Untouchable Mega Corruption?

Kasus Mega Korupsi Yang Sudah Sangat Transparan, dan Sangat Membebani Garuda. Kasus ini harus diusut karena sebesar US$ 470 juta dari US$ 748 juta utang Garuda berasal dari pembelian A330-300 tersebut. Artinya, Garuda hingga kini membayar utang hasil Mega Korupsi Mark Up, bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya.................

>>>Namun hingga saat ini belum tersentuh Aparat Penegak Hukum & Pemberantas Korupsi Republik Indonesia<<<

ADA APA DENGAN APARAT KITA?

MOHON DUKUNGAN MASYARAKAT & SEGENAP KARYAWAN GARUDA UNTUK MELAKUKAN KONTROL SOSIAL TERHADAP KASUS MEGA KORUPSI INI.

INFO PEDULI KITA

Jika kita memiliki info dan data-data sekitar kasus ini silakan mengirimkannya ke mega_dosa_garuda@yahoo.com kerahasiaan dan keamanan kita dijamin. "Kalau bukan kita siapa lagi?"

Thursday, July 27, 2006

Warisan Habibie Beban Garuda

Laporan Utama, Gatra Nomor 37 Beredar Kamis, 27 Juli 2006
http://www.gatra.com/2006-07-27/artikel.php?id=96559

Tim Habibie disebut merekomendasikan konsorsium bank yang menalangi pembelian Airbus A330-300 Garuda. Pengadaan A330-300 itu memang disinyalir berbau mark-up. Nilai pembeliannya digelembungkan.

Untuk mengurai kasus ini, Direktur Utama (Dirut) Garuda Emir Satar membentuk "Tim Pencari Fakta" yang beranggotakan enam orang, dari bagian keuangan dan satuan pengawas internal. Mereka diharapkan merampungkan misinya, 23 Agustus nanti. Tugasnya, antara lain, memeriksa dokumen terkait proses pengadaan A330 -300 tadi. Mereka juga meminta klarifikasi dari para direksi dan pejabat di bawahnya ketika pembelian terjadi.

Salah satu yang ditemuinya adalah Moehamad Soeparno, 68 tahun, Direktur Utama (Dirut) Garuda 1988-1992. "Mohon maaf jika suatu saat Bapak terbawa-bawa," kata Emir kepada Soeparno.

Sumber Gatra, sebut saja Joko Flight, mantan petinggi Garuda, menyatakan bahwa ide pembelian Airbus A330-300 juga bukan murni dari Garuda. Pilihan atas Airbus itu, kata Joko, terkait dengan antusiasnya B.J. Habibie sebagai pimpinan di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), kini bersulih nama menjadi PT Dirgantara Indonesia, untuk mengembangkan kapasitas pabrik pesawatnya.

Jalinan kerja sama dengan Airbus terus ditingkatkan. Apalagi, Habibie kenal dekat dengan pabrik pesawat milik konsorsium negara Eropa (Jerman, Prancis, Inggris, dan Spanyol) itu. Ia pernah menjadi direktur di sana. "Tapi sebenarnya niat Pak Habibie baik, untuk kepentingan IPTN yang juga kepentingan bangsa," kata Joko. Dari sekian pilihan, Habibie menyarankan Airbus.

Di satu sisi, tidak ada salahnya membeli pesawat itu karena kualitasnya bagus. Di sisi lain, ke depan, kerja sama IPTN dengan Airbus bisa tambah mulus. "Namun niat baik Pak Habibie itu diboncengi kepentingan lain yang ingin meraup keuntungan," ujar Joko. Walhasil, harganya di-mark-up. Garuda pun kelimpungan harus mencicil utangnya, bahkan sampai sekarang.

Jika mengacu pada rekomendasi Tim PKLN, model yang dipilih mestinya operating lease alias menyewa. Tapi yang diambil Garuda, GIE Sulawesi, dan Airbus ialah finance lease atau sewa beli. Artinya, ada utang untuk pembeliannya. Di sinilah, berdasarkan temuan ICW, siasat itu dilakukan.

Dalam perjanjian itu, finance leasing direkayasa seolah-olah berupa operating lease, yakni pada pemberian judul-judul kontrak dan surat-menyurat. Sedangkan di pasal-pasal kontrak secara substansial adalah finance lease. Skema rekayasa ini tetap dibiayai dengan kredit ekspor dan konsorsium bank. Ini menunjukkan bahwa permintaan Tim PKLN agar pengadaan pesawat tidak dengan cara berutang tetap saja diabaikan.

Aries menyatakan, kasus Airbus A330-300 harus dibuka agar pemerintah terbuka matanya. Beban utang yang sekarang ada kaitannya dengan persoalan di masa lalu. "Jangan sampai yang menghajar Garuda sekarang justru orang yang membuat Garuda repot," katanya.

Pembukaan kasus ini juga akan memperjelas bahwa mahalnya harga pesawat itu dinikmati pihak-pihak tertentu atau dinikmati BUMN lain dengan cara memakai duit Garuda. "Kalau benar untuk membantu BUMN lain, mbok ya sekarang Garuda gantian dibantu," ujarnya. Membantu IPTN? "Saya tak bisa menyebut karena masih dalam penelitian."

Kasus ini sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Irwan Andri Atmanto, Rohmat Haryadi, dan Hatim Ilwan
[Laporan Utama, Gatra Nomor 37 Beredar Kamis, 27 Juli 2006]

No comments: