Untouchable Mega Corruption?

Kasus Mega Korupsi Yang Sudah Sangat Transparan, dan Sangat Membebani Garuda. Kasus ini harus diusut karena sebesar US$ 470 juta dari US$ 748 juta utang Garuda berasal dari pembelian A330-300 tersebut. Artinya, Garuda hingga kini membayar utang hasil Mega Korupsi Mark Up, bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya.................

>>>Namun hingga saat ini belum tersentuh Aparat Penegak Hukum & Pemberantas Korupsi Republik Indonesia<<<

ADA APA DENGAN APARAT KITA?

MOHON DUKUNGAN MASYARAKAT & SEGENAP KARYAWAN GARUDA UNTUK MELAKUKAN KONTROL SOSIAL TERHADAP KASUS MEGA KORUPSI INI.

INFO PEDULI KITA

Jika kita memiliki info dan data-data sekitar kasus ini silakan mengirimkannya ke mega_dosa_garuda@yahoo.com kerahasiaan dan keamanan kita dijamin. "Kalau bukan kita siapa lagi?"

Sunday, November 8, 1998

Sejarah Kasus-kasus Korupsi Garuda

[INDONESIA-L] Sejarah Kasus-kasus '
From: apakabar@access.digex.net
Date: Sun Nov 08 1998 - 11:03:00 EST


--------------------------------------------------------------------------------
From: "Baby"
To: "Apa Khabar Access"
Subject: KKN di Garuda
Date: Sun, 8 Nov 1998 15:26:18 +0700


SEJARAH KASUS-KASUS "KKN" DI PT. GARUDA INDONESIA


I. Poles mempoles laporan keuangan


PT. Garuda Indonesia sebagai perusahaan penerbangan pertama di Indonesia
yang juga menjadi perusahaan milik negara setelah dinasionalisasi oleh
pemerintah RI dibawah pemerintahan presiden Soekarno dari megemant KLM,
merupakn bisnis yang cukup empuk bagi o rang-orang yang "mahir" dalam
memainkan cara-cara untuk mendapatkan keuntungan dari perusahaan
penerbangan yang pernah menjadi (dan hingga saat ini namanya masih
menjadi) kebanggaan bangsa Indonesia.



Nasib sial memang menyertai garuda karena selepas dari kepimpinan Wiweko,
perolehan keuntungan Garuda terus melorot sehingga sejak tahun 1989 unit
yang membawahi bidang akuntansi dan keuangan di Garuda harus selalu
"memoles" laporan keuangan tahunan (nera ca keuangan) agar Garuda
tampaknya mendapat untung, setidaknya di mata pemerintah.



Berbagai macam cara diusahakan untuk menutup-nutupi kerugian Garuda,
antara lain dengan memproyeksikan prediksa keuntaunganyang akan didapat
tahun berikutnya di tahun berjalan. Dengan demikian prakiraan keuntungan
yang akan didapat tahun depan, misalnya, telah dibukukan setahun sebelumya
(tahun berjalan).



Apabila tahun depan memang benar-benar mendapatkan untung maka keuntungan
tersebut akan menetap di sisis kredit pembukuana, akan tetapi apabila
ternyata keuntungan yang diramalkan tersebut tak juga kunjung datang, maka
di tahun berikutnya jumlah tersebut di hapuskan dan menempati sisi debet
pembukuan.



Dengan demikian Garuda selalu tampak mendapat untung setiap tahun, padahal
kerugian yang harus diderita oleh Garuda tiap tahun rata-rata mencapai
jumlah yang cukup mengerikan.



Tokoh-tokoh Garuda yang "lihai" urusan poles memoles ini tergolong sebuah
sindikat akuntansi yang dipimpin oleh :



Zainil Karim (waktu itu Kadin Akuntansi)


Benny Silalahi (tangan kanan Zainil)



Keduanya adalah konco akrab karena sama-sama menjadi pengajar di Sekolah
Tinggi Ilmu Transportasi Trisakti. Belakangan karena usia tua Benny
Silalahi telah memasukakan massa pensiun di Garuda sedangkan Zainil Karim
masih bekerja di Garuda tanpa jabatan.



II. Kasus Prima Speed



Kasus ini terjadi pada zaman Soeparno menjabat sebagai Dirut dan Sumedi
Amir menjabat sebagai direktur tekhnik. Untuk pembelian suku cadang
pesawat Sumedi Amir menetapkan agar melalui PT. Prima Speed yang bertindak
sebagai semacam broker bagi Garuda.



Dengan demikian, untuk pembelian suku cadang-suku cadang pesawat tersebut
Garuda mendapatkan harga yang jauh lebih mahal daripada harga pabrik.
Kelompok oposisi di direktorat teknik yang dipimpin oleh seorang kepala
dinas tidak setuju pada kebijakkan sang direktur, lalu melaporkan kasus
Prima Speed ini ke kejaksaan agung.



Apa daya ternyata perkiraan kaum oposan ini keliru, karena ternyata Prima
speed yang juga melakukan bisnis penyeludupan besarbesaran itu telah
"akrab" lebih dulu dengan oknum-oknum di kejaksaan agung sehingga segala
bisnis ilegalnya terlindungi.



Sumedi Amir pun selamat, tapi Dirut Soeparno harus merogoh kocek Garuda
sebesar hampir Rp. 1 milyar untuk membekukan kasus ini di kejaksaan agung,
dengan catatan Sumedi Amir tidak dibolehkan lagi menjabat di Garuda.
Sampai sekarang kasus ini sudah masuk " peti es" kejaksaan agung.



III. Kasus Tanah Duri Kosambi



Kasus ini cukup membuat heboh karena beritanya sempat dimuat dalam
beberapa surat kabar ibukota terkemuka. Kasusnya sendiri sebenarnya pernah
"diangkat" sampai kejaksaan tinggi, akan tetapi karena kolusi dengan
beberapa oknum kejaksaan yang bersedia mener ima suap dan entertaiment di
hotel-hotel mewah, maka para pelaku utama di Garuda pun selamat untuk
sementara.



Belakangan di era reformasi yang sedang membahana kasusu ini dibuka
kembali oleh kejaksaan agung, akan tetapi tanpa kapok pihak Garuda masih
berusaha mencari-cari siapa tahu ada oknum kejaksaan agung yang bisa
disuap. Semoga pada era reformasi ini tidak l agi ada pegawai dan pejabat
kejaksaan yang mau menerima suap, karena kalau aparat penegak hukum saja
sudah tidak bisa dipercaya lalu pada siapa rakyat Indonesia harus
menggantungkan nasibnya dalam mencari keadilan ?



Padahal dalam kasus pembelian tanah di Duri Kosambi ini jelas-jelas uang
negara yang notabene juga uang rakyat dirugikan sampai jumlah miliyaran
rupiah, karena tim pembelian tanah PT. Garuda Indonesia membeli tanah
tersebut dengan harga jauh di atas harga pasar. Hal ini jelas tidak
dibenarkan karena untuk pembelian tanah sebuah BUMN harus menerapkan harga
NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang masih dibawah harga pasar.



Dapat dibayangkan, berapa keuntungan yang didapat oleh tim Garuda dari
pembelian tanah tersebut. Setelah kesepakatan harga tercapai, tidak sukar
bagi tim Garuda untuk memprosesnya karena dari keuntungan tersebut mereka
langsung melakukan "pembagian" rejek i alias komisi kepada para calo,
lurah dan notaris. Walhasil?. Orang-orang serakah tersebut mengantongi
keuntungan hasil pembelian tanah sedangkan Garuda harus mengeluarkan uang
yang sangat berlebihan untuk membayar harga tanah tersebut.



Aktor-aktor utama yang memprakarsai dan "mengakali" pembelian tanah
tersebut adalah,



Achmad Subianto (waktu itu Direktur Keuangan)


(Captain) Dharmadi (waktu itu Kepala Pusdiklat)


Mardiningsih (waktu itu Kepala Humas)


Nirmala Rini (waktu itu Kepala Bidang Hukum)


Suparyadi (waktu itu pelaksanan proyek)



Dari hasil pembelian tanah tersebut Suparyadi sebagai "prajurit" alias
kroco dalam grup mereka, mendapatkan jatah Rp. 50 juta. Bayangkan berapa
yang didapatkan oleh "mayor, kolonel dan jendral" nya ?.



IV. Kasus PT. Autotrans dan PT. Trigada



PT. Autotrans dan PT. Trigada adalah perusahaan yang bergerak di bidang
ground-handling. Kedua perusahaan tersebut adalah milik seorang pengusaha
non-pri keturunanan Cina yang berpartner dengan seorang perwira tinggi
ABRI yang menjadi kawan baik mantan Di rut Garuda, Wage Mulyono.



Namun dibalik semua itu terdapat "tangan-tangan" Cendana, Putra mantan
Presiden Soeharto, yaitu Sigit Harjojudanto yang kabarnya kawan akrab Tony
Sonawijaya, (waktu itu) menjabat Kepala Dinas Pelayanan merangkap mafia
Garuda yang menggunakan aksesnya ke C endana untuk bertindak seenaknya dan
memupuk harta kekayaan.



Secara sangat ajaib, melalui Tony Sonawijaya ini Autotrans dan Trigada
masuk menjadi rekanan Garuda tanpa melalui proses tender sedikit pun untuk
menyediakan peralatan ground-handling masing-masing di Denpasar untuk
Autotrans dan di Bandara Soekarno Hatta , Cengkareng untuk Trigada.



Meskipun tanpa melalui tender (mantan) Dirut Wage Mulyono, masih
memperhitungkan harga yang ditawarkan dan isi perjanjian yang dibuat
dengan kedua perusahaan tersebut, yang dinilainya masih feasibel dan layak
bagi Garuda. Ia pun dengan segala senang hati menandatangani kedua
perjanjian tersebut tanpa merasa perlu memperoleh izin dari Menko
Ekuwasbang sesuai peraturan yang berlaku bagi BUMN.



Namun setelah perjanjian tersebut ditandatangani, terjadi kecurangan dan
pemalsuan dokumen. Dengan cara melakukan kerja sama dengan dua orang
pejabat di Biro Hukum Garuda yaitu Jimmy Tombokan dan Salman Rifaat,
kemudian Tony Sonawijaya mengganti seluruh h alaman-halaman perjanjian
yang telah dilegalisir tersebut (kecuali halaman tanda tangan Dirut Wage
Mulyono), memusnahkannya, dan atas bantuan dua orang oknum Biri Hukum,
melegalisir halaman-halaman baru yang isinya telah diubah sehingga sangat
merugikan G aruda.



Di halaman-halaman pengganti yang baru, tersebut disebutkan bahwa Garuda
harus menyewa peralatan ground-handling tersebut selama 13 tahun dengan
harga yang jika ditotal mencapai 500 miliar untuk Autotrans dan 1 miliar
untuk Trigada.



Setelah menyadari keadaan yang terjadi, susunan Direksi Baru Garuda
pimpinan Supandi menjadi kalang kabut dan berusaha membatalkan kedua
perjanjian tersebut. Supandi hanya berhasil membatalkan perjanjian dengan
PT. Trigada karena peralatan ground-handling milik PT Itu secara fisik
belum tiba di Bandara Soekarno Hatta.



Supandi berusaha membatalkan perjanjian dengan Autotrans, akan tetapi apa
daya kekuasaannya dipapras habis oleh Menhub (waktu itu) Harianto
Danutirto yang mencabut pembatalan dari Supandi. Harianto malahan
memerintahkan untuk membuat PT baru yang dapat me lakukan take over sewa
peralatan ground-handling Autotrans tersebut, yang sahamnya merupakan
patungan antara Garuda dengan PT. Angkasa Pura sehingga nama perusahaan
tersebut menjadi PT. Gapura.



Sayangnya modal Garuda berupa peralatan ground-handling seluruh Indonesia
miliknya berikut tenaga-tenaga operator ground-handling yang terlatih dan
dihibahkan kepada PT. Gapura dinilai sangat keci, sehingga pembagian
penyertaan modal menjadi tidak imbang. Modal Garuda hanya 37 % sedangkan
Angkasa Pura I dan II masing-masing 31,5 % (apabila digabung menjadi 63
%).



Demikianlah riwayat berdirinya perusahaan baru yang bernama PT.
Gapura,yang didirikan demi tetap berlanjutnya sewa ground-handling dengan
Autotrans yang awalnya diprakarsai ornag-orang yang dengan sangat licik
menjarah uang Garuda melalui perusahaan groun d-handling PT. Autotrans dan
PT. Trigada ini :



Tony Sonawijaya (waktu itu Kepala Dinas Pelayanan)


Jimmy Tombokan (waktu itu Kepala bidang di Biro Hukum)


Salman Rifaat (waktu itu Kepala bidang di Biro Hukum)



Saat ini Tony Sonawijaya telah diberhentikan dari Garuda karena tidak
pernah masuk bekerja, mungkin juga karena ia merasa sudah kaya dan tidak
perlu lagi bekerja di Garuda. Tidak heran kalau ia kaya karena dengan
memanfaatkan hubugannya dengan keluarga Ce ndana ia awet bercokol sebagai
Distrik Manajer (DM) di negara-negara yang strategis seperti Amerika
Serikat dan Inggris. Bahkan dari hasilnya menjabat sebagai DM di Los
Angeles, ia mampu membeli rumah di kota itu.



Sayang sekali yang diberhentikan dari Garuda hanya Tony Sonawijaya,
padahal Jimmy Tombokan pun tak kalah kelicikannya dalam berbisnis, karena
ia juga punya usaha "sampingan" dengan menyewakan anak-anak gadis usia
remaja untuk "dipakai" oleh rekan-rekanan bisnisnya alias menjadi "germo".



V. Kasus Sewa Pesawat 330-300



Sewa pesawat ataupun pembelian pesawat merupakan proyek maha besar yang
selalu ditunggu-tunggu dan dinanti-nantikan oleh oknum-oknum Garuda yang
serakah itu. Bisa dimaklumi karena karena kita semua pasti tahu betapa
"wah"nya harga pesawat, sehingga "komis i" yang akan didapat dari sewa
atau pembelian pesawat juga membuat air liur oknum-oknum tersebut
meleleh-leleh.



Pada akhir 1989, Dirut (waktu itu Soeparno) menandatangani perjanjian
pembelian (waktu itu masih diijinkan pemerintah) beberapa pesawat dengan
pabrikan Airbus Industri untuk jenis pasawat A330-300.



Akan tetapi karena tidak sanggup menyediakan uang tunai untuk pembayaran
pesawat tersebut, disamping setahun kemudian muncul peraturan bahwa
sebagai BUMN, Garuda tidak boleh melakukan pinjaman uang (loan), maka
Garuda mencari-cari penyandang dana yang san ggup "menalangi" pembayaran
tersebut.



Sang Dewa penolong akhirnya datang juga, yaitu Konsorsium Bank dibawah
pimpinan Morgan Grenfell yang bersedia mengambil alih pembelian dengan
melakukan novasi pembelian untuk enam pesawat A330 tersebut.



Morgan Grenfell pun tak sendirian, karena dalam konsorsium yang
dipimpinnya tiu tergabung berbagai macam lembaga keuangan yang turut
menyalurkan kredit ekspor dan kredit komersial, antara lain Hermes, Cofas,
Credit Lyonais, Bank Paribas, dan lain-lain.



Bantuan yang datang bak dewa penolong itu bukannya gratis diberikan kepada
Garuda, karena Morgan pun tidak membutuhkan pesawat-pesawat tersebut
sehingga Garuda diwajibkan mengembalikan uang Morgan yang dipinjamnya
denga cara membeli kembali pesawat-pesawa t tersebut dengan cara cicilan,
lengkap dengan bunga pinjaman sebagaimana lazimnya pinjam meminjam uang di
Bank.





Diputuskan bahwa pesawat-pesawat tersebut secara formal di atas kertas
akan di "sewa" oleh Garuda. Akan tetapi karena Morgan Grenfell adalah
konsorsium bank akan tampak aneh apabila menyewakan pesawat kepada Garuda,
maka didirikanlah sebuah perusahaan dia tas kertas alias Special Purpose
Company oleh Morgan Grenfell, yang diberi nama GIE Sulawesi dan secara
administrasi dikelola oleh Bank Paribas.



Lagi-lagi Garuda bingung karena pesawat tersebut pada dasarnya harus lepas
dari Morgan Grenfell, sedangkan hanya dengan "menyewa" pesawat saja maka
secara formal status pesawat akan tetap menjadi milik Morgan Grenfell yang
diwakili oleh GIE Sulawesi. Akhi rnya diputuskan bahwa sewa pesawat
tersebut bersifat "sewa beli (finansial lease)" untuk jangka waktu 12
tahun.



Ini berarti bahwa Garuda harus membayar harga sewa dua kali lebih mahal
dari harga sewa pesawat untuk dioperasikan, karena bagi Morgan pada tahun
keduabelas , pesawat-pesawat tersebut berpindah tangan ke Garuda berarti
merupakan penghapusan aset Morgan da lam pembukuannya.



Sialnya untuk melakukan sewa beli (financial lease) pun Garuda harus
mendapatkan izin dari pemerintah, maka oknum-oknum Garuda kembali memutar
otak untuk mengaburkan transaksi ini. Sadar bahwa transaksi ini melanggar
ketentuan yang ditetapkan oleh pemerin tah, maka oknum-oknum Garuda
menciptakan apa yang disebut sebagai "kosmetik lease" yaitu transaksi
financial lease yang disamarkan dalam bentuk perjanjian sewa biasa
(operating lease).



Sepintas memang tampak isi perjanjian seperti sewa operasi, akan tetapi
apabila ditelusuri banyak dokumen-dokumen lain yang dibuat bersamaan
dengan perjanjian sewanya, akan tampak bahwa transaksi tersebut sebetulnya
merupakan transaksi pembelian yang tert unda.



Karena pembayaran sewa untuk enam pesawat tersebut dirasa terlalu mahal
dan cukup memberatkan Garuda, maka Garuda pun menerima tawaran dari
institusi keuangan Jepang yang tergabung dalam grup Yamasa untuk
meringankan beban pembayaran sebagian pesawat ters ebut selama enam tahun.



Caranya, Yamasa mengambil alih sewa beli 3 pesawat yang secara formal
menjadi milik GIE Sulawesi selama jangka waktu enam tahun dengan modal
dengkul, karena Yamasa tidak perlu mengeluarkan uang untuk itu namun
dilakukan dengan cara mortgage atau menggadai kan 3 pesawat tersebut
kepada Sanwa Bank. Dengan modal gadai pesawat tersebut Yamasa mendapatkan
kucuran dana dari Sanwa.



Untuk mengembalikan uang Sanwa Bank yang didapat dari hasil menggadaikan
pesawat milik GIE Sulawesi selama dalam waktu enam tahun, Yamasa mengambil
alih hak Garuda atas "tax benefit" atau keuntungan yang diperoleh Garuda
dari peraturan-peraturan pajak di negara manapun sehubungan dengan
transaksi A330 ini berdasarkan sistem JLL (Japan Leverage Lease) yang saat
itu masih diberlakukan.



Sistem JLL ini hanya dapat dilakukan apabila Garuda melakukan perjanjian
sewa pesawat dengan perusahaan Jepang. Akan tetapi karena Yamasa sendiri
pun bukan perusahaan penyewaan pesawat maka Yamasa mendirikan perusahaan
di atas kertas yang diberi nama GIE Sumatera. Maka tiga dari enam pesawat
A330-300 itu disewa oleh Garuda dari GIE Sumatera.



Keuntungan yang diperoleh Garuda adalah selama enam tahun bunga yang
dibayar Garuda untuk sewa 3 pesawat sedikit lebih ringan daripada bunga
yang dikenakan untuk 3 pesawat lainnya yang disewa dari GIE Sulawesi. Akan
tetapi kerugiannya selama enam tahun it u pula Garuda akan dikenai penalti
atau denda yang sangat besar apabila terlambat melakukan pembayaran
ataupun membatalkan isi perjanjian 3 pesawat yang disewa berasarkan JLL
tersebut.



Padahal pendapatan yang diperoleh Garuda dari pengoperasian enam pesawat
A330 itu rata-rata hanya mencapai 30-40%. Sedangkan untuk dapat membayar
biaya sewa dan biaya operasional lainnya termasuk biaya perawatan, bahan
bakar, dan lain sebagainya diperluka n target 200% dari full capacity.



Dengan kata lain keberadaan pesawat-pesawat A330 itu bukannya mendatangkan
keuntungan bagi Garuda, namun malah sangat memberatkan dan merepotkan.



Resiko lain yang juga harus ditanggung oleh Garuda adalah apabila Garuda
benar-benar tidak mampu membayar harga sewa maka Garuda tidak mungkin
berpaling kepada pemerintah untuk meminta jaminan (government guarentee)
yang seharusnya dimintakan pada awal ak an dilakukan transaksi, sehingga
nama dan bonafiditas Garuda di mata dunia-lah yang menjadi taruhannya.



Arsitek-arsitek ahli rekayasa sewa pesawat A330 ini adalah,



(Captain) Wahyudo (pengadaaan pesawat)


IB. Djatmiko (unit keuangan)


Jimmy Tombokan (biro hukum)


Syamsirudin Siregar (pengadaan pesawat)


Desmon Ismael (waktu itu kepala dinas keuangan)



Anehnya oknum-oknum itu masih bercokol dengan tenang di Garuda, Desmon
Ismael malahan mendapat kehormatan dengan menjadi salah satu direktur di
perusahaan penerbangan milik negara lainnya yaitu PT. Merpati Nusantara.



VI. Kasus Penjualan Promisory Note



Berbekal bonafiditas nama Garuda Indonesia yang masih berkibar di seluruh
dunia, kepala dinas keuangan Garuda pengganti Desmon Ismael yang hengkang
ke Merpati yang bernama Yulianto Poerwodihardjo pada tahun 1996-1997
melakukan penjualan surat-surat pengak uan hutang/promisory note jangka
pendek atas nama Garuda kepada berbagai bank dan lembaga keuangan di
seluruh dunia.



Surat-surat pengakuan hutang yang umumnya jatuh tempo dalam jangka waktu
enam bulan itu, paling banyak diborong oleh (lagi-lagi) Morgan Grenfell,
dengan jumlah (sungguh fantastis) hampir mencapai US $ 600 juta. Jumlah
ini tentunya belum termasuk bunga ban k yang sudah dipotong di muka.



Ketika telah tiba saat surat-surat hutang tersebut jatuh tempo, Garuda pun
kelabakan mencari dana untuk menutup hutang-hutang tersebut. Karena
Yulianto masih memiliki hubungan kekerabatan dengan direktur keuangan
Garuda yang menjabat untuk kedua kalinya y aitu Achmad Subianto, maka sang
saudara berusaha membantu kesulitan yang sedang dihadapi kerabatnya.



Achmad Subianto berusaha mencari pinjaman dana komersial luar negeri tanpa
seizin pemegang saham, menteri keuangan (waktu itu) Mar_ie Muhammad.
Sayangnya, niat tersebut tercium pihak BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
sehingga gagal dan Yulianto pun diperiksa sehingga harus meletakkan
jabatan.



Tinggalah Garuda yang bernasib sial harus membayar hutang-hutang promisory
note tersebut, yang sudah tersebar luas kemana-mana karena Morgan Grenfell
sendiri ternyata tidak mau mengambil resiko dan telah menjual promisory
note Garuda tersebut ke seluruh d unia. Morgan Grenfell memang "pelanggan"
tetap Garuda karena masih ada hubungan bisnis dengan mantan direktur
keuangan Garuda, Jazid Adam.



Jazid Adam-lah sebenarnya yang "mengakrabkan" hubungan antara Garuda dan
Morgan Grenfell dengan menggunakan kekuasaannya sebagai direktur keuangan
Garuda saat itu.



VII. Kasus Simulator DC-10



Mungkin inilah kasus korupsi paling bodoh yang pernah terjadi. Sederhana
saja Garuda membutuhkan peralatan simulator untuk pesawat DC-10. Lalu
Garuda membeli simulator-simulator tersebut dengan harga yang cukup
tinggi, akan tetapi sejak tiba di Pusdiklat peralatan-peralatan tersebut
tidak pernah dapat dipergunakan karena tidak layak pakai alias rusak.



Oknum yang menjadi dalang pembelian ini adalah :



(Captain) Dharmadi (waktu itu Direktur Operasi)


(Captain) Sabur Taufik (waktu itu Kepala Dinas Pengadaan)



Kedua orang itu ditambah beberapa orang lain yang memiliki latar belakang
serupa yaitu awak kokpit (pilot) memang menggalang perkoncoan yang cukup
kuat di kalangan Garuda.



Para awak kokpit ini umumnya merintis karir mereka setelah di darat dari
jalur pengadaan. Unit pengadaan sengaja diciptakan atas usaha Dharmadi
(yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Pusdiklat), selanjutnya jabatan
sebagai Kepala Dinas maupun Kepala bid angnya selau diisi oleh para awak
kokpit. Setelah Dharmadi berhasil meraih ambisinya menjadi direktur
operasi maka jabatan kepala pengadaan pun diserahkan kepada Sabur Taufik.



VIII. Kasus MD-11 dan uang Aerowisata



Sebagaimana biasa, program Garuda untuk mengoperasikan pesawat MD-11 yang
saat itu sedang tenar-tenarnya, menimbulkan niat busuk kelompok-kelompok
orang yang ingin mendapatkan keuntungan dari proyek tersebut.



"Kelompok Keuangan" di Garuda yang terdiri dari Wahyudo, Djatmiko, Jimmy
Tombokan dan Syamsirudin Siregar paham benar bahwa itu untuk membayar dowm
payment pembelian (yang waktu itu belum dilarang oleh pemerintah) 6 buah
pesawat MD-11 tersebut Garuda meme rlikan dana.



Maka "Kelompok Keuangan" inipun mencari relasi yang bersedia
meng-investasikan dananya untuk pembayaran down payment MD-11 sebanyak US
$ 7 juta. Agar tidak tampak sebagai pinjaman uang, maka dana tersebut
"dititipkan" pada anak perusahaan Garuda, PT. Aero wisata.



Dengan demikian secara resmi Aerowisata-lah yang membayar down payment
pembelian pesawat MD-11 tersebut. Namun ternyata dikemudian hari
(lagi-lagi) Garuda tidak mampu membayar tunai seluruh harga pesawat
tersebut sehingga Garuda melakukan tender bagi peru sahaan-perusahaan
leasing yang mau membeli pasawat-pesawat MD-11 tersebut.



Setelah diadakan tender, perusahaan yang dimenangkan adalah PT. Komodo
yang didukung oleh "Kelompok Operasi" yang terdiri dari Dharmadi, Sabur
Taufik, (Captain) Wibe Matindas, dan Ferhat Sartono. Selain Dharmadi yang
menjabat sebagai direktur operasi, nam a-nama lain dalam kelompok ini
adalah pejabat-pejabat di lingkungan pengadaan.



PT. Komodo bersedia membeli pesawat-peswat tersebut dan menyewakannya
kepada Garuda secara operating lease. Akan halnya US $ 7 juta milik
"Aerowisata" yang telah terlanjut disetor sebagai down payment, PT. Komodo
menyediakan dua alternatif solusi .



Alternatif pertama, uang sebesar US $ 7 juta itu dihitung sebagai equity
Garuda dan akan diperhitungkan dengan harga sewa, sehingga nantinya harga
sewa yang dibayar oleh Garuda kepada Komodo menjadi lebih murah.
Resikonya, pembukuan Aerowisata tetap menem patkan jumlah tersebut disisi
debet-nya.



Alternatif yang kedua, PT. Komodo mengembalikan secara tunai uang US $ 7
juta tersebut kepada Garuda sehingga Garuda dapat mengembalikannya kepada
Aerowisata. Resikonya , harga sewa yang harus dibayar Garuda kepada Komodo
nantinya menjadi lebih mahal.



Belum sampai kedua alternatif itu dipilih salah satu, terjadi keributan
karena "Kelompok Keuangan" merasa "jatah"nya diambil sehingga membujuk
managemant Garuda untuk membatalkan transaksi dengan Komodo. Usaha ini
berhasil karena kelompok keuangan ini did ukung oleh direktur keuangan
Achmad Subinto.



Walhasil Komodo tinggal melongo karena transaksinya batal, sementara dari
kocek Komodo telah keluar sejumlah besar uang sebagai "tender fee" atau
tanda terima kasih telah terpilih sebagai pamanang tender, yang
dibagi-bagikan kepada orang-orang dari kelomp ok operasi.



Merasa rugi telah terlanjur kehilangan sejumlah uang sementara proyek di
tangan terbang, Komodo pun berniat menuntut Garuda ke pengadilan. Niat
Komodoberhasil diurungkan oleh Dharmadi dengan cara mengambil uang
sejumlah tender fee yang telah dibayarkan Ko modo dari kas pribadi
"kelompok operasi" (yang berasal dari tender fee-tender fee lain) dan
mengembalikan sejumlah tender fee tersebut kepada Komodo.



Atas prakarsa "Kelompok Keuangan" yang didukung oleh direktur keuangan
Achmad Subianto, proyek Komoda tersebut kemudian diambil alih oleh MDFC
(McDonnel Douglas Finance Corporation), anak perusahaan McDonnel Douglas
yang khusus mengurusi masalah financial dan pembiayaan.



Maka Garuda pun urung menyewa dari Komodo, melainkan menyewa dari MDFC
dengan harga yang malahan lebih tinggi dari harga sewa yang ditawarkan
Komodo. Disamping itu uang US $ 7 juta "milik" Aerowisata pun tidak dapar
dikembalikan, sehingga tetap berada di sisi debet pembukuan Aerowisata.



IX. Kasus Konsultan-konsultan Asing



Garuda adalah BUMN yangtermasuk getol menyewa konsultan asing.Apabila
konsultan asing tersebut memang diperlukan dan mempunyai keahlian yang
sangat khusus atau sangat langka, mungkin masih dapat dimaklumi.



Akan tetapi Garuda justru menyewa konsultan-konsultan yang mengeruk isi
kasnya. Contohnya adalah konsultan "proyek akuntansi" orang asing
berkebangsaan Inggris bernama Anthony J. Humprey.



Ia cukup lama bercokol di proyek akuntansi Garuda untuk melakukan alih
pengetahuan (transfer ofknowledge) kepda tim proyek akuntansi yang (waktu
itu) dipimpin oleh Waluyo HS dan (sekarang) Andi Riva_i.



Akan tetapi tim itu bukannya berusaha menyerap keahlian si konsultan,
malahan mereka menyerahkan segala pekerjaan kepada si konsultan sedangkan
para anggota tim tinggal bergoyang kaki menikmati uang tunjangannya. Perlu
diketahui, selain menerima gaji teta p karyawan para anggotatim itu juga
mendapatkan tunjangan tim sebesar +/- Rp. 500.000 tiap orang setiap
bulannya. Akhirnya Garuda pulalah yang rugi karena harus mengeluarkan
biaya ekstra baik untuk tunjangan tim maupun honor konsultan.



Konsultan lain di Garuda yang bukan hanya merugikan Garuda tetapi juga
merugikan Indonesia adalah seorang konsultan berkebangsaan Inggris bernama
K. Bolshaw yag bergabung dalam grup IBA, perusahaan jasa konsultan yang
bergerak di bidang bisnis penerbangan .



Dengan honor per hari GBP (Poundsterling) 700-800 dan uang harian
(transportasi dan makan) US$ 50-70 per hari plus tinggal di apartemen
mewah di bilangan Kuningan, yaitu Apartemen Casablanca, tak heran kalu ia
menjadi sangat betah tinggal di Indonesia.



Sejak tahun pertama kedatangannya ke Indonesia yaitu sekitar tahun 1994,
ia menjadi orang yang paling "merdeka" di negeri ini karena selama bekerja
ia tidak terkena pajak penghasilan konsultan yang seharusnya wajib
dibayarkan.



Hal ini bisa terjadi karena ia datang ke Indonesia tercinta ini sebagai
turis biasa tapa mengantongi izin kerja sehingga namanya tak terdaftar di
Direktorat Pajak, Departemen Keuangan. Dengan kata lain, selama +/- 4
tahun K. Bolshaw adalah tenaga kerja il egal di Indonesia, sama dengan
TKI-TKI yang tidak mendapat izin kerja di Malaysia sehingga dianggap
sebagai "pendatang haram". Andaikata ia tinggal di Malaysia, tentu
hukumannya sebagai pendatang haram sama dengan TKI-TKI yang tertangkap
yaitu mulai dari hukum cambuk sampai deportasi dengan cap "persona non
grata".



Dengan status ilegal seperti itu seharusnya ia tahu diri dan benar-benar
bekerja untuk kepentingan Garuda yang membayar honor untuk jasanya, akan
tetapi ia malahan berkolusi dengan pihak-pihak lain yang melakukan
transaksi dengan Garuda untuk keuntunganny a sendiri atau untuk keuntungan
IBA, perusahaan tempat ia bekerja.



Tak heran jika ia pintar berkolusi karena boleh dikata ia mengenal hampir
semua orang dalam bisnis penerbangan di seluruh Eropa dan Amerika.
Ditambah kepiawaiannya dalam liku-liku bisnis, terutama bisnis
penerbangan, dan keluwesannya melakukan "lobbying" terhadap penguasa dan
rekan-rekan bisnisnya, maka ia dapat menangkap peluang-peluang bisnis
dengan melakukan kolusi dengan perusahaan-perusahaan yang justru menjadi
"counterpart" bisnis Garuda.



Dengan demikian disamping mendapatkan honor tetap dari Garuda plus segala
fasilitasnya (termasuk tiket pesawat Garuda kemanapun ia pergi), ia juga
mendapatkan keuntungan-keuntungan dari hasil-hasil kolusinya dengan cara
mengkhianati Garuda.



Untuk tetap awet bertahan di Garuda ia sadar bahwa ia pun harus "membina
hubungan baik" dengan beberapa tokoh di Garuda sehingga ia selalu akan
dibutuhkan oleh tokoh-tokoh tersebut. "Pelanggan tetap" yang selalu
menggunakan jasanya yang seringkali malah m enyesatkan Garuda ini adalah
Direktur Keuangan, Achmad Subianto, dan kepala pengadaan (Captain) Sabur
Taufik.



X. Penutup



Sebenarnya masih banyak kasus-kasus lain yang tergolong kasus "kecil"
alias "kelas teri" yang terdapat di Garuda, akan tetapi apabila dipaparkan
mungkin dapat mencapai berpuluh-puluh halaman sehingga dapat dibukukan
karena bisa dikata hampir di semua unit di Garuda terjadi kolusi dan
korupsi.



Sebagai contoh di jajaran Niaga, kerjasama dengan General Sales Agent
(GSA) merupakan lahan empuknya. Contohnya adalah kerjasama dengan GSA
Garuda Stria Utama di Taiwan, yang jauh dari menguntungkan.



Disamping tata cara pemberian komisinya sebagai agen tidak sesuai dengan
ketentuan asosiasi penerbangan internasional (IATA) yang berlaku, Garuda
juga "diwajibkan" menyewa kantor berikut segala fasilitasnya kepada
perusahaan tersebut seharga US $ 6.000 pe r bulan.



Yang lebih "mengesankan" adalah bahwa kerjasama-kerjasama dengan GSA
semacam itu bersifat tak terbatas jangka waktunya karena tanggal
berakhirnya perjanjian tidak ditentukan secara pasti.



Memang untuk urusan GSA ini cukup banyak "tangan-tangan sakti" yang turut
campur, termasuk "tangan-tangan Cendana" misalnya untuk kerjasama GSA
Kibeka di Jepang dan GSA Sandon di RRC. Untunglah di era Supandi
kerjasama-kerjasama dengan GSA-GSA ini banyak diperbarui dan diperbaiki.



Unit lain yang juga melakukan kecurangan-kecurangan "kecil-kecilan" (kecil
dibandingkan kecurangan bisnis pesawat) adalah unit Umum yang selalu
menetapkan perusahaan yang itu-itu saja menjadi pemenang tender atau
bahkan menunjuk langsung perusahaan yang i tu-itu saja untuk melakukan
suatu pekerjaan tanpa melalui tender.



Hal ini menyebabkan seringkali terjadi perusahaan tersebut tidak sanggup
menyediakan barang atau melakukan pekerjaan yang dimaksud, maka perusahaan
tersebut men-subsidikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan lain.



Tentu saja perusahaan yang ditunjuk tersebut membayar lebih murah kepada
perusahaan pihak ketiga yang diberi limpahan pekerjaan, sehingga Garuda
mendapatkan harga yang sudah di "mark-up". Dengan kata lain, perusahaan
yang ditunjuk sebagai pemenang sebenar nya hanya perusahaan yang
bermodalkan "dengkul" dengan bertindak sebagai "makelar" terhadap
pekerjaan yang sesungguhnya mampu melakukan pekerjaan tersebut. Akhirnya
Garuda harus membayar lebih mahal untuk harga yang telah di mark-up
tersebut.



Kecurangan-kecurangan tender semacam ini juga dilakukan di unit Operasi,
hanya saja unit ini masih menjaga keabsahan proses dan dokumentasi
sehingga meskipun secara commercial fairness tidak benar karena yang
menjadi pemenang tender sudah direkayasa akan tetapi secara hukum dan
administratif proses dan dokumentasinya sudah benar. Dengan demikian
permainan tender di unit ini tidak terlalu mencolok.



Unit Teknik adalah unit yang paling berpeluang melakukan kecurangan karena
untuk membeli sepotong dua potong suku cadang pesawat atau mesin pesawat
yang rusak dan harus segera diganti, mereka cukup melakukannya dengan
mengeluarkan repeat order.



Meskipun hanya sepotong dua potong suku cadang, tapi harga suku cadang
pesawat tentunya tidak murah dan permainan harga dapat dilakukan pada
kwitansi yang diberikan oleh pabrik. Sama halnya seperti sopir-sopir mobil
pribadi yang berkolusi dengan bengkel, si sopir yang disuruh memperbaiki
mobil tuannya ke bengkel menyuruh bengkel langganannya untuk menulis harga
Rp. 10.000 untuk harga dua buah busi misalnya, padahal harga busi itu
sendiri hanya Rp. 5.000. Dengan demikian si sopir mendapat keuntungan
pribad i Rp. 5.000 sedangkan majikannya tak punya waktu untuk melakukan
pengecekan harga.



Dengan terjadi kolusi dan korupsi pada hampir seluruh jajaran Garuda, tak
heran jika Garuda menderita kerugian bermilyar-milyar rupiah setiap
tahunnya. Mungkin untuk menyembuhkan sakit Garuda diperlukan waktu tidak
cukup sepuluh tahun, akan tetapi sebagai bangsa Indonesia yang cinta pada
negara dansegala sesuatu yang menjadi kebanggaan negara, termasuk
penerbangan kebanggaan negara yaitu Garuda Indonesia, kita tentunya harus
optimis untuk memperbaiki kondisi ini secepat mungkin.



Inilah tugas direksi baru Garuda yang sangat berat dan penuh tantangan !.