Untouchable Mega Corruption?

Kasus Mega Korupsi Yang Sudah Sangat Transparan, dan Sangat Membebani Garuda. Kasus ini harus diusut karena sebesar US$ 470 juta dari US$ 748 juta utang Garuda berasal dari pembelian A330-300 tersebut. Artinya, Garuda hingga kini membayar utang hasil Mega Korupsi Mark Up, bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya.................

>>>Namun hingga saat ini belum tersentuh Aparat Penegak Hukum & Pemberantas Korupsi Republik Indonesia<<<

ADA APA DENGAN APARAT KITA?

MOHON DUKUNGAN MASYARAKAT & SEGENAP KARYAWAN GARUDA UNTUK MELAKUKAN KONTROL SOSIAL TERHADAP KASUS MEGA KORUPSI INI.

INFO PEDULI KITA

Jika kita memiliki info dan data-data sekitar kasus ini silakan mengirimkannya ke mega_dosa_garuda@yahoo.com kerahasiaan dan keamanan kita dijamin. "Kalau bukan kita siapa lagi?"

Saturday, December 9, 2006

Membasmi Korupsi

Sabtu, 09 Desember 2006
� 2006 - Pikiran Rakyat Bandung
Dikelola oleh Pusat Data Redaksi (Unit: Cyber Media-Dokumentasi Digital)

Oleh ACUVIARTA

LANGKAH maju pemberantasan korupsi terus bergulir bak bola salju. Meskipun putarannya terkadang masih zig zag, arahnya sudah mulai lebih fokus. Apalagi banyak pihak lumrahnya juga telah menyadari, salah satu penyakit berat dan kronis perekonomian ini tidak lain karena masih tingginya angka korupsi.

Pekerjaan rumah pemberantasan korupsi jelas bukan hanya pada banyak tidaknya temuan mismanajemen keuangan yang terindikasi korupsi, tetapi persoalan bagaimana menghimpun kembali dana-dana yang raib tersebut agar secepatnya kembali ke pundi-pundi keuangan negara. Oleh sebab itu langkah BPK dan beberapa institusi lain yang terus bergulat dengan pemberantasan korupsi pantas mendapat apresiasi lebih.

Beberapa hari lalu Pikiran Rakyat (29/11) juga memberitakan, Ketua BPK (28/11) telah menyampaikan progress report hasil pemeriksaan BPK selama semester I-2006 di hadapan DPR. Beberapa hal penting dari apa yang disampaikan Ketua BPK adalah: Pertama, masih tingginya indikasi tindakan korupsi Indonesia; Kedua, sudah ada tindak lanjut hasil pemeriksaan yang disampaikan ke Kejagung dan KPK; Ketiga, masih rendahnya respons pejabat pengelola keuangan negara dalam menindaklanjuti temuan-temuan BPK; Keempat, kuatnya dugaan intensitas korupsi di pusat tidak kalah dengan apa yang terjadi di daerah.

Urgensi pemberantasan korupsi dari sudut pandang yang lebih makro paling tidak mengandung beberapa makna: Pertama, upaya menyinkronkan dampak pengeluaran pemerintah dengan target-target pencapaian keberhasilan pembangunan ekonomi. Selama ini keberhasilan pembangunan selalu diidentikkan dengan semakin besarnya pengeluaran negara. Lumrahnya memang seperti itu, tetapi lain halnya kalau kita memasukkan senyawa tingginya kebocoran anggaran pemerintah dalam melihat keberhasilan pembangunan.

Nilai kerugian negara tahun 2004 misalnya meningkat cukup pesat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (2002-2003). Tahun 2002 dan 2003 nilai kerugian negara diperkirakan sudah mencapai Rp 4 triliun lebih. Angka itu kemudian bahkan terlewati tahun 2004, karena kerugian negara diperkirakan meningkat sudah di atas Rp 5 triliun. Parahnya lagi, peningkatan kebocoran keuangan negara juga terjadi di semua bidang keuangan pemerintahan, jadi bukan hanya pada APBN tetapi juga pada APBD/BUMD dan BUMN.

Tahun 2004 kebocoran APBN meningkat hingga Rp 4 triliun, sedangkan kebocoran APBD/BUMD dan BUMN meningkat masing-masing hingga mencapai Rp 672 miliar dan Rp 359 miliar. Anehnya lagi, tingginya angka kerugian negara justru tidak diikuti dengan semakin besarnya jumlah kasus kerugian negara. Tahun 2002 dan 2003 jumlah kasus kerugian negara masing-masing 25.461 dan 12.043 kasus.

Jumlah kasus kerugian tersebut semakin turun tahun 2004 (9.577 kasus), sehingga pola yang ada saat ini "kenaikan nilai kebocoran negara berbanding terbalik dengan jumlah kasusnya". Selain itu, turunnya jumlah kasus kerugian negara menunjukkan ada dampak positif dari program pemberantasan korupsi yang sekarang berlangsung, terutama mengurangi jumlah orang baik yang mencoba melakukan korupsi.

Meningkatnya kerugian negara ini logisnya menjelaskan kepada kita semua bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia belum optimal menunjukkan hasil sebagaimana yang selama ini dijargonkan. Meningkatnya angka kebocoran keuangan negara ini pada satu sisi menunjukkan keberhasilan BPK dalam mengungkap banyak praktik kecurangan oknum penyelenggara keuangan negara. Pada sisi yang lain, peningkatan itu juga disebabkan lambannya respons pejabat pemerintahan dalam menindaklanjuti temuan-temuan BPK.

Ketua BPK dengan lantang juga menyampaikan bahwa tindak lanjut temuan pemeriksaan BPK saat ini baru mencapai 36,15% ("PR/28/11). Dari 17.142 temuan senilai Rp 101 triliun, baru 6.197 temuan yang sudah ditindaklanjuti. Melihat tingginya nilai kebocoran negara dan rendahnya tindaklanjut penyelesaian temuan-temuan BPK, sehingga kebiasaan perhatian kita semua kepada parameter peningkatan besar anggaran sebagai ukuran kemajuan pembangunan sepertinya pantas untuk dikoreksi. Selain itu, modus operandi penanganan tindak korupsi saat ini juga mulai harus melihat nilainya, bukan hanya terfokus pada banyaknya jumlah kasus kerugian negara.

Urgensi kedua, pemberantasan korupsi dari sudut pandang makro selain sebagai ukuran melihat keberhasilan pembangunan ekonomi adalah dalam konteks meningkatkan efisiensi usaha. Meningkatnya korupsi dalam berbagai bentuk kasus dan modus operandinya telah menciptakan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) sehingga menyulitkan banyak upaya untuk meningkatkan kinerja BUMN/BUMD serta mengikutsertakan keterlibatan investor asing dalam projek-projek yang dimobilisasi pemerintah. Persoalan ini juga sempat mendapat tanggapan Bank Dunia beberapa waktu lalu, terutama mengenai tingginya indikasi kebocoran projek-projek yang didanai Bank Dunia.

Merebaknya dugaan korupsi saat ini mulai terindikasi tidak hanya pada pos-pos yang langsung terkait pengelolaan pengeluaran negara (APBN/APBD) melalui departemen/lembaga teknis, tetapi juga sudah menular ke badan-badan usaha milik negara/daerah. Padahal untuk lembaga semacam itu, selain keterlibatan banyak pihak (stakeholders) dalam pengawasan sudah jauh lebih banyak, juga masalah kesejahteraannya sudah lumayan lebih baik.

Stigma ini juga sedikit mengaburkan persepsi yang selama ini berkembang bahwa pada level tertentu tingginya tingkat kesejahteraan dapat meredam tingginya angka korupsi. Dalam bahasa yang lebih sederhana, cukup dapat dipahami bahwa ternyata meningkatnya kesejahteraan yang relatif tidak dibarengi dengan tingginya pengawasan dan penegakan hukum hanya akan melanggengkan budaya korupsi di BUMN/BUMD.

Baru-baru ini BPK juga telah melaporkan beberapa kasus ke Kejagung yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan lembaga seperti itu, seperti: dugaan korupsi dana pensiun BNI'46 yang mencapai Rp 45 miliar dan di PT Asuransi Kredit Indonesia yang disinyalir merugikan negara hingga Rp 31 miliar lebih. Yang terbaru sekali, BPK juga menemukan adanya indikasi korupsi di sejumlah BUMN, seperti pada kasus penjualan dan investasi PT Kimia Farma tahun 2004 dan 2005. Serupa tapi tak sama, indikasi semacam itu juga ditemukan di PT Garuda Indonesia dan PT Surveyor Indonesia.

Persoalan tidak tertibnya manajemen keuangan di daerah juga disinyalir menjadi batu sandungan pada sejumlah BUMD. Temuan BPK lainnya juga menunjukkan adanya kepemilikan saham dan penyertaan modal serta investasi pemda pada bank dan perusahaan daerah senilai Rp 1,17 triliun yang belum jelas status hukumnya serta diduga berseberangan dengan sejumlah peraturan daerah (perda). Indikasi adanya penyalahgunaan dalam kasus-kasus seperti itu masih perlu diteliti lebih dalam, akan tetapi persoalan semacam ini dalam jangka menengah dan jangka panjang dapat memberi citra negatif bagi penciptaan kinerja pemerintah daerah (pemda) yang bersih dari moral hazard (good clean government).

Urgensi ketiga, penanganan korupsi idealnya juga tidak hanya terfokus pada usaha menemukan kasus-kasus pengelolaan keuangan yang diduga berselimut korupsi. Salah satu langkah yang juga harus ditempuh adalah meningkatkan kualitas auditor BPK dan kinerja semua elemen dalam pemberantasan korupsi. Lebih jauh lagi tumbuh suburnya lembaga-lembaga sejenis yang memiliki misi mirip seperti KPK dalam kerangka yang lebih terbatas (teknis/departemental) juga perlu dimobilisasi, selain mengandalkan dan mengoptimalkan peran inspektorat jendral dan bawasda dan lembaga pemberantasan korupsi independen seperti Indonesian Corruption Watch (ICW). Melihat banyaknya kasus temuan BPK yang terlambat ditindaklanjuti oleh pejabat pengelola keuangan negara/daerah, maka bisa jadi hal itu juga mengindikasikan terbatasnya SDM yang dimiliki pemerintah dalam menindaklanjuti kasus-kasus semacam itu, termasuk keterbatasan SDM yang dimiliki Kejagung dan Polri.

Saat ini auditor pemeriksa yang dimiliki BPK diperkirakan tidak lebih dari 1.755 orang. Dengan jumlah auditor yang terbatas seperti itu, sangat sulit bagi BPK untuk dapat optimal membongkar banyak malapraktik pengelolaan keuangan negara yang terjadi d itingkat pusat dan daerah. Data BPK (2004) menunjukkan banyak kantor perwakilan BPK dalam satuan kerja (satker) di daerah yang belum juga memiliki tenaga ahli fungsional sekelas auditor ahli utama (AAU).

Dari 8 Satker BPK di daerah (Medan, Palembang, DKI, Yogyakarta, Denpasar, Banjarmasin, Makassar, Jayapura) hanya Satker Pwk III DKI Jakarta yang sudah memiliki tenaga fungsional auditor ahli utama. Artinya selain DKI Jakarta, BPK di banyak tempat di daerah belum memiliki auditor dengan predikat fungsional ahli utama. Logisnya jabatan fungsional sekelas itu akan diikuti dengan perbaikan kualitas auditor pemeriksa pada tingkat fungsional di bawahnya.

Salah satu langkah positif akhir-akhir ini yang langsung dapat mendukung peningkatan SDM yang mumpuni dalam mengelola keuangan negara/daerah adalah kerja sama Dikti dengan beberapa perguruan tinggi. Perguruan tinggi dengan Dikti saat ini sedang intensif menjalin kerja sama dalam bingkai beasiswa program pendidikan bagi aparatur SKPD dalam hal disiplin ilmu Akuntansi Pemerintahan setingkat S-1 maupun S-2. Sejatinya melalui program peningkatan kualitas SDM semacam itu dalam jangka panjang keterlibatan banyak pihak dalam penanganan korupsi di Indonesia dapat lebih sistematis, selain akan lebih banyak individu yang paham bagaimana mengelola keuangan negara.

Pada saatnya nanti diharapkan tidak ada lagi kasus di mana salah seorang bupati di Jabar memasukkan dana APBD ke kas pribadi serta kasus salah seorang bupati di Sumbar yang mendepositokan dana APBD yang bunganya dibagi-bagikan atas kehendak pribadi. Normatifnya lagi, peningkatan kualitas SDM pengelolaan keuangan negara/daerah dan elemen pemberantasan korupsi juga akan mampu mendeteksi sedini mungkin potensi meluasnya praktik korupsi di daerah. Semoga.***

Penulis, dosen FKIP dan FE Unpas serta anggota Bidang III Ikatan Sarjana Ekonomi (ISEI) Bandung Koordinator Jawa Barat.