan, jika transaksi bisnis ini berjalan mulus, ATR
akan memberi kompensasi, antara lain ATR akan membeli sebuah pesawat CN-235.
Karena CN-235 akan dioperasikan di Amerika, maka pembeliannya harus melalui
syarat-syarat. Pertama, Pesetujuan pembelian pesawat CN-235 tersebut
dilakukan antara IPTN, ATR dan atau pihak pembeli dari Amerika yang merujuk
pada syarat-syarat yang dikeluarkan oleh IPTN. Kedua, IPTN akan mendapatkan
sertifikasi tipe 25 untuk CN-235 dari Federal Aviation Administration (FAA);
ATR bersedia membantu mengusahakan agar IPTN memperoleh sertifikasi tipe 25
untuk CN-235; dan ATR akan memberikan program bantuan kepada IPTN senilai
US$5 juta (atas persetujuan kedua belah pihak). Rupanya Habibie tak
berkenan. Pada surat ATR itu Habibie langsung memberikan catatan "No
interest". Catatan itu ditutup dengan paraf Habibie, tertanggal 20 Mei 1991.

Penolakan itu bisa dimaklumi, karena secara diam-diam pada 18 Maret 1991,
sebulan sebelum ATR melayangkan surat, Habibie -- tanpa memberitahukan
kepada Merpati dan Garuda -- telah menyetujui surat penawaran ATP,
tertanggal 6 Maret 1991. Dalam pembukaan surat itu Managing Director
Airlines Division ATP, C.B.G. Masefield, menuturkan, "Adam Strachan-Stephens
(Sales Manager Bae, ed.) mengatakan kepada saya, kalau Anda (Habibie, ed.)
sangat memuji pesawat ATP. Kami sangat gembira mendemonstrasikannya kepada
Anda. Beberapa bulan terakhir ini BAe -- yang disebutkan dalam surat
terdahulu -- telah menawarkan kepada IPTN bantuan teknis untuk memperoleh
sertifikat British JAR untuk pesawat-pesawat buatan IPTN," tulisnya.

Selanjutnya, Masefield menulis, ia akan mengambil kesempatan itu untuk
membantu mengembangkan perekonomian Indonesia dan IPTN yang akan dituangkan
dalam bentuk proposal, seperti memberikan bantuan IPTN senilai US$5 juta;
sertifikasi dari JAR akan memperluas pangsa pasar IPTN; sertifikasi ini akan
membuat para pembuat CN-235 punya akses dengan Canadian Aviation
Administration (CAA) dan DGAC. Ini merupakan pengalaman penting untuk
pembuatan N-250. Maskapai penerbangan regional juga akan lebih tertarik pada
N-250 dengan adanya pendekatan ekonomi modern dari ATP -- pesawat turbo pro
yang memiliki 72 tempat duduk.

Berikutnya Masefield mengatakan, maskapai penerbangan Inggris akan
memberikan persetujuan pendahuluan untuk pembuatan sertifikasi IPTN. BAe
juga akan aktif mencari calon pelanggan bila dialog antara IPTN dan BAe
mengenai perjanjian di atas telah disepakati, termasuk akan menyediakan
jaringan pemasaran di dunia untuk membantu pemasaran CN-235. "Kami sangat
yakin bantuan semacam itu pada masa mendatang akan membuka peluang untuk
pemasaran pesawat buatan IPTN," katanya.

Nah, pada lembar muka surat tersebut Habibie membubuhkan catatan yang
ditujukan untuk, antara lain Ir. Ramelan, Ir. Paramajuda, Dirut Garuda (kala
itu dijabat Soeparno), Dirut Merpati (kala itu dijabat almarhum Frans
Hendrik Sumolang), dan Prof. Billy Judono (Menteri Perdagangan). Catatannya:
"ACC. Diproses segera negosiasi dengan BAe mengenai ATP sebagai alternatif
pengadaan Dash.8." Di bawahnya terdapat tanda tangan Habibie, 18 Maret 1991.

Selidik punya selidik, ternyata jauh-jauh hari sebelum ATR mengajukan surat
penawaran, IPTN sudah mengadakan pertemuan intensif dengan tim BAe dan DGAC.
Data confidential yang berhasil diperoleh menyebutkan, rapat "istimewa"
tersebut telah berlangsung sejak 25 April sampai 30 April 1991. Bahkan,
dalam dokumen tersebut telah disusun draf outline schedule-nya, seperti MOU
dengan Merpati akan dilaksanakan pada Mei 1991. Sedangkan kontraknya akan
dilakukan pada Juli 1991.

Jadi, tak heran kalau Habibie meng-acc dua surat sekaligus pada 18 Maret
1991. Surat pertama dari BAe, satunya lagi dari Paramajuda. Intinya, dalam
suratnya Paramajuda menyarankan agar Habibie lebih memilih ATP ketimbang ATR
dengan beberapa pertimbangan. Di antaranya, bila ATR bersedia membantu
proses sertifikasi bagi CN-235, maka sertifikasi tersebut adalah sertifikasi
Prancis, yang dampak langsung penjualannya secara internasional tidak seluas
ketimbang sertifikasi CAA-Inggeris. ATR pun memproduksi ATR-42 yang sekelas
CN-235 dan secara langsung menjadi saingan CN-235. "Kalaupun proses
sertifikasi nantinya ditawarkan ATR, itu pun diragukan kesungguhannya,
mengingat ATR mempunyai produksi ATR-42."

Sebaliknya dengan ATP. Pesawat tersebut buatan BAe Inggeris dengan
sertifikasi CAA. Kapasitas penumpangnya kurang lebih 70 pax -- berarti di
luar kelas CN-235 -- sehingga diharapkan tidak menjadi saingan pemasaran
bagi IPTN. Sedangkan BAe tidak memproduksi pesawat terbang penumpang sekelas
CN-235. "Maka penawaran BAe mengadakan joint marketing CN-235 di pasar
Internasional adalah wajar," tulisnya. Apalagi mengingat sertifikasi CAA
cukup berpengaruh dalam penjualan pesawat terbang secara internasional.
"Atas dasar analisis dampak pemasaran di atas, maka pemilihan ATP-BAe lebih
menguntungkan IPTN."

Lantas, bagaimana dengan Merpati? Inilah soalnya. Semua pertimbangan IPTN
sekadar demi keuntungan IPTN belaka. Menurut sebuah sumber yang mengetahui
persoalan ini, direksi Merpati melihat putusan Menristek sebagai bencana.
Secara ekonomis, Merpati lebih memilih ATR ketimbang ATP. Selain cost
operation-nya lebih murah, suku cadangnya pun mudah diperoleh, mengingat
populasi ATR yang lebih banyak ketimbang ATP.

Namun, rupanya faktor politis adalah panglima. Dirut Merpati, Sumolang, 14
Mei 1991, terpaksa menyetujuinya setelah mendapat surat pengarahan dari
Habibie. Berdasarkan dokumen yang diperoleh, perlawanan justru datang dari
Dirut Garuda Muhamad Soeparno. Dalam suratnya, 5 Juni 1991, yang ditujukan
kepada Habibie, Soeparno secara garis besar mengatakan, "Berdasarkan
analisis teknis dan ekonomis, maka yang sangat feasible dari segi perusahaan
adalah ATR 72," ujarnya. (Lihat tabel perbandingan ATR dan ATP). ATR pun
lebih banyak memberikan manfaat bagi IPTN ketimbang ATP (lihat tabel).
"…Kami mohon persetujuan Bapak agar Merpati dapat menggunakan pesawat baru
ATR 72."

Kala ditunjukkan surat itu, Soeparno membenarkan. Menurutnya, pertimbangan
itu didasarkan atas profitability dan efisiensi semata. Sebelumnya pun sudah
dibahas dengan dewan komisaris. Dari komisaris lantas dimintakan izin kepada
pemegang saham. Begitu memang prosedur standarnya. "Tapi kan ada intervensi,
jangan pakai pesawat itu, ini aja. Lho, kita yang akan mengoperasikan.
Makanya maskapai kita paling lucu di dunia. Semua jenis pesawat ada di
Merpati. Karena menghadapi permintaan dari segala penjuru," sungutnya
mengenang kala itu. "Ada bos ini, bos itu, yang kemauannya beda-beda. Kalau
sampeyan nggak nuruti, yo wis, sampeyan pensiun wae. Kan gitu? Bukan karena
jaminan Anda tidak mampu lalu dipensiun," kata Soeparno.

Begitulah. Akhirnya seperti kata pepatah: anjing menggonggong, kafilah
berlalu. Pertimbangan Soeparno tak ditanggapi. Menurut kacamata Habibie, ATP
lebih bisa diandalkan bagi pengembangan IPTN. Bukan demi Merpati.

Yang menjadi soal kini, dapat dibenarkankah kebijakan Habibie tersebut?
Kalau mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1980,
Menristek/Dirut IPTN tidak diberi kewenangan menentukan pembelian pesawat
Merpati. Inpres tersebut intinya mengatur pelarangan impor pesawat terbang
dan helikopter yang sejenis atau mempunyai fungsi yang sama dengan yang
telah, sedang, atau akan diproduksi IPTN. Padahal, baik ATP maupun ATR tidak
masuk persyaratan tersebut, termasuk tidak ada aturan yang mengharuskan
impor pesawat semata demi keuntungan IPTN.

Dalam kasus ini, obyektivitas Habibie terhadap kepentingan bisnis Merpati
minim. Menurut Ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Soedarjono,
"Tidak bisa pemilihan (bagi Merpati dilakukan, ed.) dengan mempertimbangkan
kepentingan institusi lain. Yang kita bicarakan adalah Merpati sebagai
business airline," ujarnya.

Orang-orang di pihak Habibie mengatakan, keputusan tersebut demi
perkembangan industri pesawat terbang nasional di kemudian hari. Namun
Soedarjono menyergah, "Merpati itu bukan lembaga riset. Dan kalau berpijak
kepada Inpres I/ 1980, itu artinya menyalagunakan Inpres."

Tragisnya, belum setahun ATP dioperasikan, Dhanutirto malah meng-grounded
seluruh pesawat (lima buah) itu sampai sekarang. Kebijakan itu diambil
begitu sebuah pesawat ATP (PK-MTX) jatuh dan terbakar di Bulutumbang,
Belitung, Tanjung Pandan, Sumatera, April 1997. Menurut prosedur
internasional, kata sebuah sumber di Merpati yang keberatan disebutkan jati
dirinya, sebenarnya Dhanutirto tidak perlu langsung meng-grounded. "Sayang,
Dhanutirto impulsif. Harusnya diteliti dahulu penyebabnya," ujarnya.
"Padahal leasing-nya habis sampai 1998. Bisa dibayangkan berapa kerugian MNA
untuk leasing. Sementara seluruh ATP di-grounded."

Sehabis masa sewa, pesawat itu harus dipulangkan, padahal pesawat itu sudah
lama tak dihidupkan mesinnya. Sedangkan untuk memulangkan, mesinnya harus
dihidupkan dan membutuhkan dana yang tak sedikit. Sumber yang sama
mengatakan, kalau dengan kurs yang sekarang, bisa sampai ratusan miliar
rupiah uang yang harus dikeluarkan oleh MNA untuk mengembalikannya.

Mungkin karena ketiadaan biaya, "Kelima pesawat itu masih dongkrok di
bandara sampai sekarang." kata sumber tersebut. Aduh, kasihan Merpati.

(Rahmat Yunianto adalah wartawan majalah Tajuk dan peserta Program Beasiswa
untuk Wartawan LP3Y-LPDS-ISAI)

Wednesday, January 13, 1999

KETIKA HARYANTO DHANUTIRTO MENG"GORENG" MERPATI

http://www.minihub.org/siarlist/msg01748.html

CePe---KETIKA HARYANTO DHANUTIRTO MENG"GORENG" MERPATI (Bagian Ketiga)

--------------------------------------------------------------------------------

To: siarlist@minihub.org
Subject: CePe---KETIKA HARYANTO DHANUTIRTO MENG"GORENG" MERPATI (Bagian Ketiga)
From: SiaR News Service
Date: Wed, 13 Jan 1999 09:33:44 -0700
Delivered-To: siarlist@minihub.org
Delivered-To: siarlist@minihub.org
Sender: owner-siarlist@minihub.org

--------------------------------------------------------------------------------

Precedence: bulk


Jakarta, Indonesia
23 Desember 1998

KETIKA HARYANTO DHANUTIRTO MENG"GORENG" MERPATI (Bagian Ketiga)

Oleh Rahmat Yunianto
Reporter Crash Program

JAKARTA --- Haryanto Dhanutirto, mantan Menteri Perhubungan (Menhub) zaman
Orde Baru diduga banyak sekali melakukan intervensi yang berbau korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN). Salah satunya adalah dalam jual beli pesawat di
PT Merpati Nusantara Airline (Merpati). Jual beli pesawat memang lahan empuk
nan menggiurkan.

Sebelum Dhanutirto menjadi menteri memang Merpati telah sering mendapat
intervensi dari para penguasa lainnya. Akibat banyaknya intervensi penguasa,
terdapat begitu banyak jenis pesawat di Merpati. Ironisnya, tidak ada satu
pesawat pun yang pembeliannya benar-benar terbebas dari unsur campur tangan
penguasa. Sebut saja mulai dari Dakota DC-3, De Havilland Otter DHC-3, Twin
Otter, Casa-212, Fokker-27, Fokker-28/3000, Fokker-28/4000, Fokker-100,
DC-9, ATP, CN-235, Boeing 737-200, hingga Airbus-300/600 dan Airbus-310/300.

Contoh suatu intervensi terlihat jelas ketika tiba-tiba pemerintah berencana
mendatangkan 32 unit pesawat Boeing 747-400 bekas Lufthansa Jerman. Seorang
sumber menyebutkan, saat itu Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) B.J.
Habibie mendapat tawaran dari Lufthansa Jerman. Merasa mendapat peluang
kerja sama antara Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) dan Lufthansa,
Menhub Dhanutirto pun menindaklanjuti tawaran itu dengan kesanggupan
mengambil 32 unit dan memerintahkan Garuda untuk membelinya.

Tanpa diduga, Wage Mulyono, Direktur Utama (Dirut) Garuda kala itu, menolak
keras perintah Menhub. Sudah kadung janji pada Lufthansa, pemerintah
terpaksa mendatangkan sepuluh unit pesawat. Ujung-ujungnya, Dhanutirto minta
Merpati, Sempati, Mandala dan Bouraq untuk menyewanya. Kesepuluh Boeing itu
pun dilego dengan harga sewa US$110 ribu per bulan per pesawat, kepada
Merpati dan Sempati masing-masing tiga unit, serta Bouraq dan Mandala
masing-masing dua unit.

Keterlibatan Dhanutirto dalam Leasing F-28

Gagal di Garuda, Dhanutirto berhasil intervensi di Merpati. Kejadiannya
bermula pada 23 Desember 1994. Siang itu, ruang kerja Menhub Dhanutirto
dikunjungi sejumlah tamu. Tampak hadir Hutomo Mandala Putra alias Tommy
Soeharto, Indra Usmansyah Bakrie, Dirut Garuda Wage Mulyono, Dirut Merpati
Ridwan Fataruddin, serta Mr. Konichi, mitra bisnis Tommy Soeharto asal
Jepang.

Ada apa gerangan? Ternyata hari itu dilakukan penandatanganan dua perjanjian
sekaligus di hadapan Menhub. Pertama, perjanjian jual beli pesawat antara PT
Garuda Indonesia dan PT Arthasaka Nusaphala. Kedua, penandatanganan
memorandum of understanding (MOU) antara PT Merpati Nusantara Airlines, PT
Arthasaka Nusaphala (Arthasaka), PT Sakanusa Dirgantara (SND) dan KFS (L)
Aviation Jepang mengenai leasing delapan unit pesawat Fokker-28/4000.

Sumber di Merpati yang tak mau disebut jati dirinya menyebutkan, Haryanto
Dhanutirto, Menhub ketika itu, mendesak direksi Garuda agar menjual
F-28/4000 sisa hibah kepada Arthasaka, kongsi dagang milik Bakrie dan Tommy
Soeharto. Alasannya, hal itu membantu keuangan Garuda yang sedang
membutuhkan kucuran dana. "Penjualan pesawat harus cash, dengan begitu
Garuda mendapatkan dana segar," tegas Dhanutirto.

Pada 1 Desember 1994, Arthasaka dan SND melayangkan proposal ke Merpati.
Indra Bakrie selaku presiden direktur (presdir) Arthasaka menawarkan leasing
delapan pesawat F-28/4000 untuk jangka waktu tujuh tahun, seharga US$315 per
jam per pesawat.

SND dan KFS (L) Aviation Inc., melakukan hal yang sama. Dalam surat yang
ditandatangani Tommy Soeharto, SND menawarkan jasa refurbishment and repair
(R&R) senilai US$210 per jam per pesawat. Sementara, KFS (L) Aviation,
perusahaan patungan Tommy Soeharto dan Konichi akan melakukan maintenance
pesawat seharga US$980 per jam per pesawat.

Selang beberapa hari, Dhanutirto menginstruksikan melalui telepon kepada
Ridwan Fataruddin, Dirut Merpati kala itu, agar menerima tawaran leasing
F-28 dari Arthasaka.

Sebenarnya, sumber itu berujar, tak beralasan Menhub melibatkan Arthasaka
dalam sewa menyewa ini walaupun tujuannya untuk mendapatkan uang cash buat
Garuda. Pasalnya, Arthasaka tidaklah membayar cash pada Garuda, tapi
mengangsur dengan membayar lima persen dari total harga pesawat US$22 juta
sebagai uang muka. Lagipula, kata si sumber, delapan pesawat F-28 dimaksud
masih dioperasikan Merpati dengan sewa murah dari Garuda.

Saat itu Merpati memang membutuhkan armada tambahan. Tapi, kalau harus
menerima tawaran Arthasaka atas desakan Dhanutirto, kata Fataruddin, hanya
menjadi beban Merpati di belakang hari. "Karena kekuasaan masih sangat
dominan saat itu, bagaimana lagi, akhirnya saya tandatangani MOU antara
saya, Tommy, Indra Bakrie, dan Konichi di depan Pak Dhanutirto."

Rupanya, ungkap sumber tadi, belakangan diketahui, telah terjadi perjanjian
jual beli "bersyarat" antara Garuda dan Arthasaka. Syaratnya? Untuk
pembayaran dan penyerahan pesawat dipersyaratkan kesediaan Merpati untuk
menyewa pesawat dimaksud. Dan ternyata, Merpati harus menandatangani MOU
"bersyarat" pula. Dalam MOU, Arthasaka sebagai lessor mempersyaratkan
Merpati menunjuk dan menandatangani perjanjian R&R dengan SND dan
maintenance pesawat dengan KFS.

Meski negosiasi berjalan alot, pada 30 Maret 1995, penandatanganan
perjanjian sewa menyewa berikut R&R serta maintenance pesawat tetap
dilakukan. Padahal, selama proses negosiasi Merpati berulang kali
melayangkan surat, baik kepada Direktorat Jenderal (Dirjen) Perhubungan
Udara maupun Menhub yang intinya Merpati berkeberatan.

Dalam surat tertanggal 3 Februari 1995, misalnya, Merpati membandingkan
biaya alih operasi F-28 dari Garuda dengan hanya menanggung biaya
maintenance 324 dolar AS per jam per pesawat dengan tawaran Arthasaka yang
US$1.495 per jam per pesawat.

Dalam surat tertanggal 13 Maret 1995 yang ditujukan langsung kepada Menhub,
Merpati mengatakan telah menghitung kemungkinan kerugian yang akan dialami
bila leasing itu diterima. Berdasarkan utilisasi yang ditargetkan anggaran
1995, Merpati akan menderita kerugian US$689,73 per jam per pesawat.

Belum lagi ketiga perusahaan itu tidak bersedia dipungut Pajak Penghasilan
(PPh)-nya. Padahal, menurut peraturan, Merpati sebagai Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) merupakan wajib pungut (WAPU) Pajak dan menyetorkan PPh dari
ketiga perusahaan di atas. Namun, kata Fataruddin, Tommy dan Indra Bakrie
sendiri yang datang langsung ke ruang kerjanya untuk meminta pembebasan PPh.

Apa boleh buat, leasing ajaib itu tetap tak terbendung. Kesepakatan harga
senilai US$315 per jam, R&R seharga US$115 per jam dan maintenance senilai
US$950 per jam per pesawat, menjadi kesepakatan di bawah tekanan. Total
lease cost menjadi US$1.480 per jam per pesawat.

Leasing itu memang tidak berjalan mulus. Lantaran tidak mampu memenuhi
pembayaran kepada Garuda, Arthasaka akhirnya mengalihkan hak lessor kepada
PT Bakrie Finance. SND dan KFS mengalihkan tanggung jawabnya kepada Fulcrum.
Dan, Fulcrum ujung-ujungnya menunjuk Garuda Maintenance Facility (GMF) untuk
R&R dan maintenance pesawat itu.

Dhanutirto Menentukan Direksi dan Komisaris

Intervensi Dhanutirto pun terlihat ketika terjadi pergantian jajaran direksi
Merpati dari Ridwan Fataruddin kepada Budiarto Subroto. Tak hanya mendesak
Dirut Garuda selaku presiden komisaris Merpati untuk segera melakukan
pergantian direksi Merpati, Dhanutirto, ucap si empunya cerita, turut pula
menentukan siapa-siapa yang akan duduk di jajaran direksi maupun komisaris
baru.

Sederetan nama, lanjut sumber itu, adalah titipan Dhanutirto, termasuk Dirut
Merpati Budiarto Subroto. Selain kawan satu almamaternya, Budiarto yang
sebelumnya menjabat direktur niaga, sempat menjadi staf ahli Menhub
Dhanutirto. Terdapat pula nama-nama, seperti Sudarso Kadri, sebelumnya
Kabiro TU BUMN, Matondang dari Badan Penelitian Pengembangan dan Teknologi
(BPPT) dan Ir. Basuki yang masih famili Dhanutirto, di jajaran komisaris
Merpati kala itu.

Campur tangan Menhub Dhanutirto, sering dianggap terlalu jauh. Sumber yang
sama mengatakan, Menhub dan pejabat Dephub lainnya turut serta hingga urusan
teknis operasional, menentukan pembuatan perencanaan kebijakan, fleet plan,
dan menentukan rute penerbangan.

Dhanutirto pun memutuskan penetapan dan pengeluaran izin jalur penerbangan,
mulai saat itu di bawah kendali Menhub. Terendus kabar, lanjut si sumber,
semua berkaitan dengan Sempati, airline milik Tommy Soeharto, yang tengah
beranjak menguasai jalur domestik. Maklum, Menteri ini memang dikenal dekat
dengan keluarga Cendana.

Bantahan Dhanutirto

Sejauh itukah? Jelas, Dhanutirto menepis semua tudingan itu. "Nggak. Nggak.
Nol besar itu," tandasnya ketika dimintai konfirmasi. Mantan menteri yang
mengantungi lisensi sebagai penerbang ini mengaku tidak pernah memaksa
Merpati menggunakan pesawat tertentu. Soal leasing F-28, umpamanya, itu
dilakukan karena kebutuhan Merpati sendiri. "Nggak ada saya paksa-paksa.
Kalau kemudian saya desak-desak terus, bukan apa-apa, karena pertumbuhan
jumlah penumpang waktu itu sangat tinggi," kilahnya.

Sebetulnya, masih Dhanutirto, F-28 berawal dari niat Garuda menyapih
Merpati. "Garuda bilang, boleh misah, tapi pesawatnya jangan di bawa. Nggak
bisa dong. Anak mau disapih kok ditelanjangi dulu. Saya minta sejumlah
pesawat dihibahkan kepada Merpati," paparnya. "Nah, pesawat sisa hibah,
karena Garuda butuh financing sementara Merpati butuh pesawat tapi nggak
punya duit, ya satu-satunya jalan lewat leasing. Saya hanya berpikiran
Merpati bisa dapat pesawat, Garuda dapat dana segar."

Dan, lanjutnya, tidak pernah dirinya memberi instruksi Merpati untuk
menerima tawaran Arthasaka. "I never give instruction untuk menangkan si
ini, si itu. Nggak ada. Cari yang termurah, cari yang terbagus, karena Anda
harus untung," tepisnya. Bahkan, akunya, justru dirinya memberikan
keleluasaan untuk membuka jalur-jalur gemuk hingga jalur internasional
sekalipun. "Pemikiran jangka panjang saya adalah membuka rute gemuk untuk
memberikan cost subsidy pada rute-rute kurus Merpati," akunya.

Dhanutirto juga membantah kalau Arthasaka dibilang tak membayar cash pada
Garuda. "Waktu itu saya bilang nggak bisa. Harus cash. Merpati bilang kenapa
nggak buat saya saja, nanti saya cicil. Saya bilang nggak bisa. Justru
Arthasaka muncul karena bersedia jadi financier. Jadi, kalau Menteri
menggabung-gabungkan ojo dibilang meksa," tambahnya.

Soal jalur terbang, diakui, pemerintah memang mengambil alih otoritas
Garuda. Sebab, di mana pun pemerintahlah yang menentukan jalur penerbangan
dan untuk kepentingan nasional. "Kalau kemudian pemerintah memasukkan
penerbangan asing, bukan supaya Garuda dan Merpati mati. Justru, dengan
masuknya asing, kita minta Garuda dan Merpati supaya belajar dan kuat,"
ujarnya.

Lantas, bagaimana dengan sederetan nama di jajaran direksi yang disinyalir
sebagai orang-orang dekatnya? "Saya katakan, saya tidak pernah ikut-ikutan,"
ucapnya. Ketika menjabat, dia mengaku, justru sangat memberikan keleluasaan
kepada Merpati dan BUMN lainnya untuk berkembang. "Saya nggak pernah
nggondeli, nggak pernah apa-apa. Pokoknya kembangkan dan kembangkan,"
akunya.

Entahlah. Paling tidak, beragamnya jenis pesawat, misalnya, telah membuat
Merpati selama ini beroperasi dengan biaya tinggi alias high cost economy.
Sebab, sumber tadi berucap, setiap jenis pesawat memiliki sejarah
sendiri-sendiri.

Sebutlah Dakota DC-3, De Havilland Otter DHC-3, serta Twin Otter, yang
merupakan pesawat dengan operation cost sangat tinggi, tapi tanpa profit
sama sekali. Pesawat-pesawat itu menerbangi jalur perintis sebagai
pelaksanaan misi pemerintah yang diembankan kepada Merpati. Selain itu,
terdapat Casa-212 dan CN-235 yang secara ekonomis tidak menguntungkan, tapi
harus tetap digunakan karena misi pengembangan produk nasional dari IPTN.
Adalagi F-27, F-28 dan DC-9 yang merupakan lungsuran (bekas pakai) dari
Garuda sebagai induk perusahaan Merpati.

F-100 pun sami mawon. Awalnya, pada 1989, Garuda memesan 12 unit F-100.
Tapi, ketika pesawat siap kirim, kata sumber tadi, Garuda tengah menjalankan
program alih operasi domestik kepada Merpati. Telanjur dipesan, akhirnya
F-100 diambil sebanyak enam unit. Tiga di antaranya dibeli dengan harga US$2
6 juta per unit dan tiga sisanya disewa seharga US$270 ribu per bulan.
Meskipun order atas nama Garuda, pesawat itu akhirnya dibayar dan digunakan
Merpati.

Rasanya Merpati memang ditakdirkan untuk selalu sarat beban. Mungkin benar
komentar mantan Dirut Garuda Muhamad Soeparno. Saking banyaknya muatan
kepentingan yang bermain, mengakibatkan kemerdekaan untuk mengelola
perusahaan tidak pernah ada. "Hampir di semua sektor bisnis airline,
intervensi itu pasti ada. Mulai dari katering sampai armada," ujar Soeparno.
Jadi, "Siapa pun yang duduk di manajemen tidak akan pernah berhasil, kalau
masih ada campur tangan dari kekuasaan," tambahnya.

(Rahmat Yunianto, adalah wartawan majalah Tajuk dan peserta Program Beasiswa
untuk Wartawan LP3Y-LPDS-ISAI)