Untouchable Mega Corruption?

Kasus Mega Korupsi Yang Sudah Sangat Transparan, dan Sangat Membebani Garuda. Kasus ini harus diusut karena sebesar US$ 470 juta dari US$ 748 juta utang Garuda berasal dari pembelian A330-300 tersebut. Artinya, Garuda hingga kini membayar utang hasil Mega Korupsi Mark Up, bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya.................

>>>Namun hingga saat ini belum tersentuh Aparat Penegak Hukum & Pemberantas Korupsi Republik Indonesia<<<

ADA APA DENGAN APARAT KITA?

MOHON DUKUNGAN MASYARAKAT & SEGENAP KARYAWAN GARUDA UNTUK MELAKUKAN KONTROL SOSIAL TERHADAP KASUS MEGA KORUPSI INI.

INFO PEDULI KITA

Jika kita memiliki info dan data-data sekitar kasus ini silakan mengirimkannya ke mega_dosa_garuda@yahoo.com kerahasiaan dan keamanan kita dijamin. "Kalau bukan kita siapa lagi?"

Saturday, July 15, 2000

GARUDA TAK LAGI PERKASA

http://www.minihub.org/siarlist/msg04840.html

SiaR-->XPOS: GARUDA TAK LAGI PERKASA

Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: ekspos@excite.com
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 20/III/12-18 Juni 2000
================================================

GARUDA TAK LAGI PERKASA

(EKONOMI): PT Garuda Indonesia Airways mengalami kerugian sekitar Rp
8,5 trilyun. Itu akibat dari kekotoran manajemen di jamannya Soeharto.

Di tengah-tengah hiruk pikuknya pembicaraan mengenai pembobolan dana
Bulog sebesar Rp35 milyar, diam-diam di DPR diadakan sebuah dengan
pendapat dengan Dirut PT Garuda Indonesia. Hasil pembicaraannya,
Perusahaan penerbangan milik negara itu rugi 1,008 miliar dollar AS
atau sekitar Rp8,5 trilyun. Jumlah yang jauh lebih besar dibanding
dengan bobolnya dana Bulog. Tapi mengapa berita ini tidak seheboh
kasus Bulog? Mungkin karena kasus ini jauh dari bau istana negara
- --kasus Bulog melibatkan Suwondo yang dikenal dekat dengan Gus Dur.

Kasus ruginya Garuda ini sebenarnya kasus lama karena merupakan
warisan kejahatan KKN Orde Soeharto. Dalam rapat dengar pendapat
dengan Dirut Garuda Indonesia itu disebutkan bahwa kerugian itu akibat
utama dari leasing Garuda dengan konsorsium bank (GIE Sulawesi dan GIE
Sumatera. Perjanjian semula hanya operating lease (sewa guna)
berjangka waktu 5-6 tahun, tapi kemudian berubah menjadi finacial
lease (sewa beli) berjangka waktu 12-16 tahun. Finacial lease ini
berakibat Garuda tak bisa meremajakan pesawat karena harus membeli
pesawat rongsokan yang habis masa sewanya sesuai dengan harga pasar.

Menurut informasi yang diperoleh Xpos, pada akhir 1989, Dirut Garuda
(waktu itu Soeparno) menandatangani perjanjian pembelian beberapa
pesawat dengan pabrikan Airbus Industri untuk jenis pasawat A330-300.
Tetapi karena tidak sanggup menyediakan uang tunai untuk pembayaran
pesawat tersebut --kemudian juga muncul peraturan bahwa BUMN, tidak
boleh melakukan pinjaman uang (loan), Garuda mencari penalang
pembayaran tersebut. Penalangnya tak lain Konsorsium Bank di bawah
pimpinan Morgan Grenfell yang bersedia mengambil alih pembelian dengan
melakukan novasi pembelian untuk enam pesawat A330. Dalam menalangi
Morgan Grenfell bersama Hermes, Cofas, Credit Lyonais, Bank Paribas,
dan lain-lain. Konsesinya, Garuda diwajibkan mengembalikan uang Morgan
yang dipinjamnya dengan cara membeli kembali pesawat-pesawat tersebut
dengan cara cicilan, lengkap dengan bunga pinjaman sebagaimana
lazimnya pinjam meminjam uang di Bank.

Tetapi karena Morgan Grenfell adalah konsorsium bank, dan tampak aneh
apabila menyewakan pesawat kepada Garuda, maka mereka mendirikan
Special Purpose Company (perusahaan di atas kertas) GIE Sulawesi dan
secara administrasi dikelola oleh Bank Paribas. Diputuskan bahwa sewa
pesawat tersebut bersifat "sewa beli (finansial lease)" untuk jangka
waktu 12 tahun. Artinya Garuda harus membayar harga sewa dua kali
lebih mahal dari harga sewa pesawat untuk dioperasikan, karena bagi
Morgan pada tahun ke duabelas, pesawat-pesawat tersebut berpindah
tangan ke Garuda.

Sebenarnya, transaksi ini melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh
pemerintah. Tapi sindikat di dalam Garuda menciptakan "kosmetik lease"
yaitu transaksi financial lease yang disamarkan dalam bentuk
perjanjian sewa biasa (operating lease), sehingga loloslah sewa
penyewaan ini.

Pembayaran sewa untuk enam pesawat tersebut sebenarnya terlalu mahal
dan cukup memberatkan Garuda. Maka Garuda pun menerima tawaran grup
Yamasa Jepang. Caranya, Yamasa mengambil alih sewa beli tiga pesawat
yang secara formal menjadi milik GIE Sulawesi selama jangka waktu enam
tahun dengan modal dengkul, karena Yamasa tidak perlu mengeluarkan
uang karena hanya menggadaikan tiga pesawat tersebut kepada Sanwa
Bank. Dengan modal gadai pesawat tersebut Yamasa mendapatkan dana dari
Sanwa. Sebagai konsekwensi pengembalian uang Sanwa Bank, Yamasa
mengambil alih hak Garuda atas "tax benefit" atau keuntungan yang
diperoleh Garuda dari peraturan-peraturan pajak. Lagi-lagi karena
Yamasa bukan perusahaan penyewaan pesawat, mereka kemudian mendirikan
perusahaan di atas kertas yang diberi nama GIE Sumatera. Maka tiga
dari enam pesawat A330-300 itu disewa oleh Garuda dari GIE Sumatera.

Keuntungan yang diperoleh Garuda adalah selama enam tahun bunga yang
dibayar Garuda untuk sewa tiga pesawat sedikit lebih ringan daripada
bunga yang dikenakan untuk tiga pesawat lainnya yang disewa dari GIE
Sulawesi. Akan tetapi kerugiannya selama enam tahun itu pula Garuda
akan dikenai penalti atau denda yang sangat besar apabila terlambat
melakukan pembayaran ataupun membatalkan isi perjanjian tiga pesawat
yang disewa. Padahal pendapatan yang diperoleh Garuda dari
pengoperasian enam pesawat A330 itu rata-rata hanya mencapai 30-40%.
Sedangkan untuk dapat membayar biaya sewa dan biaya operasional
lainnya termasuk biaya perawatan, bahan bakar, dan lain sebagainya
diperlukan target 200% dari full capacity.

Menurut informasi, arsitek-arsitek ahli rekayasa sewa pesawat A330 ini
adalah, Captain Wahyudo (pengadaaan pesawat), IB. Djatmiko (unit
keuangan), Jimmy Tombokan (biro hukum), Syamsirudin Siregar (pengadaan
pesawat), Desmon Ismael (waktu itu kepala dinas keuangan).

Mereka konon juga menjadi calo dalam pengoperasian pesawat MD-11.
"Kelompok Keuangan" ini mencari relasi untuk pembayaran down payment
MD-11 sebanyak US$7 juta. Tapi pinjaman itu "dititipkan" pada anak
perusahaan Garuda, PT. Aero wisata, supaya tidak ketahuan sebagai
utang. Sehingga secara resmi Aerowisata yang membayar down payment
pembelian pesawat MD-11 tersebut. Ternyata belakangan Garuda tidak
mampu membayar tunai seluruh harga pesawat tersebut sehingga Garuda
melakukan tender bagi perusahaan-perusahaan leasing yang mau membeli
pasawat-pesawat MD-11 tersebut. Dan yang menang PT. Komodo. PT. Komodo
bersedia membeli pesawat-peswat tersebut dan menyewakannya kepada
Garuda secara operating lease. Tapi entah karena apa transaksi ini
dibatalkan dan proyek Komodo tersebut kemudian diambil alih oleh MDFC
(McDonnel Douglas Finance Corporation), anak perusahaan McDonnel
Douglas yang khusus mengurusi masalah financial dan pembiayaan dengan
harga lebih tinggi dari harga sewa yang ditawarkan Komodo. Disamping
itu uang US$7 juta "milik" Aerowisata pun tidak dapat dikembalikan.

Selain kerugian akibat perjanjian dengan GIE Sulawesi dan GIE Sumatera
itu, Garuda juga memperoleh kerugian besar dari pembelian peralatan
simulator untuk pesawat DC-10. Garuda membeli peralatan simulator
tersebut dengan harga yang cukup tinggi, akan tetapi sejak tiba di
Pusdiklat peralatan-peralatan tersebut tidak pernah dapat dipergunakan
karena tidak layak pakai alias rusak. Dalang pembelian simulator ini
disebut-sebut Captain Dharmadi (waktu itu Direktur Operasi) dan
Captain Sabur Taufik (waktu itu Kepala Dinas Pengadaan).

Garuda, seperti halnya Pertamina memang dibuat Soeharto untuk menjadi
perusahaan yang rugi. Betapa tidak, salah satu ladang penghasilan
terbesar yang seharusnya membuat Garuda kaya raya dengan mudahnya
dioper ke perusahaan milik keluarga Cendana itu. Carter pesawat yang
seharusnya bisa ditangani sendiri oleh Garuda untuk mengangkut ratusan
ribu jemaah haji, diambil oleh PT Humpuss dan PT Bimantara Citra,
milik keluarga Cendana.

Sekarang, ibarat burung garuda, PT Garuda Indonesia merupakan burung
garuda yang tak gagah lagi, tapi burung yang sudah kehilangan
bulu-bulu sayapnya. Tak lagi bisa terbang karena digerogoti para
kolutor dan koruptor. (*)


=========================================================
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: ekspos@excite.com

- ----------------------------
SiaR WEBSITE:
http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Monday, July 10, 2000

Akibat Kelalaian

ANGKASA N0.10 JULI 2000 TAHUN X
Copyright © 1998 Majalah Angkasa. All rights reserved
Designed by Kompas Cyber Media


http://www.angkasa-online.com/10/10/kolom/kolom1.htm

Baru-baru ini diberitakan secara luas bahwa perusahaan penerbangan BUMN Garuda dalam jangka waktu dua tahun telah menderita kerugian yang tidak kecil. Menurut penjelasan pimpinan perusahaan, itu terjadi menurut pengakuannya karena 'lalai' memperhatikan masalah biaya sewa pesawat udara, sedang perusahaan selama ini mengutamakan perhatiannya pada sisi operasionalnya.

Bagi orang awam, alasan yang dikemukakan pimpinan perusahaan itu mungkin bisa diterima sebagai alasan yang wajar-wajar saja, tidak ada masalah. Tapi bagi para pengamat atau pemerhati masalah penerbangan dan angkutan udara, alasan semacam itu sulit diterima. Mengapa bisa demikian? Karena, pertama bagi mereka (para mengamat) faham benar bahwa bidang penerbangan atau usaha angkutan udara merupakan the most integrated business antara segenap bidang kegiatan manajemen seperti pemasaran, operasi yang terdiri dari flight maupun ground operation, teknik-perawatan yang mencakup perawatan dan pemeliharaan, dan terakhir administrasi dan keuangan yang juga mencakup masalah SDM.

Jadi sulit untuk diterima bila manajemen sedang atau membenahi bidang operasi tanpa mengaitkan atau mengintegrasikannya dengan bidang-bidang lainnya. Kedua, istilah 'lalai' merupakan istilah asing atau tidak dikenal di semua bidang kegiatan perusahaan penerbangan.

Tidak sulit untuk dibayangkan bila di bidang teknik atau operasi yang mungkin bisa terjadi. Suatu 'kelalaian' betapa kecilnya, tidak mustahil dapat mengakibatkan suatu musibah yang besar. Bahkan mungkin hanya keliru menginterpretasikan atau keliru mendapat atau menerima informasi bisa mengakibatkan suatu musibah yang tidak diinginkan atau diduga sebelumnya.

Demikian pula di bidang keuangan. Keliru dalam mengambil kebijakan di bidang keuangan, seperti yang telah terjadi yakni tingginya sewa pesawat akibat mark-up atau bentuk KKN lainnya, tidak mustahil dapat menempatkan perusahaan dalam kesulitan finansial ekonomi. Mengingat dalam perusahaan penerbangan terdapat keterkaitan perimbangan antara sisi keuangan dan sisi keselamatan penerbangannya, maka sulit diharapkan perusahaan dapat mempertahankan apalagi meningkatkan tingkat keselamatan penerbangannya bila perusahaan berada dalam kesulitan finansial. Dan ini berarti meningkatkan risiko yang merugikan dilihat dari sisi pelayanan bagi kepentingan umum.

Yang sekarang perlu dipertanyakan adalah bagaimana tindakan pencegahannya agar tidak terjadi mark-up atau KKN. Solusinya adalah dengan membangun hukum baru yang belum dikenal di dalam wacana hukum perundangan di Indonesia. Bentuk hukum baru yang dimaksud adalah Regulasi Ekonomi Penerbangan.

Di Indonesia, sebuah regulasi biasanya diterjemahkan sebagai sebuah peraturan yang tingkat kekuatannya atau hirarkinya berada di bawah Undang-undang. Namun regulasi ekonomi yang dimaksud agar efektif dalam pelaksanannya harus mempunyai kekuatan hukum. Jadi harus berupa suatu undang-undang. Dengan kata lain harus memiliki sifat memaksa untuk dipatuhi atau dilaksanakan. Kita ambil contoh Aircarrier Economic Regulation (AER), yang merupakan bagian dari FAA (Federal Aviatian Act-1958). Undang-undangnya adalah FAA-1958, sedang AER merupakan suatu Bab dari FAA tersebut. FAA-1958 jelas merupakan sebuah U.U. yang berasal dari sistem hukum Anglo-Saxon dari AS.

Dengan demikian, jelas bila belum 'dikenal' di Indonesia yang sistem hukumnya masih mengacu pada sistem hukum Continental, yang merupakan 'warisan' dari sistem hukum kolonial Belanda (Eropa Barat) yang telah menjajah kita selama 350 tahun. Untuk mempersingkat dan memudahkan menyebutnya, maka selanjutnya mungkin bisa digunakan istilah Hukum Ekonomi Penerbangan tanpa mengurangi pengertian yang sebenarnya yakni Regulasi Ekonomi Penerbangan yang mempunyai kekuatan hukum seperti AER-nya FAA-1958 dari AS.

FAA-1958 dengan AER-nya diberlakukan sejak 23 Agustus 1958. Dan telah menjadi pemicu munculnya regulasi ekonomi lainnya yang mengatur bidang usaha ekonomi yang dikatagorikan sebagai public utility. Atau bidang usaha yang melayani kepentingan orang banyak, seperti BBM dan gas alam, pembangkit listrik dan distribusinya, perusahaan telepon dan telegraf antar-negara bagian, pelayanan kesehatan dan lain sebagainya.

Ada perbedaan yang sangat mendasar antara sistem hukum Continental (Eropa) dan sistem hukun Anglo-Saxon (AS). Pada sistem hukun continental, filosofinya tampak pada sifat-sifatnya yang represif, yang senantiasa cenderung melindungi yang berkuasa. Hal ini bisa dimaklumi karena yang berkuasa (waktu itu) adalah kolonial Belanda yang jelas ingin mempertahankan dan mengokohkan kekuasaannya melalui berbagai undang-undang atau sistem hukumnya.

Sedang sistem hukum Anglo Saxon selain tentunya ada sifat yang represif, namun sifat penekanannya lebih mengutamakan pada sifat-sifat yang preventif. Pasal-pasalnya merupakan rambu-rambu untuk mencegah munculnya KKN dalam segala bentuk maupun manifestasinya.

Selain mencegah terjadinya white collar crime dan corporate crime juga untuk mencegah terjadinya distorsi, keharusan memberikan proteksi bagi kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan orang perorang, serta menjamin partisipasi dan pengawasan sosial secara transparan dan demokratis.

Dengan pengalaman krisis yang multidimensi sekarang ini, bukankah sudah tiba waktunya untuk memikirkan secara serius, untuk mengalihkan sistem hukum Continental kita ke hukum Angl-Saxon bagi sistem hukum Indonesia Baru di masa mendatang. Mudah-mudahan. (Cartono Soejatman)