Untouchable Mega Corruption?

Kasus Mega Korupsi Yang Sudah Sangat Transparan, dan Sangat Membebani Garuda. Kasus ini harus diusut karena sebesar US$ 470 juta dari US$ 748 juta utang Garuda berasal dari pembelian A330-300 tersebut. Artinya, Garuda hingga kini membayar utang hasil Mega Korupsi Mark Up, bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya.................

>>>Namun hingga saat ini belum tersentuh Aparat Penegak Hukum & Pemberantas Korupsi Republik Indonesia<<<

ADA APA DENGAN APARAT KITA?

MOHON DUKUNGAN MASYARAKAT & SEGENAP KARYAWAN GARUDA UNTUK MELAKUKAN KONTROL SOSIAL TERHADAP KASUS MEGA KORUPSI INI.

INFO PEDULI KITA

Jika kita memiliki info dan data-data sekitar kasus ini silakan mengirimkannya ke mega_dosa_garuda@yahoo.com kerahasiaan dan keamanan kita dijamin. "Kalau bukan kita siapa lagi?"

Thursday, February 27, 1997

KONTAN NO. 22 - Curug Terbang ke Swasta

From: apakabar@clark.netDate: Thu Feb 27 1997 - 16:00:00 EST
From: John MacDougall <> Received: (from apakabar@localhost) by explorer2.clark.net (8.8.5/8.7.1) id UAA27169 for ; Thu, 27 Feb 1997 20:00:46 -0500 (EST) Subject: KONTAN NO. 22 - Curug Terbang ke Swasta
INDONESIA-L
Date: Thu, 27 Feb 1997 10:00:43 +0700 From: yoyok Reply-To: Organization: Tabloid Kontan To:

CURUG TERBANG KE SWASTA Setelah menghadapi berbagai masalah, PLP Curug akhirnya jatuh ke tangan Nirwan Bakrie

Setiap tahun Indonesia membutuhkan sekitar 200 pilot baru. Pendidikan dan Latihan Penerbangan (PLP) Curug yang diandalkan ternyata menghadapi berbagai persoalan. Ia hanya mampu mencetak 22 pilot baru per tahun. Bagaimana setelah PLP Curug ditangani Nirwan Bakrie dan M. Soeparno?

---------------------------- Bambang Aji, Nugroho Dewanto ----------------------------

Barang-barang made in Indonesia yang banyak diminati negara asing bukan hanya kayu lapis dan tekstil. Pilot Garuda dan Merpati pun ternyata sangat disukai perusahaan penerbangan asing. Buktinya, dalam tiga tahun terakhir tak kurang dari 50 pilot Garuda dan Merpati telah dibajak maskapai asing seperti Eva Air, Korean Airlines, dan Malaysia Airlines.

Berbeda dengan komoditas lainnya, pemerintah justru waswas dengan meningkatnya ekspor pilot ini. Soalnya, Indonesia sendiri hingga tahun 2000 nanti membutuhkan sekitar 3.650 pilot. Sementara yang tersedia cuma 2.000. Singkatnya, Indonesia masih membutuhkan 1.500 tenaga pilot baru. Kebutuhan tersebut untuk mengantisipasi angkutan udara yang punya potensi besar.

Disebutkan bahwa Amerika dengan penduduk 250 juta jiwa, yang terbang tiap tahun mencapai 400 juta. Artinya, setiap tahun, penduduk Amerika rata-rata 1,6 kali naik pesawat. Indonesia, dengan berpenduduk 200 juta jiwa, yang terbang dalam setahun hanya 10 juta. Artinya, masih banyak ruangan untuk tumbuh pesat.

Untuk memanfaatkan potensi tersebut tentu diperlukan pesawat, lapangan terbang, dan penerbangnya. Maka, salah satu alternatif untuk menutupi kebutuhan tersebut adalah dengan mencetak pilot baru lewat sekolah penerbangan.

Tapi, mencetak pilot baru bukanlah pekerjaan ringan. Lihat saja pilot-pilot yang dipasok sekolah penerbangan PLP Curug, Deraya Flying School, dan Avindo Flying School. Ketiga sekolah ini hanya mampu mencetak 35 pilot baru per tahun. Artinya, setiap tahun, Indonesia masih kekurangan 165 pilot.

Rupanya banyak maskapai nasional mengatasi problem tadi dengan mengubah batas usia. Asal sehat dan pengawasannya ketat, pilot yang terbang di atas usia pensiun tak jadi soal lagi. Tak sedikit pula yang memakai pilot asing, terutama setelah kedatangan 25 pesawat jet Boeing 737-200 bekas Lufthansa dan sejumlah Foker-100. Masuknya pesawat baru itu tentu membutuhkan banyak pilot.

Peluang inilah yang dibidik pengusaha Nirwan Bakrie, salah seorang pemilik kelompok usaha Bakrie. Beberapa waktu lalu, adik Aburizal Bakrie ini dikabarkan terjun di bisnis pendidikan kru udara, termasuk pencetakan pilot-pilot baru. Di bisnis itu Nirwan tak sendirian. Ia menggandeng M. Soeparno, bekas Direktur Utama Garuda Indonesia.

Selain Soeparno, sejumlah pilot senior Garuda juga ikut terlibat. Rupanya, Soeparno dan para pilot senior Garuda belum mau disebut besi tua yang ringkih sehingga gampang dibuang. Tenaganya masih diperlukan. Jangan sampai peluang diisi orang asing, kata M. Soeparno.

Sebelum Nirwan Bakrie, tahun 1994 Soeparno sebetulnya sudah mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk mengelola PLP Curug. Itu bisa dilihat dari surat yang dilayangkan almarhum Capt. FH Sumolang, mantan Direktur Utama Merpati.

Soeparno dan FH Sumolang bermitra dalam PT Sayap Garuda Indah, yang juga mitra dari Australian Flying School yang berkedudukan di Bankstown, Sydney. Sebagai pedagang, saya melihat potensinya sangat besar, kata Soeparno.

Sayang, kedua bekas pejabat tinggi itu hanya bisa bertepuk sebelah tangan. Sekolah yang dikelola Nirwan ini akan diberi nama Sekolah Angkutan Udara Niaga (SAUN). Namun, pengusaha yang pernah memasok armada pesawat Merpati ini ternyata tidak mendirikan sekolah penerbangan baru.

Ia hanya mengambil PLP Curug, milik Departemen Perhubungan, mengulang langkah gagal Soeparno dulu. Benarkah? Hah, PLP Curug mau diswastakan? Ah, yang benar. Memangnya dia mau beli berapa ratus miliar rupiah, kata Menteri Perhubungan Haryanto Dhanutirto kepada KONTAN.

PLP Curug memang tidak diswastakan. Hanya, sebuah sumber menyebutkan, Nirwan telah mendapatkan opsi untuk mengelola PPL Curug. PLP Curug akan pindah ke Cirebon Adapun bentuk kerja sama pengelolaan PLP Curug itu adalah KSO (kerja sama operasi).

Pihak swasta, seperti dikatakan sumber KONTAN, akan memegang manajemen dan pendanaan. Untuk proyek ini, Nirwan akan menyuntikkan dana sekitar US$ 11 juta atau sekitar Rp 25 miliar. Dana komersial dari bank ini oleh pihak pengelola akan dibebankan kepada maskapai nasional yang memakai pilot lulusan SAUN.

Sebetulnya cara tersebut bukan barang baru. Selama ini, perusahaan penerbangan yang menggunakan pilot lulusan PLP Curug memang diwajibkan mengembalikan biaya sekolah si pilot sebesar Rp 80 juta-Rp 90 juta kepada pemerintah. Yang belum jelas sampai saat ini adalah jangka waktu opsi dan keuntungan yang menjadi bagian pemerintah. Namun, dengan swastanisasi PLP Curug ini paling tidak pemerintah tak perlu lagi mengeluarkan anggaran yang cukup besar untuk pendidikan para calon pilot.

Sebagai pemegang opsi, Nirwan juga disebut-sebut akan memindahkan tempat pendidikan pilot dari Curug ke lapangan udara Penggung, Cirebon Selatan. Dipilihnya Penggung sebagai tempat pelatihan pilot, menurut Soeparno, karena tempat itu dianggap cocok. Masalah yang dihadapi PLP Curug saat ini memang menyangkut soal sempitnya lapangan terbang. Padahal ini komponen utama untuk mengajar calon pilot, kata M. Soeparno.

Ekspor pilot besar-besaran ke luar negeri Kendati dilengkapi dua landasan pacu, para calon pilot di Curug harus mengalah kepada pesawat-pesawat komersial dari dan ke Bandara Soekarno-Hatta. Maklum letak kedua lapangan terbang ini berdekatan. Itu sebabnya, sejak semula memang pelatihan pilot di Curug sudah direncanakan dipindah ke tempat lain. Selain Penggung, daerah yang dianggap cocok untuk pelatihan pilot adalah Kali Jati di Subang dan Branti di Lampung.

Adapun pusat pelatihan pramugari akan ditempatkan di Yogyakarta. Sementara Curug hanya akan digunakan sebagai pusat administasi SAUN dan pelatihan mekanik serta groud handling. Sebenarnya agak repot untuk memindahkan PLP Curug begitu saja. Pusat pelatihan pilot yang telah berusia hampir setengah abad itu mempunyai nilai historis. Pusat pelatihan yang semula bernama Akademi Penerbangan Indonesia ini merupakan bantuan PBB dan namanya sudah cukup dikenal di kawasan Asia.

Tahun 1970-an, PLP Curug pernah mengalami masa keemasan ketika menjadi center of excelence pendidikan penerbangan Asia Tenggara. Namun, lembaga pendidikan di bawah Badan Pendidikan dan Pelatihan Perhubungan Departemen Perhubungan ini belakangan mulai turun pamornya. Terakhir, sekolah itu terpaksa meliburkan 100 muridnya karena tidak ada pesawat latih. Pesawat latih yang ada, seperti Beechcraft, Sundowner, dan Piper Dakota sudah habis usia terbangnya.

Sebenarnya pemerintah sudah memesan 43 unit pesawat latih baru dari Prancis dan Malaysia. Tapi, armada pesawat yang seharusnya sudah tiba tahun lalu itu hingga kini belum tampak batang hidungnya. Agaknya masalah itu berkaitan dengan terbatasnya anggaran pemerintah. Nah, dengan masuknya pihak swasta, masalah pesawat latih dan lapangan udara bisa diatasi. Selain untuk mencukupi kebutuhan pilot di dalam negeri, kami juga akan mengekspornya ke Birma dan Vietnam, kata Soeparno.

Bukan tak mungkin, lama-kelamaan pilot-pilot Indonesia akan masuk daftar sebagai komoditas ekspor andalan.