Untouchable Mega Corruption?

Kasus Mega Korupsi Yang Sudah Sangat Transparan, dan Sangat Membebani Garuda. Kasus ini harus diusut karena sebesar US$ 470 juta dari US$ 748 juta utang Garuda berasal dari pembelian A330-300 tersebut. Artinya, Garuda hingga kini membayar utang hasil Mega Korupsi Mark Up, bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya.................

>>>Namun hingga saat ini belum tersentuh Aparat Penegak Hukum & Pemberantas Korupsi Republik Indonesia<<<

ADA APA DENGAN APARAT KITA?

MOHON DUKUNGAN MASYARAKAT & SEGENAP KARYAWAN GARUDA UNTUK MELAKUKAN KONTROL SOSIAL TERHADAP KASUS MEGA KORUPSI INI.

INFO PEDULI KITA

Jika kita memiliki info dan data-data sekitar kasus ini silakan mengirimkannya ke mega_dosa_garuda@yahoo.com kerahasiaan dan keamanan kita dijamin. "Kalau bukan kita siapa lagi?"

Wednesday, January 13, 1999

KETIKA HARYANTO DHANUTIRTO MENG"GORENG" MERPATI

http://www.minihub.org/siarlist/msg01748.html

CePe---KETIKA HARYANTO DHANUTIRTO MENG"GORENG" MERPATI (Bagian Ketiga)

--------------------------------------------------------------------------------

To: siarlist@minihub.org
Subject: CePe---KETIKA HARYANTO DHANUTIRTO MENG"GORENG" MERPATI (Bagian Ketiga)
From: SiaR News Service
Date: Wed, 13 Jan 1999 09:33:44 -0700
Delivered-To: siarlist@minihub.org
Delivered-To: siarlist@minihub.org
Sender: owner-siarlist@minihub.org

--------------------------------------------------------------------------------

Precedence: bulk


Jakarta, Indonesia
23 Desember 1998

KETIKA HARYANTO DHANUTIRTO MENG"GORENG" MERPATI (Bagian Ketiga)

Oleh Rahmat Yunianto
Reporter Crash Program

JAKARTA --- Haryanto Dhanutirto, mantan Menteri Perhubungan (Menhub) zaman
Orde Baru diduga banyak sekali melakukan intervensi yang berbau korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN). Salah satunya adalah dalam jual beli pesawat di
PT Merpati Nusantara Airline (Merpati). Jual beli pesawat memang lahan empuk
nan menggiurkan.

Sebelum Dhanutirto menjadi menteri memang Merpati telah sering mendapat
intervensi dari para penguasa lainnya. Akibat banyaknya intervensi penguasa,
terdapat begitu banyak jenis pesawat di Merpati. Ironisnya, tidak ada satu
pesawat pun yang pembeliannya benar-benar terbebas dari unsur campur tangan
penguasa. Sebut saja mulai dari Dakota DC-3, De Havilland Otter DHC-3, Twin
Otter, Casa-212, Fokker-27, Fokker-28/3000, Fokker-28/4000, Fokker-100,
DC-9, ATP, CN-235, Boeing 737-200, hingga Airbus-300/600 dan Airbus-310/300.

Contoh suatu intervensi terlihat jelas ketika tiba-tiba pemerintah berencana
mendatangkan 32 unit pesawat Boeing 747-400 bekas Lufthansa Jerman. Seorang
sumber menyebutkan, saat itu Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) B.J.
Habibie mendapat tawaran dari Lufthansa Jerman. Merasa mendapat peluang
kerja sama antara Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) dan Lufthansa,
Menhub Dhanutirto pun menindaklanjuti tawaran itu dengan kesanggupan
mengambil 32 unit dan memerintahkan Garuda untuk membelinya.

Tanpa diduga, Wage Mulyono, Direktur Utama (Dirut) Garuda kala itu, menolak
keras perintah Menhub. Sudah kadung janji pada Lufthansa, pemerintah
terpaksa mendatangkan sepuluh unit pesawat. Ujung-ujungnya, Dhanutirto minta
Merpati, Sempati, Mandala dan Bouraq untuk menyewanya. Kesepuluh Boeing itu
pun dilego dengan harga sewa US$110 ribu per bulan per pesawat, kepada
Merpati dan Sempati masing-masing tiga unit, serta Bouraq dan Mandala
masing-masing dua unit.

Keterlibatan Dhanutirto dalam Leasing F-28

Gagal di Garuda, Dhanutirto berhasil intervensi di Merpati. Kejadiannya
bermula pada 23 Desember 1994. Siang itu, ruang kerja Menhub Dhanutirto
dikunjungi sejumlah tamu. Tampak hadir Hutomo Mandala Putra alias Tommy
Soeharto, Indra Usmansyah Bakrie, Dirut Garuda Wage Mulyono, Dirut Merpati
Ridwan Fataruddin, serta Mr. Konichi, mitra bisnis Tommy Soeharto asal
Jepang.

Ada apa gerangan? Ternyata hari itu dilakukan penandatanganan dua perjanjian
sekaligus di hadapan Menhub. Pertama, perjanjian jual beli pesawat antara PT
Garuda Indonesia dan PT Arthasaka Nusaphala. Kedua, penandatanganan
memorandum of understanding (MOU) antara PT Merpati Nusantara Airlines, PT
Arthasaka Nusaphala (Arthasaka), PT Sakanusa Dirgantara (SND) dan KFS (L)
Aviation Jepang mengenai leasing delapan unit pesawat Fokker-28/4000.

Sumber di Merpati yang tak mau disebut jati dirinya menyebutkan, Haryanto
Dhanutirto, Menhub ketika itu, mendesak direksi Garuda agar menjual
F-28/4000 sisa hibah kepada Arthasaka, kongsi dagang milik Bakrie dan Tommy
Soeharto. Alasannya, hal itu membantu keuangan Garuda yang sedang
membutuhkan kucuran dana. "Penjualan pesawat harus cash, dengan begitu
Garuda mendapatkan dana segar," tegas Dhanutirto.

Pada 1 Desember 1994, Arthasaka dan SND melayangkan proposal ke Merpati.
Indra Bakrie selaku presiden direktur (presdir) Arthasaka menawarkan leasing
delapan pesawat F-28/4000 untuk jangka waktu tujuh tahun, seharga US$315 per
jam per pesawat.

SND dan KFS (L) Aviation Inc., melakukan hal yang sama. Dalam surat yang
ditandatangani Tommy Soeharto, SND menawarkan jasa refurbishment and repair
(R&R) senilai US$210 per jam per pesawat. Sementara, KFS (L) Aviation,
perusahaan patungan Tommy Soeharto dan Konichi akan melakukan maintenance
pesawat seharga US$980 per jam per pesawat.

Selang beberapa hari, Dhanutirto menginstruksikan melalui telepon kepada
Ridwan Fataruddin, Dirut Merpati kala itu, agar menerima tawaran leasing
F-28 dari Arthasaka.

Sebenarnya, sumber itu berujar, tak beralasan Menhub melibatkan Arthasaka
dalam sewa menyewa ini walaupun tujuannya untuk mendapatkan uang cash buat
Garuda. Pasalnya, Arthasaka tidaklah membayar cash pada Garuda, tapi
mengangsur dengan membayar lima persen dari total harga pesawat US$22 juta
sebagai uang muka. Lagipula, kata si sumber, delapan pesawat F-28 dimaksud
masih dioperasikan Merpati dengan sewa murah dari Garuda.

Saat itu Merpati memang membutuhkan armada tambahan. Tapi, kalau harus
menerima tawaran Arthasaka atas desakan Dhanutirto, kata Fataruddin, hanya
menjadi beban Merpati di belakang hari. "Karena kekuasaan masih sangat
dominan saat itu, bagaimana lagi, akhirnya saya tandatangani MOU antara
saya, Tommy, Indra Bakrie, dan Konichi di depan Pak Dhanutirto."

Rupanya, ungkap sumber tadi, belakangan diketahui, telah terjadi perjanjian
jual beli "bersyarat" antara Garuda dan Arthasaka. Syaratnya? Untuk
pembayaran dan penyerahan pesawat dipersyaratkan kesediaan Merpati untuk
menyewa pesawat dimaksud. Dan ternyata, Merpati harus menandatangani MOU
"bersyarat" pula. Dalam MOU, Arthasaka sebagai lessor mempersyaratkan
Merpati menunjuk dan menandatangani perjanjian R&R dengan SND dan
maintenance pesawat dengan KFS.

Meski negosiasi berjalan alot, pada 30 Maret 1995, penandatanganan
perjanjian sewa menyewa berikut R&R serta maintenance pesawat tetap
dilakukan. Padahal, selama proses negosiasi Merpati berulang kali
melayangkan surat, baik kepada Direktorat Jenderal (Dirjen) Perhubungan
Udara maupun Menhub yang intinya Merpati berkeberatan.

Dalam surat tertanggal 3 Februari 1995, misalnya, Merpati membandingkan
biaya alih operasi F-28 dari Garuda dengan hanya menanggung biaya
maintenance 324 dolar AS per jam per pesawat dengan tawaran Arthasaka yang
US$1.495 per jam per pesawat.

Dalam surat tertanggal 13 Maret 1995 yang ditujukan langsung kepada Menhub,
Merpati mengatakan telah menghitung kemungkinan kerugian yang akan dialami
bila leasing itu diterima. Berdasarkan utilisasi yang ditargetkan anggaran
1995, Merpati akan menderita kerugian US$689,73 per jam per pesawat.

Belum lagi ketiga perusahaan itu tidak bersedia dipungut Pajak Penghasilan
(PPh)-nya. Padahal, menurut peraturan, Merpati sebagai Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) merupakan wajib pungut (WAPU) Pajak dan menyetorkan PPh dari
ketiga perusahaan di atas. Namun, kata Fataruddin, Tommy dan Indra Bakrie
sendiri yang datang langsung ke ruang kerjanya untuk meminta pembebasan PPh.

Apa boleh buat, leasing ajaib itu tetap tak terbendung. Kesepakatan harga
senilai US$315 per jam, R&R seharga US$115 per jam dan maintenance senilai
US$950 per jam per pesawat, menjadi kesepakatan di bawah tekanan. Total
lease cost menjadi US$1.480 per jam per pesawat.

Leasing itu memang tidak berjalan mulus. Lantaran tidak mampu memenuhi
pembayaran kepada Garuda, Arthasaka akhirnya mengalihkan hak lessor kepada
PT Bakrie Finance. SND dan KFS mengalihkan tanggung jawabnya kepada Fulcrum.
Dan, Fulcrum ujung-ujungnya menunjuk Garuda Maintenance Facility (GMF) untuk
R&R dan maintenance pesawat itu.

Dhanutirto Menentukan Direksi dan Komisaris

Intervensi Dhanutirto pun terlihat ketika terjadi pergantian jajaran direksi
Merpati dari Ridwan Fataruddin kepada Budiarto Subroto. Tak hanya mendesak
Dirut Garuda selaku presiden komisaris Merpati untuk segera melakukan
pergantian direksi Merpati, Dhanutirto, ucap si empunya cerita, turut pula
menentukan siapa-siapa yang akan duduk di jajaran direksi maupun komisaris
baru.

Sederetan nama, lanjut sumber itu, adalah titipan Dhanutirto, termasuk Dirut
Merpati Budiarto Subroto. Selain kawan satu almamaternya, Budiarto yang
sebelumnya menjabat direktur niaga, sempat menjadi staf ahli Menhub
Dhanutirto. Terdapat pula nama-nama, seperti Sudarso Kadri, sebelumnya
Kabiro TU BUMN, Matondang dari Badan Penelitian Pengembangan dan Teknologi
(BPPT) dan Ir. Basuki yang masih famili Dhanutirto, di jajaran komisaris
Merpati kala itu.

Campur tangan Menhub Dhanutirto, sering dianggap terlalu jauh. Sumber yang
sama mengatakan, Menhub dan pejabat Dephub lainnya turut serta hingga urusan
teknis operasional, menentukan pembuatan perencanaan kebijakan, fleet plan,
dan menentukan rute penerbangan.

Dhanutirto pun memutuskan penetapan dan pengeluaran izin jalur penerbangan,
mulai saat itu di bawah kendali Menhub. Terendus kabar, lanjut si sumber,
semua berkaitan dengan Sempati, airline milik Tommy Soeharto, yang tengah
beranjak menguasai jalur domestik. Maklum, Menteri ini memang dikenal dekat
dengan keluarga Cendana.

Bantahan Dhanutirto

Sejauh itukah? Jelas, Dhanutirto menepis semua tudingan itu. "Nggak. Nggak.
Nol besar itu," tandasnya ketika dimintai konfirmasi. Mantan menteri yang
mengantungi lisensi sebagai penerbang ini mengaku tidak pernah memaksa
Merpati menggunakan pesawat tertentu. Soal leasing F-28, umpamanya, itu
dilakukan karena kebutuhan Merpati sendiri. "Nggak ada saya paksa-paksa.
Kalau kemudian saya desak-desak terus, bukan apa-apa, karena pertumbuhan
jumlah penumpang waktu itu sangat tinggi," kilahnya.

Sebetulnya, masih Dhanutirto, F-28 berawal dari niat Garuda menyapih
Merpati. "Garuda bilang, boleh misah, tapi pesawatnya jangan di bawa. Nggak
bisa dong. Anak mau disapih kok ditelanjangi dulu. Saya minta sejumlah
pesawat dihibahkan kepada Merpati," paparnya. "Nah, pesawat sisa hibah,
karena Garuda butuh financing sementara Merpati butuh pesawat tapi nggak
punya duit, ya satu-satunya jalan lewat leasing. Saya hanya berpikiran
Merpati bisa dapat pesawat, Garuda dapat dana segar."

Dan, lanjutnya, tidak pernah dirinya memberi instruksi Merpati untuk
menerima tawaran Arthasaka. "I never give instruction untuk menangkan si
ini, si itu. Nggak ada. Cari yang termurah, cari yang terbagus, karena Anda
harus untung," tepisnya. Bahkan, akunya, justru dirinya memberikan
keleluasaan untuk membuka jalur-jalur gemuk hingga jalur internasional
sekalipun. "Pemikiran jangka panjang saya adalah membuka rute gemuk untuk
memberikan cost subsidy pada rute-rute kurus Merpati," akunya.

Dhanutirto juga membantah kalau Arthasaka dibilang tak membayar cash pada
Garuda. "Waktu itu saya bilang nggak bisa. Harus cash. Merpati bilang kenapa
nggak buat saya saja, nanti saya cicil. Saya bilang nggak bisa. Justru
Arthasaka muncul karena bersedia jadi financier. Jadi, kalau Menteri
menggabung-gabungkan ojo dibilang meksa," tambahnya.

Soal jalur terbang, diakui, pemerintah memang mengambil alih otoritas
Garuda. Sebab, di mana pun pemerintahlah yang menentukan jalur penerbangan
dan untuk kepentingan nasional. "Kalau kemudian pemerintah memasukkan
penerbangan asing, bukan supaya Garuda dan Merpati mati. Justru, dengan
masuknya asing, kita minta Garuda dan Merpati supaya belajar dan kuat,"
ujarnya.

Lantas, bagaimana dengan sederetan nama di jajaran direksi yang disinyalir
sebagai orang-orang dekatnya? "Saya katakan, saya tidak pernah ikut-ikutan,"
ucapnya. Ketika menjabat, dia mengaku, justru sangat memberikan keleluasaan
kepada Merpati dan BUMN lainnya untuk berkembang. "Saya nggak pernah
nggondeli, nggak pernah apa-apa. Pokoknya kembangkan dan kembangkan,"
akunya.

Entahlah. Paling tidak, beragamnya jenis pesawat, misalnya, telah membuat
Merpati selama ini beroperasi dengan biaya tinggi alias high cost economy.
Sebab, sumber tadi berucap, setiap jenis pesawat memiliki sejarah
sendiri-sendiri.

Sebutlah Dakota DC-3, De Havilland Otter DHC-3, serta Twin Otter, yang
merupakan pesawat dengan operation cost sangat tinggi, tapi tanpa profit
sama sekali. Pesawat-pesawat itu menerbangi jalur perintis sebagai
pelaksanaan misi pemerintah yang diembankan kepada Merpati. Selain itu,
terdapat Casa-212 dan CN-235 yang secara ekonomis tidak menguntungkan, tapi
harus tetap digunakan karena misi pengembangan produk nasional dari IPTN.
Adalagi F-27, F-28 dan DC-9 yang merupakan lungsuran (bekas pakai) dari
Garuda sebagai induk perusahaan Merpati.

F-100 pun sami mawon. Awalnya, pada 1989, Garuda memesan 12 unit F-100.
Tapi, ketika pesawat siap kirim, kata sumber tadi, Garuda tengah menjalankan
program alih operasi domestik kepada Merpati. Telanjur dipesan, akhirnya
F-100 diambil sebanyak enam unit. Tiga di antaranya dibeli dengan harga US$2
6 juta per unit dan tiga sisanya disewa seharga US$270 ribu per bulan.
Meskipun order atas nama Garuda, pesawat itu akhirnya dibayar dan digunakan
Merpati.

Rasanya Merpati memang ditakdirkan untuk selalu sarat beban. Mungkin benar
komentar mantan Dirut Garuda Muhamad Soeparno. Saking banyaknya muatan
kepentingan yang bermain, mengakibatkan kemerdekaan untuk mengelola
perusahaan tidak pernah ada. "Hampir di semua sektor bisnis airline,
intervensi itu pasti ada. Mulai dari katering sampai armada," ujar Soeparno.
Jadi, "Siapa pun yang duduk di manajemen tidak akan pernah berhasil, kalau
masih ada campur tangan dari kekuasaan," tambahnya.

(Rahmat Yunianto, adalah wartawan majalah Tajuk dan peserta Program Beasiswa
untuk Wartawan LP3Y-LPDS-ISAI)