Sunday, April 27, 2008
Soeparno, Eddy Soeparno dan Tommy Tampatty
Eddy Soeparno VP di Merrill Lynch Indonesia, nampak sibuk kesana kemari melobby beberapa pejabat. Eddy rupanya merasa perlu mengklarifikasi posisi ayahnya, Soeparno, saat menjabat Dirut Garuda dan terkait dengan skema pembelian Airbus A330.
Dia menjelaskan panjang lebar tentang posisi ayahnya yang bersih dari tuduhan korupsi Mark Up Airbus A330 di Garuda Indonesia lewat skema ECA pada tahun 1995.
Eddy, pada tahun 1995 bekerja di Bank Credit Lyonaise, saat itu ayahnya Soeparno menjabat Dirut Garuda. Sebagaimana diketahui banyak pihak -- Bank Credit Lyonaise adalah salah anggota konsorsiun pendanaan pesawat Airbus A330 itu lewat skema ECA -- bersama dengan Deutsche Bank dan Bank Paribas di tahun 1995.
Jadi, secara implisit, dan ini perlu diselidiki lebih dalam oleh aparat hukum penegak KKN, mengindikasikan keterlibatan Eddy Suparno sendiri dalam menggolkan
proyek ECA ini.
Sementara Tommy Tampatty yang saat ini menjabat sebagai Kepala Bidang Humas Serikat Karyawan Garuda (Sekarga), juga sibuk melobby pihak internal Garuda Indonesia, untuk mencoba mengaburkan titik fokus penyidikan para aparat hukum terhadap kasus korupsi Mark Up Airbus A330 di Garuda Indonesia. Hal ini tidak mengherankan karena Tommy Tampatty adalah anak angkat Soeparno.
Ketiga orang ini sering terlihat berkumpul bersama dan saling mengirim sms. Beberapa kali Tomy Tampatty mengusulkan agar melakukan demonstrasi dengan membayar massa dari luar, tetapi tidak disetujui Soeparno. Soeparno khawatir masyarakat akan dengan mudah mengatahui perbedaan penampilan karyawan Garuda Indonesia dan massa yang mereka bayar untuk demonstrasi. Hal ini dilakukan Tommy setelah berbagai upaya untuk menghasut rekan-rekan karyawan Garuda untuk berdemo gagal dilakukan Tommy Tampatty.
Apakah pihak aparat pemberantas korupsi di Republik ini tidak dapat menemukan bukti-bukti pada tiga orang yang sangat lihai ini? Kita lihat saja nanti.
Apakah karyawan Garuda Indonesia tidak bisa melihat konspirasi ini? Kita juga lihat saja nanti.
Sekarga Minta Usut Kasus “Mark Up” Pesawat A-330-300
Sebagai upaya kamuflase Tommy Tampatty seolah-olah mendukung diusutnya kasus penggelembungan harga (mark up) dari transaksi pembelian pesawat Airbus A-330-300 pada periode 1988-1992 silam. “Kami sangat mendukung pengusutan kasus mark up itu karena sangat membebani perusahaan,” kata Ketua Sekarga Tommy Tampaty di Jakarta, Kamis (12/4).
Namun Tommy berusaha keras untuk mengalihkan isu korupsi “Mark Up” Pesawat A-330-300 Garuda oleh Soeparno, dengan mencoba menebarkan berbagai isu-isu lain.
Menurut Tommy, hanya melalui pembenahan berbagai kasus korupsi itu kinerja Garuda Indonesia bisa membaik. “Oleh karena itu, semua kasus yang merugikan perusahaan penerbangan negara itu harus diusut hingga tuntas,” katanya.
Di bagian lain, anggota Masyarakat Profesional Madani (MPM) sebelumnya juga menyoroti kasus pengadaan pesawat Airbus A-330-300 semasa direktur utama Garuda Indonesia dijabat M Soeparno tersebut.
Menurut MOM yang juga pengamat penerbangan, pada tahun 1989 pesawat Airbus 330-300 dibeli Garuda sekitar US$ 214 juta per pesawat dengan nilai kontrak US$ 1,2 miliar untuk enam pesawat. Padahal, pada tahun 2003, jika dilihat di website Airbus, harga A-330-300 adalah US$ 140 juta.
Dari data tersebut ada penggelembungan harga cukup besar. Persetujuan kontrak ini dibuat sepihak dan tidak transparan. “Ini harus diusut karena sebesar US$ 470 juta dari US$ 748 juta utang Garuda berasal dari pembelian A330-300 tersebut. Artinya, Garuda hingga kini membayar utang hasil mark up, bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya,” tambah MPM. (kbn)
Saturday, April 28, 2007
'Usut mark-up pembelian Airbus oleh Garuda'
Bisnis Indonesia Sabtu, 28/04/2007
http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/umum/1id3434.html
JAKARTA: Aparat penyidik diminta segera menindaklanjuti kasus dugaan korupsi dalam pembelian enam unit pesawat Airbus A330-300 oleh manajemen PT Garuda Indonesia periode 1988-1992.
"Timtastipikor Kejagung seharusnya bekerja lebih cepat mengusut kasus korupsi yang terjadi di BUMN, termasuk Garuda," ujar anggota Komisi III DPR Taufiqurrahman Saleh kepada Bisnis, baru-baru ini.
Dia mengingatkan Timtastipikor dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan dugaan kasus korupsi dalam tubuh manajemen BUMN, karena itu pengusutannya harus serius.
Sebelumnya, pihak Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) menilai bahwa semua data penting yang berkaitan dengan indikasi korupsi seperti pembelian pesawat Airbus ada di pihak internal Garuda. "Kalau serius, pihak penegak hukum pasti bisa mendapatkan data tersebut," ujar Humas Sekarga Tomy Tampatty.
Mencuatnya kasus tersebut berawal dari pembelian enam unit pesawat Airbus A330-300 selama periode 1988-1992 dengan harga saat itu US$214 juta per unit, sehingga total pembelian US$1,2 miliar. Sementara, harga pesawat jenis itu pada 2003 hanya US$140 juta, sehingga muncul dugaan mark- up US$74 juta per pesawat.
Tomy mengatakan jika Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dapat mengusut kasus Airbus karena asas retroaktif, Kejagung seharusnya proaktif. "Data-data dugaan korupsi di Garuda semua ada di Kejagung. Karena kasus itu bukan hanya Airbus saja, tapi masih banyak kasus lain yang harus diusut tuntas."
Oleh Afriyanto
Bisnis Indonesia
http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/umum/1id3434.html
JAKARTA: Aparat penyidik diminta segera menindaklanjuti kasus dugaan korupsi dalam pembelian enam unit pesawat Airbus A330-300 oleh manajemen PT Garuda Indonesia periode 1988-1992.
"Timtastipikor Kejagung seharusnya bekerja lebih cepat mengusut kasus korupsi yang terjadi di BUMN, termasuk Garuda," ujar anggota Komisi III DPR Taufiqurrahman Saleh kepada Bisnis, baru-baru ini.
Dia mengingatkan Timtastipikor dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan dugaan kasus korupsi dalam tubuh manajemen BUMN, karena itu pengusutannya harus serius.
Sebelumnya, pihak Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) menilai bahwa semua data penting yang berkaitan dengan indikasi korupsi seperti pembelian pesawat Airbus ada di pihak internal Garuda. "Kalau serius, pihak penegak hukum pasti bisa mendapatkan data tersebut," ujar Humas Sekarga Tomy Tampatty.
Mencuatnya kasus tersebut berawal dari pembelian enam unit pesawat Airbus A330-300 selama periode 1988-1992 dengan harga saat itu US$214 juta per unit, sehingga total pembelian US$1,2 miliar. Sementara, harga pesawat jenis itu pada 2003 hanya US$140 juta, sehingga muncul dugaan mark- up US$74 juta per pesawat.
Tomy mengatakan jika Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dapat mengusut kasus Airbus karena asas retroaktif, Kejagung seharusnya proaktif. "Data-data dugaan korupsi di Garuda semua ada di Kejagung. Karena kasus itu bukan hanya Airbus saja, tapi masih banyak kasus lain yang harus diusut tuntas."
Oleh Afriyanto
Bisnis Indonesia
Tuesday, April 24, 2007
Berkas Korupsi Garuda Akan Diserahkan ke Kejagung
© 2006 - Transparency International Indonesia.
Jumat, 13 April 2007 14:50:41
Berkas Korupsi Garuda Akan Diserahkan ke Kejagung
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga kini belum menerima berkas laporan dugaan korupsi pengadaan pesawat Airbus A330-300 senilai USD1,2 miliar.
JAKARTA (SNDO) –’’Kami belum menerimanya.Selain itu,perlu dipahami bahwa jika laporan itu masuk kepada kami akan dilimpahkan ke kejaksaan atau kepolisian,’’ jelas Juru Bicara KPK Johan Budi kepada SINDO, pukul 11.30 WIB,tadi siang.
Sebab,ungkap dia, KPK hanya bisa memproses laporan tindakan korupsi pada 1999 ke atas sesuai undang-undang. Ketua Bidang Humas Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) Tomy Tampaty meminta penegak hukum, baik dari Kejaksaan Agung maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serius mengusut penggelembungan harga (markup) transaksipembelian pesawat Airbus A330-300.
Tidak hanya kasus Airbus, menurut dia, berbagai kasus lain juga terjadi di Garuda. ’’Semua kasus harus diselesaikan secara tuntas dan siapa yang terbukti harus dikenai sanksi seberat-beratnya. Sementara, hasil korupsi harus dikembalikan ke Garuda,” ungkap Tong,yang dihubungi SINDO, pukul10.30, tadisiang.
Kerugian Garuda Indonesia diduga akibat mark updari transaksi pembelian pesawat Airbus A330-300 pada periode 1988–1992. Berdasarkan data yang diperoleh, pada 1989 pesawat Airbus 330- 300 dibeli Garuda sekitar USD 214 juta per pesawat dengan nilai kontrak USD1,2 miliar untuk enam pesawat.
Padahal, pada 2003, harga Airbus A330-300 adalah USD 140 juta. Penandatanganan transaksi tersebut dilakukan pada masa kepemimpinan mantan Direktur Utama (Dirut) Garuda M Soeparno. Sekarga juga meminta kepada Menneg BUMN Sugiharto untuk melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa dan meminta pertanggungjawaban Dirut,Direksi,dan Komisaris Utama saat ini dan segera menggantinya.
Sementara itu,Vice President Corporate Communication PT Garuda Indonesia Pjobroto mengakui, saat ini Garuda masih menghadapi beberapa permasalahan. Salah satu di antaranya adalah warisan utang yang cukup besar, yang hingga saat ini justru sedang terus diupayakan proses restrukturisasinya.
’’Melalui berbagai program penataan dan perbaikan yang dilaksanakan, Garuda telah berhasil menurunkan angka kerugian secara signifikan dari sekitar Rp811,3 miliar pada 2004, menjadi sekitar Rp688,4 miliar pada 2005, dan menjadi hanya sekitar Rp191,2 miliar pada 2006,’’ jelasnya.
Bahkan, lanjut dia, pada Januari–Februari 2007 ini, Garuda mampu membukukan keuntungan sebesar Rp131 miliar.Pujobroto mengatakan, kerja sama yang dijalin Garuda dengan Lufthansa System,misalnya,merupakan langkah terobosan yang strategis. Sebab, melalui kerja sama tersebut, kemampuan teknologi informasi (TI) Garuda akan dapat ditingkatkan setaraf dengan sistem TI penerbangan internasional lainnya.
Selama ini, TI Garuda sangat tertinggal dibandingkan perusahaan penerbangan internasional lainnya, padahal dalam bisnis penerbangan, keunggulan TI merupakan kunci untuk memenangkan persaingan ke depan. ’’Dalam kaitan dengan penjualan aset,perlu dipahami bahwa aset yang dijual merupakan aset-aset yang bersifat nonproduktif.” (helmi firdaus/arif budianto)
http://www.ti.or.id/news/8/tahun/2007/bulan/04/tanggal/13/id/820/?PHPSESSID=815a558c359d49c87f3cc16d9d4518e7
Friday, April 20, 2007
Garuda Diduga Gelembungkan Harga 6 Pesawat A 330
04/04/2007 15:22 WIB
Garuda Diduga Gelembungkan Harga 6 Pesawat A 330
Wahyu Daniel - detikcom
Jakarta - Diduga terjadi penggelembungan harga (mark up) pada pembelian 6 buah pesawat A330 seri 300 oleh PT Garuda Indonesia pada tahun 1998. Dugaan korupsi ini seharusnya diusut.
Dugaaan mark up ini disampaikan anggota Masyarakat Profesional Madani (MPM) yang juga pengamat penerbangan, Poltak Hotradero dalam seminar bertajuk "Korupsi di Tubuh Garuda Indonesia" di Front Row Cafe, Senayan, Jakarta, Rabu (4/4/2007).
"Berdasarkan data yang saya dapat, pada 1998 pesawat Airbus 330-300 dibeli oleh Garuda sekitar US$ 214 juta per pesawat dengan nilai kontrak US$ 1,2 miliar untuk 6 pesawat. Padahal di 2003, harga A330-300 adalah US$ 140 juta dari yang saya lihat di website Airbus," ujarnya.
Jadi menurut Poltak, ada penggelembungan harga yang cukup besar. "Persetujuan kontrak ini dibuat sepihak dan tidak transparan. Ini harus diusut karena dampaknya sekarang adalah sebagian besar utang Garuda yaitu sebesar US$ 748 juta, US$ 470 juta-nya merupakan utang pembelian A330-300," ujarnya.
Poltak melanjutkan bahwa dalam hal ini berarti Garuda hingga saat ini membayar utang-utang hasil mark up yang terjadi. "Bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya," ujarnya.
Dengan utang-utangnya sekarang, Poltak mengatakan Garuda sebagai sebuah maskapai besar di Indonesia akan sulit untuk bersaing dalam rute internasional.
"Garuda Indonesia hanya mempunyai 9 pesawat untuk rute internasional, yaitu 6 pesawat A330 dan 3 pesawat Boeing 747, sulit untuk bersaing dengan maskapai asing yang juga beroperasi di Indonesia, padahal potensi Garuda sangat besar," ungkap dia.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari INDEF Avilliani mengatakan bahwa pemerintah harus turun tangan secara penuh dalam penyelesaian restrukturisasi utang-utang Garuda. "Pencarian strategic partner untuk Garuda tidak akan selesai jika pemerintah tidak memberikan jaminan bahwa akan menanggung utang-utang Garuda jika terjadi gagal bayar (default)," jelas dia.
Selain itu, menurut Aviliani, pemerintah bisa mengeluarkan obligasi yang bertujuan untuk menyelesaikan utang-utang ini.
Dia juga mengatakan bahwa pemerintah harus membantu negosiasi masalah utang Garuda dengan para debiturnya. "Garuda ini merupakan sebuah BUMN yang potensinya bagus, karena di Indonesia sendiri mereka menjadi pilihan utama. Jika mereka terus tersendat utang, bagaimana mereka bisa berkembang," imbuhnya.
Selain itu, Aviliani juga mengatakan pemerintah belum mempunyai visi yang sama untuk penyelesaian utang-utang Garuda. "Kita lihat bahwa antara Menteri BUMN dengan Menteri Keuangan belum ada visi yang sama, jika Menteri BUMN didesak untuk menyelesaikan utang Garuda, Menteri Keuangannya tidak secara penuh melihat hal ini," ungkapnya.
Karena itu, pemerintah juga harus berpandangan bahwa Garuda merupakan sebuah BUMN yang berpotensi dan harus dibenahi masalah utang-utangnya. "DPR juga harus mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan utang-utang Garuda, agar Garuda berkembang dan maju," jelasnya.
Memang, Poltak Hotradero juga mengatakan bahwa akan sulit untuk Garuda go public karena masalah utang ini. "Garuda harus menyelesaikan utang-utangnya agar bisa go public. Sebab dengan go public, mereka akan lebih transparan dan juga pemegang saham yang nantinya memiliki saham Garuda akan berusaha untuk memajukan Garuda dan bersaing secara internasional, tidak hanya diam di tempat seperti sekarang," ungkapnya.(dnl/asy)
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/04/tgl/04/time/152229/idnews/763043/idkanal/10
Garuda Diduga Gelembungkan Harga 6 Pesawat A 330
Wahyu Daniel - detikcom
Jakarta - Diduga terjadi penggelembungan harga (mark up) pada pembelian 6 buah pesawat A330 seri 300 oleh PT Garuda Indonesia pada tahun 1998. Dugaan korupsi ini seharusnya diusut.
Dugaaan mark up ini disampaikan anggota Masyarakat Profesional Madani (MPM) yang juga pengamat penerbangan, Poltak Hotradero dalam seminar bertajuk "Korupsi di Tubuh Garuda Indonesia" di Front Row Cafe, Senayan, Jakarta, Rabu (4/4/2007).
"Berdasarkan data yang saya dapat, pada 1998 pesawat Airbus 330-300 dibeli oleh Garuda sekitar US$ 214 juta per pesawat dengan nilai kontrak US$ 1,2 miliar untuk 6 pesawat. Padahal di 2003, harga A330-300 adalah US$ 140 juta dari yang saya lihat di website Airbus," ujarnya.
Jadi menurut Poltak, ada penggelembungan harga yang cukup besar. "Persetujuan kontrak ini dibuat sepihak dan tidak transparan. Ini harus diusut karena dampaknya sekarang adalah sebagian besar utang Garuda yaitu sebesar US$ 748 juta, US$ 470 juta-nya merupakan utang pembelian A330-300," ujarnya.
Poltak melanjutkan bahwa dalam hal ini berarti Garuda hingga saat ini membayar utang-utang hasil mark up yang terjadi. "Bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya," ujarnya.
Dengan utang-utangnya sekarang, Poltak mengatakan Garuda sebagai sebuah maskapai besar di Indonesia akan sulit untuk bersaing dalam rute internasional.
"Garuda Indonesia hanya mempunyai 9 pesawat untuk rute internasional, yaitu 6 pesawat A330 dan 3 pesawat Boeing 747, sulit untuk bersaing dengan maskapai asing yang juga beroperasi di Indonesia, padahal potensi Garuda sangat besar," ungkap dia.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari INDEF Avilliani mengatakan bahwa pemerintah harus turun tangan secara penuh dalam penyelesaian restrukturisasi utang-utang Garuda. "Pencarian strategic partner untuk Garuda tidak akan selesai jika pemerintah tidak memberikan jaminan bahwa akan menanggung utang-utang Garuda jika terjadi gagal bayar (default)," jelas dia.
Selain itu, menurut Aviliani, pemerintah bisa mengeluarkan obligasi yang bertujuan untuk menyelesaikan utang-utang ini.
Dia juga mengatakan bahwa pemerintah harus membantu negosiasi masalah utang Garuda dengan para debiturnya. "Garuda ini merupakan sebuah BUMN yang potensinya bagus, karena di Indonesia sendiri mereka menjadi pilihan utama. Jika mereka terus tersendat utang, bagaimana mereka bisa berkembang," imbuhnya.
Selain itu, Aviliani juga mengatakan pemerintah belum mempunyai visi yang sama untuk penyelesaian utang-utang Garuda. "Kita lihat bahwa antara Menteri BUMN dengan Menteri Keuangan belum ada visi yang sama, jika Menteri BUMN didesak untuk menyelesaikan utang Garuda, Menteri Keuangannya tidak secara penuh melihat hal ini," ungkapnya.
Karena itu, pemerintah juga harus berpandangan bahwa Garuda merupakan sebuah BUMN yang berpotensi dan harus dibenahi masalah utang-utangnya. "DPR juga harus mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan utang-utang Garuda, agar Garuda berkembang dan maju," jelasnya.
Memang, Poltak Hotradero juga mengatakan bahwa akan sulit untuk Garuda go public karena masalah utang ini. "Garuda harus menyelesaikan utang-utangnya agar bisa go public. Sebab dengan go public, mereka akan lebih transparan dan juga pemegang saham yang nantinya memiliki saham Garuda akan berusaha untuk memajukan Garuda dan bersaing secara internasional, tidak hanya diam di tempat seperti sekarang," ungkapnya.(dnl/asy)
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/04/tgl/04/time/152229/idnews/763043/idkanal/10
Thursday, April 19, 2007
DUGAAN MARK UP PEMBELIAN AIRBUS A330-300- Soeparno: Jangan Cari Kambing Hitam
Sindo Edisi Sore Berita Utama Sore
DUGAAN MARK UP PEMBELIAN AIRBUS A330-300- Soeparno: Jangan Cari Kambing Hitam
Kamis, 19/04/2007
Mantan Direktur Utama (Dirut) Garuda M Soeparno menyayangkan dirinya ikut terseret dalam dugaan mark up pembelian enam pesawat Airbus A330-300.
JAKARTA (SINDO) –’’Saat saya mulai menjabat di Garuda 1989, utang Garuda USD1,2 miliar dan saya tak pernah teriak-teriak. Saat pensiun 1992, utang (Garuda) tinggal USD100 juta. Perlu diingat bahwa saat itu Garuda merupakan maskapai terbesar di Asia Selatan,”ujarnya.
Pembelian enam pesawat Airbus tersebut, tutur Soeparno bukan urusannya. Sebab, transaksi pembelian Airbus (ketika dia menjabat) sudah dibatalkan pada 1992 atas permintaan Radius Prawiro (Menko Perekonomian saat itu). ’’Setelah itu bukan urusan saya. Saya hanya menjalankan rekomendasi dari Tim Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN), yakni saat itu Pak Radius jadi Koordinator PKLN,”paparnya.
Pria yang kini menjadi Komisaris Utama PT Sarana Putra Nusantara ini menjelaskan bahwa kondisi ketika itu,setiap penyuplai produkproduk luar negeri –baik mobil maupun pesawat–sebagian besar dikuasai keluarga mantan Presiden Soeharto. Meski demikian, dia mengaku sempat mengusulkan agar pembelian bisa langsung ke pabriknya. ’’Karena tidak mau di-mark up, saya tidak mau selingkuh,”tukasnya.
Ada pun dugaan mark up yang terus didengungkan saat ini,Soeparno menegaskan bahwa tuduhan itu tidak benar.
’’Kalau tidak percaya, silakan saja cek harga pembelian pesawat oleh maskapai- maskapai lain.Jadi,tidak benar saya melakukan mark up.Lagi pula,hasil audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan bahwa tidak ada penggelembungan pembelian pesawat,” jelasnya.
Soeparno menambahkan, pembelian pesawat bukan sepenuhnya inisiatif pribadinya. Dia tidak akan memutuskan sesuatu tanpa adanya izin dari penguasa. Ketika itu, Presiden Soeharto menyarankan untuk mengonsultasikan hal tersebut dengan BJ Habibie sebagai Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). ’’Kami tidak mungkin bergerak sendiri,”ujarnya.
Soeparno sepakat atas komitmen pemerintah dalam menegakkan supremasi hukum, asal dalam prosesnya tidak mengarah ke fitnah. Sebab, itu bisa merusak imej seseorang. Kalau memang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan melakukan penyelidikan, menurut dia, seharusnya lebih fokus kepada kebocoran nasional.
’’KPK kalau mau memeriksa bisa mengacu hasil investigasi yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW),” paparnya. Menurut manajemen Garuda saat ini,kontribusi pembelian enam unit Airbus A330-300 itu mencapai 62% dari total utang Garuda Indonesia saat ini.Dari utang yang tercatat sekarang sebesar USD 754 juta, sebanyak USD 470 juta merupakan utang pembelian enam unit Airbus 330 tersebut. (arif budianto)
Saturday, April 14, 2007
Polri Siap Usut Korupsi Garuda
Koran Seputar Indonesia
Sabtu, 14/04/2007
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/politik-hukum/polri-siap-usut-korupsi-garuda-3.html
JAKARTA (SINDO) – Mabes Polri mengaku siap menangani kasus dugaan korupsi PT Garuda Indonesia dalam pengadaan pesawat Airbus A330-300.
Kesiapan itu sebagai bagian dari kewajiban penyidik untuk menangani setiap laporan dugaan korupsi yang terjadi di Indonesia. ”Sebagai penyidik, kita siap untuk menindaklanjuti laporan korupsi yang terjadi dalam pengadaan pesawat oleh PT Garuda,” terang Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Sisno Adiwinoto kepada SINDO,kemarin. Sisno menjelaskan, pemberantasan korupsi merupakan salah satu program prioritas dari Mabes Polri.
Menurut dia, korupsi merupakan persoalan pelanggaran hukum akut yang melanda Indonesia sehingga dibutuhkan kesiapan optimal dari aparat kepolisian untuk menghadapinya. Namun, Sisno menyatakan, pihaknya masih belum mengetahui persis apakah laporan dugaan korupsi pengadaan pesawat itu telah sampai di meja penyidik. Tapi, lanjut dia, bisa saja kasus dugaan korupsi pembelian pesawat itu telah dalam tahap koordinasi antara Kabareskrim Polri dan KPK.”Hingga saat ini kita masih belum tahu sampai di mana proses hukum kasus tersebut, bisa saja Kabareskrim sedang mengoordinasikan penyelesaiannya dengan pihak KPK,” terangnya.
Sementara itu,Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Salman Maryadi belum bersedia berkomentar atas kasus tersebut. Menurut dia, pihaknya akan menelusuri kembali file kasus tersebut. ”Sudahlah, hari Senin saja, saya akan jawab persoalan itu,” ujarnya singkat. Diketahui, terjadi kerugian di PT Garuda Indonesia akibat dugaan mark up transaksi pembelian pesawat Airbus A330- 300, periode 1988–1992. Berdasarkan data yang diperoleh, pada 1989, pesawat Airbus 330- 300 dibeli Garuda sekitar USD214 juta per pesawat dengan nilai kontrak USD1,2 miliar, untuk enam pesawat.
Padahal, pada 2003, harga Airbus A330-300 hanya USD140 juta. Penandatanganan transaksi tersebut dilakukan di masa kepemimpinan mantan Direktur Utama (Dirut) Garuda M Soeparno. Sementara itu,Ketua Bidang Humas Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) Tomy Tampatty mengatakan, data untuk Airbus ada di pihak Garuda. ”Jika serius,pihak penegak hukum pasti bisa mendapatkan data tentang korupsi Airbus,” katanya. Maka,lanjut dia,tanpa pelaporan pun, harusnya baik KPK maupun Kejaksaan Agung atau Polri hendaknya bisa mengorek data korupsi di Garuda.
Dia mengatakan, jika KPK tidak dapat mengusut kasus Airbus tersebut karena asas retroaktif, maka Kejagung harus proaktif. ”Bahkan, data-data korupsi di Garuda tersebut ada di Kejagung. Perlu diketahui, kasus di Garuda bukan hanya Airbus, tapi masih banyak dan itu harus diusut,” ujarnya. Menanggapi kasus tersebut, anggota Komisi III DPR Taufiqurrahman Saleh mengatakan, dengan adanya desakan dari serikat karyawan Garuda tersebut, hendaknya pihak kejaksaan serius menindaklanjuti kasus itu. Dalam hal ini, katanya, Timtastipikor Kejaksaan Agung dibentuk untuk menyelesaikan kasus korupsi yang terjadi di lingkungan BUMN. ”Maka, pengusutan itu perlu dilakukan untuk keseriusan pemberantasan korupsi,” katanya.
Dia menambahkan, kinerja Timtastipikor tersebut nantinya akan memberikan gambaran pada masyarakat akan pemberantasan korupsi.”Jika pemberantasan korupsi tersebut dilakukan tanpa tebang pilih, rakyat akan sepakat bahwa ada kinerja yang signifikan. Tapi jika keseriusan tidak dilakukan, tanggapan masyarakat akan negatif,” katanya. Vice President Corporate Communication PT Garuda Indonesia, Pjobroto, mengakui, saat ini Garuda masih menghadapi beberapa permasalahan. Salah satu di antaranya adalah warisan utang yang cukup besar. (suwarno/kholil)
Friday, April 13, 2007
Berkas Korupsi Garuda Akan Diserahkan ke Kejagung
Sindo Edisi Sore Berita Utama Sore
Berkas Korupsi Garuda Akan Diserahkan ke Kejagung
Jum'at, 13/04/2007
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga kini belum menerima berkas laporan dugaan korupsi pengadaan pesawat Airbus A330-300 senilai USD1,2 miliar.
JAKARTA (SNDO) –’’Kami belum menerimanya.Selain itu,perlu dipahami bahwa jika laporan itu masuk kepada kami akan dilimpahkan ke kejaksaan atau kepolisian,’’ jelas Juru Bicara KPK Johan Budi kepada SINDO, pukul 11.30 WIB,tadi siang.
Sebab,ungkap dia, KPK hanya bisa memproses laporan tindakan korupsi pada 1999 ke atas sesuai undang-undang. Ketua Bidang Humas Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) Tomy Tampaty meminta penegak hukum, baik dari Kejaksaan Agung maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serius mengusut penggelembungan harga (markup) transaksipembelian pesawat Airbus A330-300.
Tidak hanya kasus Airbus, menurut dia, berbagai kasus lain juga terjadi di Garuda. ’’Semua kasus harus diselesaikan secara tuntas dan siapa yang terbukti harus dikenai sanksi seberat-beratnya. Sementara, hasil korupsi harus dikembalikan ke Garuda,” ungkap Tong,yang dihubungi SINDO, pukul10.30, tadisiang.
Kerugian Garuda Indonesia diduga akibat mark updari transaksi pembelian pesawat Airbus A330-300 pada periode 1988–1992. Berdasarkan data yang diperoleh, pada 1989 pesawat Airbus 330- 300 dibeli Garuda sekitar USD 214 juta per pesawat dengan nilai kontrak USD1,2 miliar untuk enam pesawat.
Padahal, pada 2003, harga Airbus A330-300 adalah USD 140 juta. Penandatanganan transaksi tersebut dilakukan pada masa kepemimpinan mantan Direktur Utama (Dirut) Garuda M Soeparno. Sekarga juga meminta kepada Menneg BUMN Sugiharto untuk melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa dan meminta pertanggungjawaban Dirut,Direksi,dan Komisaris Utama saat ini dan segera menggantinya.
Sementara itu,Vice President Corporate Communication PT Garuda Indonesia Pjobroto mengakui, saat ini Garuda masih menghadapi beberapa permasalahan. Salah satu di antaranya adalah warisan utang yang cukup besar, yang hingga saat ini justru sedang terus diupayakan proses restrukturisasinya.
’’Melalui berbagai program penataan dan perbaikan yang dilaksanakan, Garuda telah berhasil menurunkan angka kerugian secara signifikan dari sekitar Rp811,3 miliar pada 2004, menjadi sekitar Rp688,4 miliar pada 2005, dan menjadi hanya sekitar Rp191,2 miliar pada 2006,’’ jelasnya.
Bahkan, lanjut dia, pada Januari–Februari 2007 ini, Garuda mampu membukukan keuntungan sebesar Rp131 miliar.Pujobroto mengatakan, kerja sama yang dijalin Garuda dengan Lufthansa System,misalnya,merupakan langkah terobosan yang strategis. Sebab, melalui kerja sama tersebut, kemampuan teknologi informasi (TI) Garuda akan dapat ditingkatkan setaraf dengan sistem TI penerbangan internasional lainnya.
Selama ini, TI Garuda sangat tertinggal dibandingkan perusahaan penerbangan internasional lainnya, padahal dalam bisnis penerbangan, keunggulan TI merupakan kunci untuk memenangkan persaingan ke depan. ’’Dalam kaitan dengan penjualan aset,perlu dipahami bahwa aset yang dijual merupakan aset-aset yang bersifat nonproduktif.” (helmi firdaus/arif budianto)
Thursday, April 12, 2007
Sekarga Minta Usut Kasus “Mark Up” Pesawat A-330-300
Sinar Harapan Kamis, 12 April 2007
Jakarta—Serikat Karyawan Garuda Indonesia (Sekarga) mendukung diusutnya kasus penggelembungan harga (mark up) dari transaksi pembelian pesawat Airbus A-330-300 pada periode 1988-1992 silam. “Kami sangat mendukung pengusutan kasus mark up itu karena sangat membebani perusahaan,” kata Ketua Sekarga Tommy Tampaty menjawab pertanyaan SH di Jakarta, Kamis (12/4).
Menurut Tommy, hanya melalui pembenahan berbagai kasus korupsi itu kinerja Garuda Indonesia bisa membaik. “Oleh karena itu, semua kasus yang merugikan perusahaan penerbangan negara itu harus diusut hingga tuntas,” katanya.
Di bagian lain, anggota Masyarakat Profesional Madani (MPM) Poltak Hotradero sebelumnya juga menyoroti kasus pengadaan pesawat Airbus A-330-300 semasa direktur utama Garuda Indonesia dijabat M Soeparno tersebut.
Menurut Poltak yang juga pengamat penerbangan, pada tahun 1989 pesawat Airbus 330-300 dibeli Garuda sekitar US$ 214 juta per pesawat dengan nilai kontrak US$ 1,2 miliar untuk enam pesawat. Padahal, pada tahun 2003, jika dilihat di website Airbus, harga A-330-300 adalah US$ 140 juta.
Dari data tersebut ada penggelembungan harga cukup besar. Persetujuan kontrak ini dibuat sepihak dan tidak transparan. “Ini harus diusut karena sebesar US$ 470 juta dari US$ 748 juta utang Garuda berasal dari pembelian A330-300 tersebut. Artinya, Garuda hingga kini membayar utang hasil mark up, bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya,” tambah Poltak. (kbn)
Jakarta—Serikat Karyawan Garuda Indonesia (Sekarga) mendukung diusutnya kasus penggelembungan harga (mark up) dari transaksi pembelian pesawat Airbus A-330-300 pada periode 1988-1992 silam. “Kami sangat mendukung pengusutan kasus mark up itu karena sangat membebani perusahaan,” kata Ketua Sekarga Tommy Tampaty menjawab pertanyaan SH di Jakarta, Kamis (12/4).
Menurut Tommy, hanya melalui pembenahan berbagai kasus korupsi itu kinerja Garuda Indonesia bisa membaik. “Oleh karena itu, semua kasus yang merugikan perusahaan penerbangan negara itu harus diusut hingga tuntas,” katanya.
Di bagian lain, anggota Masyarakat Profesional Madani (MPM) Poltak Hotradero sebelumnya juga menyoroti kasus pengadaan pesawat Airbus A-330-300 semasa direktur utama Garuda Indonesia dijabat M Soeparno tersebut.
Menurut Poltak yang juga pengamat penerbangan, pada tahun 1989 pesawat Airbus 330-300 dibeli Garuda sekitar US$ 214 juta per pesawat dengan nilai kontrak US$ 1,2 miliar untuk enam pesawat. Padahal, pada tahun 2003, jika dilihat di website Airbus, harga A-330-300 adalah US$ 140 juta.
Dari data tersebut ada penggelembungan harga cukup besar. Persetujuan kontrak ini dibuat sepihak dan tidak transparan. “Ini harus diusut karena sebesar US$ 470 juta dari US$ 748 juta utang Garuda berasal dari pembelian A330-300 tersebut. Artinya, Garuda hingga kini membayar utang hasil mark up, bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya,” tambah Poltak. (kbn)
Wednesday, April 11, 2007
Soeparno klarifikasi soal Garuda
Bisnis Indonesia Rabu, 11-APR-2007
JAKARTA: Mantan Dirut Garuda Indonesia M. Soeparno mengatakan kasus pembelian sembilan pesawat Airbus A-330-300 bukan menjadi tanggung jawabnya lagi karena MoU yang ditandatanganinya pada 1989 sudah dibatalkan oleh Tim PKLN.
"MoU tersebut sudah dibatalkan oleh Menko Ekuin Radius Prawiro," kata Soeparno kepada Bisnis, kemarin.
Tim Pembatasan Kredit Luar Negeri (PKLN) adalah tim yang diketuai Radius Prawiro ketika rasio utang pemerintah terhadap pendapatan (debt service ratio/DSR) sudah sangat tinggi pada 1991.
Menurut Soeparno, sembilan bulan setelah pembatalan MoU pembelian pesawat tersebut, dia diganti oleh Wage Mulyono dan diteruskan oleh Supandi.
"Kalau kemudian ada pimpinan Garuda yang melanjutkan MoU tersebut dan di-mark-up, maka hal itu sudah bukan tanggung jawab saya lagi." (Bisnis/ass)
Thursday, April 5, 2007
Kerugian Garuda Akibat Penggelembungan Harga Pesawat
Copyright © ANTARA
Posted on 05/04/07 00:23
URL: http://portal.antara.co.id/arc/2007/4/5/kerugian-garuda-akibat-penggelembungan-harga-pesawat
Jakarta (ANTARA News) - Kerugian Garuda Indonesia diduga sebagian besar akibat penggelembungan harga (mark up) dari transaksi pembelian pesawat Airbus A330-300 pada periode 1988-1992 sehingga perlu dilakukan pengusutan.
Dugaan mark up ini disampaikan Poltak Hotradero, anggota Masyarakat Profesional Madani (MPM) yang juga pengamat penerbangan dalam talkshow bertajuk "Warisan Garuda yang tetap Membebani" bersama ekonom INDEF Avilliani dan Hasto Keristianto, anggota Komisi VI-DPR RI di Jakarta, Rabu.
"Berdasarkan data yang diperoleh, pada 1989 pesawat Airbus 330-300 dibeli Garuda sekitar US$ 214 juta per pesawat dengan nilai kontrak US$ 1,2 miliar untuk enam pesawat. Padahal pada 2003, jika di lihat di website Airbus, harga A330-300 adalah US$ 140 juta" ujarnya.
Menurut Poltak, ada penggelembungan harga yang cukup besar. Persetujuan kontrak ini dibuat sepihak dan tidak transparan. Ini harus diusut karena sebesar US$ 470 juta dari US$ 748 juta utang Garuda berasal dari pembelian A330-300 tersebut.
"Artinya, hingga kini Garuda membayar utang-utang hasil mark up, bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya," ujarnya.
Dengan utang-utang itu, Garuda sebagai sebuah maskapai besar di Indonesia akan sulit untuk bersaing dalam rute internasional. Karena, Garuda Indonesia hanya mempunyai sembilan pesawat untuk rute internasional, yaitu 6 pesawat A330 dan 3 pesawat Boeing 747.(*)
Copyright © ANTARA
Posted on 05/04/07 00:23
URL: http://portal.antara.co.id/arc/2007/4/5/kerugian-garuda-akibat-penggelembungan-harga-pesawat
Posted on 05/04/07 00:23
URL: http://portal.antara.co.id/arc/2007/4/5/kerugian-garuda-akibat-penggelembungan-harga-pesawat
Jakarta (ANTARA News) - Kerugian Garuda Indonesia diduga sebagian besar akibat penggelembungan harga (mark up) dari transaksi pembelian pesawat Airbus A330-300 pada periode 1988-1992 sehingga perlu dilakukan pengusutan.
Dugaan mark up ini disampaikan Poltak Hotradero, anggota Masyarakat Profesional Madani (MPM) yang juga pengamat penerbangan dalam talkshow bertajuk "Warisan Garuda yang tetap Membebani" bersama ekonom INDEF Avilliani dan Hasto Keristianto, anggota Komisi VI-DPR RI di Jakarta, Rabu.
"Berdasarkan data yang diperoleh, pada 1989 pesawat Airbus 330-300 dibeli Garuda sekitar US$ 214 juta per pesawat dengan nilai kontrak US$ 1,2 miliar untuk enam pesawat. Padahal pada 2003, jika di lihat di website Airbus, harga A330-300 adalah US$ 140 juta" ujarnya.
Menurut Poltak, ada penggelembungan harga yang cukup besar. Persetujuan kontrak ini dibuat sepihak dan tidak transparan. Ini harus diusut karena sebesar US$ 470 juta dari US$ 748 juta utang Garuda berasal dari pembelian A330-300 tersebut.
"Artinya, hingga kini Garuda membayar utang-utang hasil mark up, bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya," ujarnya.
Dengan utang-utang itu, Garuda sebagai sebuah maskapai besar di Indonesia akan sulit untuk bersaing dalam rute internasional. Karena, Garuda Indonesia hanya mempunyai sembilan pesawat untuk rute internasional, yaitu 6 pesawat A330 dan 3 pesawat Boeing 747.(*)
Copyright © ANTARA
Posted on 05/04/07 00:23
URL: http://portal.antara.co.id/arc/2007/4/5/kerugian-garuda-akibat-penggelembungan-harga-pesawat
Garuda Tekor Gara-Gara Mark Up Pesawat!
http://www.rileks.com/ragam/detnews/5042007120022.html
Kerugian Garuda Indonesia diduga sebagian besar akibat penggelembungan harga (mark up) dari transaksi pembelian pesawat Airbus A330-300 pada periode 1988-1992 sehingga perlu dilakukan pengusutan.
Dugaan mark up ini disampaikan Poltak Hotradero, anggota Masyarakat Profesional Madani (MPM) yang juga pengamat penerbangan dalam talkshow bertajuk "Warisan Garuda yang tetap Membebani" bersama ekonom INDEF Avilliani dan Hasto Keristianto, anggota Komisi VI-DPR RI, Rabu, di Jakarta.
"Berdasarkan data yang diperoleh, pada 1989 pesawat Airbus 330-300 dibeli Garuda sekitar US$ 214 juta per pesawat dengan nilai kontrak US$ 1,2 miliar untuk enam pesawat. Padahal pada 2003, jika di lihat di website Airbus, harga A330-300 adalah US$ 140 juta" ujarnya.
Menurut Poltak, ada penggelembungan harga yang cukup besar. Persetujuan kontrak ini dibuat sepihak dan tidak transparan. Ini harus diusut karena sebesar US$ 470 juta dari US$ 748 juta utang Garuda berasal dari pembelian A330-300 tersebut.
"Artinya, hingga kini Garuda membayar utang-utang hasil mark up, bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya," ujarnya.
Dengan utang-utang itu, Garuda sebagai sebuah maskapai besar di Indonesia akan sulit untuk bersaing dalam rute internasional. Karena, Garuda Indonesia hanya mempunyai sembilan pesawat untuk rute internasional, yaitu 6 pesawat A330 dan 3 pesawat Boeing 747.
Sementara itu, econom dari INDEF Avilliani mengatakan, pemerintah harus turun tangan secara penuh dalam penyelesaian restrukturisasi utang-utang Garuda. "Pencarian strategic partner untuk Garuda tidak akan selesai jika pemerintah tidak memberikan jaminan bahwa akan menanggung utang-utang Garuda jika terjadi gagal bayar (default)" jelasnya.
Selain itu, menurut Aviliani, pemerintah dapat mengeluarkan obligasi yang bertujuan untuk menyelesaikan utang-utang ini. Pemerintah harus membantu negosiasi masalah utang Garuda dengan para debiturnya.
"Garuda ini merupakan sebuah BUMN yang punya potensi besar, karena bagi Indonesia , Garuda menjadi pilihan utama. Jika mereka terus tersendat utang, bagaimana mereka bisa berkembang," imbuhnya.
Aviliani menambahkan pemerintah belum mempunyai visi yang sama untuk penyelesaian utang-utang Garuda. DPR harusnya mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan utang tersebut agar Garuda berkembang dan maju.
"Kita lihat bahwa antara Menteri BUMN dengan Menteri Keuangan belum ada visi yang sama, jika Menteri BUMN didesak untuk menyelesaikan utang Garuda, Menteri Keuangannya tidak secara penuh melihat hal ini" ungkapnya.
Karena itu, pemerintah juga harus berpandangan bahwa Garuda merupakan sebuah BUMN yang berpotensi dan harus dibenahi masalah utang-utangnya.
Ditanya, bagaimana upaya DPR menyelesaikan kasus Garuda, Hasto Keristianto anggota DPR-RI Komisi VI mengatakan bahwa kasus penggelembungan harga ini diusut tuntas. DPR akan membantu upaya penyelesaianya.
"PDIP akan boikot anggaran Kementerian Meneg BUMN bila Meneg BUMN tidak bisa membongkar kasus-kasus lama yang sarat dengan KKN di perusahaan-perusahaan negara," tegas Hasto.
Poltak Hotradero menambahkan Garuda akan sulit untuk go public karena masalah utang ini. "Garuda harus menyelesaikan utang-utangnya agar bisa go public. Dengan go public, mereka akan lebih transparan dan pemegang saham yang nantinya memiliki saham Garuda akan berusaha untuk memajukan Garuda serta bersaing secara internasional, tidak hanya diam di tempat seperti sekarang" ungkapnya.[bbs/an/hep]
Kerugian Garuda Indonesia diduga sebagian besar akibat penggelembungan harga (mark up) dari transaksi pembelian pesawat Airbus A330-300 pada periode 1988-1992 sehingga perlu dilakukan pengusutan.
Dugaan mark up ini disampaikan Poltak Hotradero, anggota Masyarakat Profesional Madani (MPM) yang juga pengamat penerbangan dalam talkshow bertajuk "Warisan Garuda yang tetap Membebani" bersama ekonom INDEF Avilliani dan Hasto Keristianto, anggota Komisi VI-DPR RI, Rabu, di Jakarta.
"Berdasarkan data yang diperoleh, pada 1989 pesawat Airbus 330-300 dibeli Garuda sekitar US$ 214 juta per pesawat dengan nilai kontrak US$ 1,2 miliar untuk enam pesawat. Padahal pada 2003, jika di lihat di website Airbus, harga A330-300 adalah US$ 140 juta" ujarnya.
Menurut Poltak, ada penggelembungan harga yang cukup besar. Persetujuan kontrak ini dibuat sepihak dan tidak transparan. Ini harus diusut karena sebesar US$ 470 juta dari US$ 748 juta utang Garuda berasal dari pembelian A330-300 tersebut.
"Artinya, hingga kini Garuda membayar utang-utang hasil mark up, bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya," ujarnya.
Dengan utang-utang itu, Garuda sebagai sebuah maskapai besar di Indonesia akan sulit untuk bersaing dalam rute internasional. Karena, Garuda Indonesia hanya mempunyai sembilan pesawat untuk rute internasional, yaitu 6 pesawat A330 dan 3 pesawat Boeing 747.
Sementara itu, econom dari INDEF Avilliani mengatakan, pemerintah harus turun tangan secara penuh dalam penyelesaian restrukturisasi utang-utang Garuda. "Pencarian strategic partner untuk Garuda tidak akan selesai jika pemerintah tidak memberikan jaminan bahwa akan menanggung utang-utang Garuda jika terjadi gagal bayar (default)" jelasnya.
Selain itu, menurut Aviliani, pemerintah dapat mengeluarkan obligasi yang bertujuan untuk menyelesaikan utang-utang ini. Pemerintah harus membantu negosiasi masalah utang Garuda dengan para debiturnya.
"Garuda ini merupakan sebuah BUMN yang punya potensi besar, karena bagi Indonesia , Garuda menjadi pilihan utama. Jika mereka terus tersendat utang, bagaimana mereka bisa berkembang," imbuhnya.
Aviliani menambahkan pemerintah belum mempunyai visi yang sama untuk penyelesaian utang-utang Garuda. DPR harusnya mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan utang tersebut agar Garuda berkembang dan maju.
"Kita lihat bahwa antara Menteri BUMN dengan Menteri Keuangan belum ada visi yang sama, jika Menteri BUMN didesak untuk menyelesaikan utang Garuda, Menteri Keuangannya tidak secara penuh melihat hal ini" ungkapnya.
Karena itu, pemerintah juga harus berpandangan bahwa Garuda merupakan sebuah BUMN yang berpotensi dan harus dibenahi masalah utang-utangnya.
Ditanya, bagaimana upaya DPR menyelesaikan kasus Garuda, Hasto Keristianto anggota DPR-RI Komisi VI mengatakan bahwa kasus penggelembungan harga ini diusut tuntas. DPR akan membantu upaya penyelesaianya.
"PDIP akan boikot anggaran Kementerian Meneg BUMN bila Meneg BUMN tidak bisa membongkar kasus-kasus lama yang sarat dengan KKN di perusahaan-perusahaan negara," tegas Hasto.
Poltak Hotradero menambahkan Garuda akan sulit untuk go public karena masalah utang ini. "Garuda harus menyelesaikan utang-utangnya agar bisa go public. Dengan go public, mereka akan lebih transparan dan pemegang saham yang nantinya memiliki saham Garuda akan berusaha untuk memajukan Garuda serta bersaing secara internasional, tidak hanya diam di tempat seperti sekarang" ungkapnya.[bbs/an/hep]
Wednesday, April 4, 2007
Masih Terbelit Utang, Garuda Susah Go Public
detikfinance Rabu, 04/04/2007 15:59
http://detikfinance.com/index.php/kanal.read/tahun/2007/bulan/04/tgl/04/time/155932/idnews/763066/idkanal/4
Masih Terbelit Utang, Garuda Susah Go Public
Wahyu Daniel - detikfinance
Jakarta - Maskapai pelat merah, PT Garuda Indonesia bakal sulit mewujudkan niatnya untuk melepas saham ke publik alias go public. Semua itu karena belitan utang Garuda yang tak kunjung rampung.
Hal tersebut disampaikan anggota Masyarakat Profesional Madani (MPM) yang juga pengamat penerbangan, Poltak Hotradero dalam seminar bertajuk "Korupsi di Tubuh Garuda Indonesia" di Front Row Cafe, Senayan, Jakarta (4/4/2007).
"Garuda harus menyelesaikan utang-utangnya agar bisa go public, sebab dengan go public mereka akan lebih transparan dan juga pemegang saham yang nantinya memiliki saham Garuda akan berusaha untuk memajukan Garuda dan bersaing secara internasional, tidak hanya diam di tempat seperti sekarang," urainya.
Sementara pengamat ekonomi dari INDEF Aviliani menyarankan agar pemerintah turun tangan secara penuh dalam penyelesaian restrukturiasasi utang-utang Garuda.
"Pencarian strategic partner untuk Garuda tidak akan selesai jika pemerintah tidak memberikan jaminan bahwa akan menanggung utang-utang Garuda jika terjadi gagal bayar (default), jelasnya.
Aviliani menambahkan, pemerintah harus membantu negosiasi masalah utang Garuda dengan para debiturnya.
"Garuda ini merupakan sebuah BUMN yang potensinya bagus, karena di Indonesia sendiri mereka menjadi pilihan utama, jika mereka terus tersendat utang, bagaimana mereka bisa berkembang," imbuhnya.
Avilliani menilai pemerintah belum mempunyai visi yang sama untuk penyelesaian utang-utang Garuda ini.
"Kita lihat bahwa antara Menteri BUMN dengan Menteri Keuangan belum ada visi yang sama, jika Menteri BUMN didesak untuk menyelesaikan utang Garuda, Menteri Keuangannya tidak secara penuh melihat hal ini," ungkapnya.
Karena itu, pemerintah juga harus berpandangan bahwa Garuda merupakan sebuah BUMN yang berpotensi, dan harus dibenahi masalah utang-utangnya. "DPR juga harus mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan utang-utang Garuda, agar Garuda berkembang dan maju," jelasnya.
Dugaan Penggelembungan
Dalam kesempatan tersebut, Poltak juga mengungkapkan dugaan penggelembungan harga (mark up) pada pembelian 6 buah pesawat A330 serie 300 oleh PT Garuda Indonesia pada 1998.
"Berdasarkan data yang saya dapat, pada 1998 pesawat Airbus 330-300 dibeli oleh Garuda sekitar US$ 214 juta per pesawat dengan nilai kontrak US$ 1,2 miliar untuk 6 pesawat. Padahal di 2003 harga A330-300 adalah US$ 140 juta dari yang saya lihat di website Airbus," ujarnya.
Poltak menilai ada penggelembungan harga (mark up) yang cukup besar.
"Persetujuan kontrak ini dibuat sepihak dan tidak transparan, ini harus diusut karena dampaknya sekarang adalah sebagian besar utang Garuda yaitu sebesar US$ 748 juta, US$ 470 jutanya merupakan utang pembelian A 330-300," ujarnya.
Poltak melanjutkan, dalam hal ini berarti Garuda hingga saat ini membayar utang-utang hasil mark up yang terjadi. "Bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya," ujarnya.
Dengan utang-utangnya sekarang, Poltak mengatakan Garuda sebagai sebuah maskapai besar di Indonesia akan sulit untuk bersaing dalam rute internasional.
"Garuda Indonesia hanya mempunyai 9 pesawat untuk rute internasional, yaitu 6 pesawat A330 dan 3 pesawat boeing 747, sulit untuk bersaing dengan maskapai asing yang juga beroperasi di Indonesia karena masalah pesawat ini, padahal potensi Garuda sangat besar," ungkapnya.
(dnl/qom)
http://detikfinance.com/index.php/kanal.read/tahun/2007/bulan/04/tgl/04/time/155932/idnews/763066/idkanal/4
Masih Terbelit Utang, Garuda Susah Go Public
Wahyu Daniel - detikfinance
Jakarta - Maskapai pelat merah, PT Garuda Indonesia bakal sulit mewujudkan niatnya untuk melepas saham ke publik alias go public. Semua itu karena belitan utang Garuda yang tak kunjung rampung.
Hal tersebut disampaikan anggota Masyarakat Profesional Madani (MPM) yang juga pengamat penerbangan, Poltak Hotradero dalam seminar bertajuk "Korupsi di Tubuh Garuda Indonesia" di Front Row Cafe, Senayan, Jakarta (4/4/2007).
"Garuda harus menyelesaikan utang-utangnya agar bisa go public, sebab dengan go public mereka akan lebih transparan dan juga pemegang saham yang nantinya memiliki saham Garuda akan berusaha untuk memajukan Garuda dan bersaing secara internasional, tidak hanya diam di tempat seperti sekarang," urainya.
Sementara pengamat ekonomi dari INDEF Aviliani menyarankan agar pemerintah turun tangan secara penuh dalam penyelesaian restrukturiasasi utang-utang Garuda.
"Pencarian strategic partner untuk Garuda tidak akan selesai jika pemerintah tidak memberikan jaminan bahwa akan menanggung utang-utang Garuda jika terjadi gagal bayar (default), jelasnya.
Aviliani menambahkan, pemerintah harus membantu negosiasi masalah utang Garuda dengan para debiturnya.
"Garuda ini merupakan sebuah BUMN yang potensinya bagus, karena di Indonesia sendiri mereka menjadi pilihan utama, jika mereka terus tersendat utang, bagaimana mereka bisa berkembang," imbuhnya.
Avilliani menilai pemerintah belum mempunyai visi yang sama untuk penyelesaian utang-utang Garuda ini.
"Kita lihat bahwa antara Menteri BUMN dengan Menteri Keuangan belum ada visi yang sama, jika Menteri BUMN didesak untuk menyelesaikan utang Garuda, Menteri Keuangannya tidak secara penuh melihat hal ini," ungkapnya.
Karena itu, pemerintah juga harus berpandangan bahwa Garuda merupakan sebuah BUMN yang berpotensi, dan harus dibenahi masalah utang-utangnya. "DPR juga harus mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan utang-utang Garuda, agar Garuda berkembang dan maju," jelasnya.
Dugaan Penggelembungan
Dalam kesempatan tersebut, Poltak juga mengungkapkan dugaan penggelembungan harga (mark up) pada pembelian 6 buah pesawat A330 serie 300 oleh PT Garuda Indonesia pada 1998.
"Berdasarkan data yang saya dapat, pada 1998 pesawat Airbus 330-300 dibeli oleh Garuda sekitar US$ 214 juta per pesawat dengan nilai kontrak US$ 1,2 miliar untuk 6 pesawat. Padahal di 2003 harga A330-300 adalah US$ 140 juta dari yang saya lihat di website Airbus," ujarnya.
Poltak menilai ada penggelembungan harga (mark up) yang cukup besar.
"Persetujuan kontrak ini dibuat sepihak dan tidak transparan, ini harus diusut karena dampaknya sekarang adalah sebagian besar utang Garuda yaitu sebesar US$ 748 juta, US$ 470 jutanya merupakan utang pembelian A 330-300," ujarnya.
Poltak melanjutkan, dalam hal ini berarti Garuda hingga saat ini membayar utang-utang hasil mark up yang terjadi. "Bukan membayar utang karena kebutuhan ekonomisnya," ujarnya.
Dengan utang-utangnya sekarang, Poltak mengatakan Garuda sebagai sebuah maskapai besar di Indonesia akan sulit untuk bersaing dalam rute internasional.
"Garuda Indonesia hanya mempunyai 9 pesawat untuk rute internasional, yaitu 6 pesawat A330 dan 3 pesawat boeing 747, sulit untuk bersaing dengan maskapai asing yang juga beroperasi di Indonesia karena masalah pesawat ini, padahal potensi Garuda sangat besar," ungkapnya.
(dnl/qom)
MARK UP Utang Masa Lalu Gerogoti Kinerja Garuda Indonesia
Suara Karya Rabu, 4 April 2007
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=170021
JAKARTA (Suara Karya): Dugaan penggelembungan harga (mark up) atas pengadaan enam Airbus Garuda di masa lalu merupakan warisan utang yang tetap membebani keuangan perusahaan hingga kini. Kendati demikian, tudingan itu jangan sampai menimbulkan fitnah, karena hasil audit BPK tidak ditemukan adanya dugaan korupsi.
Anggota Komisi V DPR, Enggartiasto Lukito dan Kepala Bidang Kajian dan Kampanye Anti Korupsi dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Gunawan mengatakan, tuduhan itu akan menjadi kendala dan sangat mengganggu kinerja perusahaan jika tak ada bukti yang menguatkan.
Dikatakan, jangan sampai penyakit masa lalu harus ditanggung oleh para direksi di masa kini. Padahal Garuda adalah aset bangsa yang sangat diaharapkan mampu mendongkrak citra Indonesia di dunia internasional. "Semua pihak mestinya punya perhatian terhadap pemberantasan korupsi yang terjadi di masa lalu dan kini," katanya.
Berdasarkan data keuangan perusahaan penerbangan nasional itu, kerugian usaha Garuda disebabkan beban utang di masa lalu yang berasal dari transaksi pembelian pesawat Airbus A330-300 yang diteken Moehamad Soeparno sebagai dirut 1988-1992.
Menurut Enggartiasto Lukito indikasi itu seharusnya diusut tuntas, apakah benar terjadi pelanggaran pidana, sehingga para pelakunya dapat dikejar pihak kejaksaan untuk mengembalikan uang hasil mark up-nya.
Kendati demikian Enggar mengakui, dari hasil audit BPK, tidak ditemukan adanya unsur korupsi dalam tubuh BUMN penerbangan itu. "Audit BPK tidak ditemukan pelanggaran tetapi bila melihat selisih kurs, tidak tertutup kemungkinan kasus itu dibuka kembali dengan melakukan audit investigasi," ujar Enggar.
Kepala Bidang Kajian dan Kampanye Anti Korupsi PBHI, Gunawan mengatakan, dugaan itu harus dibuktikan, jangan sampai ada fitnah. Selama ini orang hanya menduga dan mencurigai tapi tidak pernah menunjukkan bukti. "Itu juga akan menjadi masalah dan asal ngomong," tegasnya. (Syamsuri S/Rully)
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=170021
JAKARTA (Suara Karya): Dugaan penggelembungan harga (mark up) atas pengadaan enam Airbus Garuda di masa lalu merupakan warisan utang yang tetap membebani keuangan perusahaan hingga kini. Kendati demikian, tudingan itu jangan sampai menimbulkan fitnah, karena hasil audit BPK tidak ditemukan adanya dugaan korupsi.
Anggota Komisi V DPR, Enggartiasto Lukito dan Kepala Bidang Kajian dan Kampanye Anti Korupsi dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Gunawan mengatakan, tuduhan itu akan menjadi kendala dan sangat mengganggu kinerja perusahaan jika tak ada bukti yang menguatkan.
Dikatakan, jangan sampai penyakit masa lalu harus ditanggung oleh para direksi di masa kini. Padahal Garuda adalah aset bangsa yang sangat diaharapkan mampu mendongkrak citra Indonesia di dunia internasional. "Semua pihak mestinya punya perhatian terhadap pemberantasan korupsi yang terjadi di masa lalu dan kini," katanya.
Berdasarkan data keuangan perusahaan penerbangan nasional itu, kerugian usaha Garuda disebabkan beban utang di masa lalu yang berasal dari transaksi pembelian pesawat Airbus A330-300 yang diteken Moehamad Soeparno sebagai dirut 1988-1992.
Menurut Enggartiasto Lukito indikasi itu seharusnya diusut tuntas, apakah benar terjadi pelanggaran pidana, sehingga para pelakunya dapat dikejar pihak kejaksaan untuk mengembalikan uang hasil mark up-nya.
Kendati demikian Enggar mengakui, dari hasil audit BPK, tidak ditemukan adanya unsur korupsi dalam tubuh BUMN penerbangan itu. "Audit BPK tidak ditemukan pelanggaran tetapi bila melihat selisih kurs, tidak tertutup kemungkinan kasus itu dibuka kembali dengan melakukan audit investigasi," ujar Enggar.
Kepala Bidang Kajian dan Kampanye Anti Korupsi PBHI, Gunawan mengatakan, dugaan itu harus dibuktikan, jangan sampai ada fitnah. Selama ini orang hanya menduga dan mencurigai tapi tidak pernah menunjukkan bukti. "Itu juga akan menjadi masalah dan asal ngomong," tegasnya. (Syamsuri S/Rully)
Tuesday, April 3, 2007
Dugaan Mark Up Garuda Harus Dituntaskan
http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/04/tgl/03/time/153708/idnews/762618/idkanal/10
Detikcom
03/04/2007 15:37 WIB
Maryadi - detikcom
Jakarta - Penggelembungan harga atau mark up atas pengadaan 6 Airbus Garuda di masa lalu merupakan warisan utang yang tetap membebani keuangan perusahaan hingga kini. Seharusnya, pelanggaran yang dapat dikategorikan sebagai korupsi ini perlu diusut tuntas.
"Semua pihak, utamanya kepolisian, kejaksaan dan KPK, mestinya alert (punya perhatian) terhadap upaya pemberatasan korupsi ini," kata anggota Komisi V DPR Enggartiasto Lukito saat dihubungi di Jakarta, Selasa (3/4/2007).
Berdasarkan data keuangan perusahaan penerbangan nasional itu, terungkap bahwa kerugian usaha Garuda tersebut disebabkan beban utang di masa lalu yang berasal dari tansaksi pembelian pesawat Airbus A330-300 yang diteken Moehamad Soeparno sebagai dirut 1988-1992.
Menurut Enggartiasto Lukito indikasi terjadinya korupsi di industri penerbangan nasional itu seharusnya diusut tuntas apakah benar terjadi pelanggaran pidana korupsi sehingga para pelakunya dapat dikejar pihak kejaksaan untuk mengembalikan uang hasil mark up-nya.
"Meskipun sebelumnya telah dilakukan audit BPK serta tidak ditemukan pelanggaran tetapi bila melihat selisih kurs, tidak tertutup kemungkinan kasus itu dibuka kembali dengan melakukan audit investigasi," ujar Enggartiasto.
Terkait dengan kasus tersebut, Kepala Bidang Kajian dan Kampanye Anti Korupsi PBHI, Gunawan mengatakan penangangan masalah pengusutan korupsi di tubuh Garuda, paling cepat lewat Kejaksaan dan KPK. Karena dua lembaga itulah yang langsung dapat melakukan penyidikan.
"Kalau lewat polisi, agak lama karena harus lewat penyelidikan, penyidikan dan diserahkan kepada kejaksaan. Kalau kejaksaan lembaga itu dapat langsung menetapkan sebagai tersangka," jelas Gunawan.(mar/mar)
Detikcom
03/04/2007 15:37 WIB
Maryadi - detikcom
Jakarta - Penggelembungan harga atau mark up atas pengadaan 6 Airbus Garuda di masa lalu merupakan warisan utang yang tetap membebani keuangan perusahaan hingga kini. Seharusnya, pelanggaran yang dapat dikategorikan sebagai korupsi ini perlu diusut tuntas.
"Semua pihak, utamanya kepolisian, kejaksaan dan KPK, mestinya alert (punya perhatian) terhadap upaya pemberatasan korupsi ini," kata anggota Komisi V DPR Enggartiasto Lukito saat dihubungi di Jakarta, Selasa (3/4/2007).
Berdasarkan data keuangan perusahaan penerbangan nasional itu, terungkap bahwa kerugian usaha Garuda tersebut disebabkan beban utang di masa lalu yang berasal dari tansaksi pembelian pesawat Airbus A330-300 yang diteken Moehamad Soeparno sebagai dirut 1988-1992.
Menurut Enggartiasto Lukito indikasi terjadinya korupsi di industri penerbangan nasional itu seharusnya diusut tuntas apakah benar terjadi pelanggaran pidana korupsi sehingga para pelakunya dapat dikejar pihak kejaksaan untuk mengembalikan uang hasil mark up-nya.
"Meskipun sebelumnya telah dilakukan audit BPK serta tidak ditemukan pelanggaran tetapi bila melihat selisih kurs, tidak tertutup kemungkinan kasus itu dibuka kembali dengan melakukan audit investigasi," ujar Enggartiasto.
Terkait dengan kasus tersebut, Kepala Bidang Kajian dan Kampanye Anti Korupsi PBHI, Gunawan mengatakan penangangan masalah pengusutan korupsi di tubuh Garuda, paling cepat lewat Kejaksaan dan KPK. Karena dua lembaga itulah yang langsung dapat melakukan penyidikan.
"Kalau lewat polisi, agak lama karena harus lewat penyelidikan, penyidikan dan diserahkan kepada kejaksaan. Kalau kejaksaan lembaga itu dapat langsung menetapkan sebagai tersangka," jelas Gunawan.(mar/mar)
Monday, April 2, 2007
Garuda Rugi Akibat Utang Warisan
Jakarta, 2/4 (ANTARA) - Kinerja PT Garuda Indonesia pada akhir 2006 masih
menunjukkan kinerja keuangnnya yang kurang baik, hal itu antara lain karena masih adanya warisan utang dari masa lalu.
Tingkat rata-rata cash flow per bulan mengalami kenaikan mencapai sekitar 13
persen per bulan atau 89 juta dolar AS dibanding tahun sebelumnya, tetapi kerugian pada perusahaan itu masih cukup besar atau mencapai Rp191,9 miliar, kata Kepala Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Keuangan, ESCOM, Oke F. Supit di Jakarta, Senin.
Dikatakan, berdasarkan data keuangan perusahaan penerbangan nasional itu, terungkap
bahwa kerugian usaha itu disebabkan beban utang di masa lalu yang belum terselesaikan.
Akibatnya, BUMN harus menanggung beban rugi Rp 191,9 miliar pada 2006, dan
sebelumnya pada 2005 kerugian itu mencapai Rp 362,1 miliar.
Walau beban rugi tersebut cenderung menurun, menurut salah satu sumber menyebutkan,
beban utang itu bermula dari pembelian pesawat Airbus (A-330) yang dibeli seharga US$660 juta pada 1989.
Pembelian A-330 pada saat itu bukan berasal dari anggaran sendiri, melainkan melalui
sebuah konsorsium Morgan Grenfell yang sanggup ‘menalangi’ pembayarannya. Kemudian
konsorsium itu membentuk model special purpose vechicle (SPV) dengan nama GIE ‘Sulawesi’.
Selain itu, Garuda Indonesia juga menjalin kerja sama serupa dengan grup Jepang
Yamasa dengan membentuk SPV yang bernama GIE ‘Sumatera’. Sehingga beban Garuda semakin berat karena setiap tahun harus membayar biaya operating lease yang cukup besar.
Dirut PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, dalam dengar dengan Komisi V DPR belum
lama ini mengakui, jumlah utang perusahaannya hingga akhir 2006 tercatat US$748,05 juta, diantaranya US$470 juta merupakan beban utang pembelian pesawat A-330 tersebut. “Jadi kita tetap saja masih berutang,” ujarnya.
Adanya kredit bermasalah di Garuda itu merupakan masalah lama dan struktural yang
perlu penanganan secara baik, katanya.
menunjukkan kinerja keuangnnya yang kurang baik, hal itu antara lain karena masih adanya warisan utang dari masa lalu.
Tingkat rata-rata cash flow per bulan mengalami kenaikan mencapai sekitar 13
persen per bulan atau 89 juta dolar AS dibanding tahun sebelumnya, tetapi kerugian pada perusahaan itu masih cukup besar atau mencapai Rp191,9 miliar, kata Kepala Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Keuangan, ESCOM, Oke F. Supit di Jakarta, Senin.
Dikatakan, berdasarkan data keuangan perusahaan penerbangan nasional itu, terungkap
bahwa kerugian usaha itu disebabkan beban utang di masa lalu yang belum terselesaikan.
Akibatnya, BUMN harus menanggung beban rugi Rp 191,9 miliar pada 2006, dan
sebelumnya pada 2005 kerugian itu mencapai Rp 362,1 miliar.
Walau beban rugi tersebut cenderung menurun, menurut salah satu sumber menyebutkan,
beban utang itu bermula dari pembelian pesawat Airbus (A-330) yang dibeli seharga US$660 juta pada 1989.
Pembelian A-330 pada saat itu bukan berasal dari anggaran sendiri, melainkan melalui
sebuah konsorsium Morgan Grenfell yang sanggup ‘menalangi’ pembayarannya. Kemudian
konsorsium itu membentuk model special purpose vechicle (SPV) dengan nama GIE ‘Sulawesi’.
Selain itu, Garuda Indonesia juga menjalin kerja sama serupa dengan grup Jepang
Yamasa dengan membentuk SPV yang bernama GIE ‘Sumatera’. Sehingga beban Garuda semakin berat karena setiap tahun harus membayar biaya operating lease yang cukup besar.
Dirut PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, dalam dengar dengan Komisi V DPR belum
lama ini mengakui, jumlah utang perusahaannya hingga akhir 2006 tercatat US$748,05 juta, diantaranya US$470 juta merupakan beban utang pembelian pesawat A-330 tersebut. “Jadi kita tetap saja masih berutang,” ujarnya.
Adanya kredit bermasalah di Garuda itu merupakan masalah lama dan struktural yang
perlu penanganan secara baik, katanya.
Monday, February 12, 2007
Sabtu, 21 April 2007 | 05:57:00 WIB
Garuda: Tak Ada Markup Pembelian Pesawat
12 Pebruari 2007
Manajemen Garuda Indonesia menyatakan tak terjadi markup pada proyek pembelian enam unit pesawat Airbus A320 senilai US$ 660 juta pada 1996.
--------------------------------------------------------------------------------
Selidiki dengan saksama....!!!
Tahun 1996 Cendana masih sangat berkuasa dan kasus ini patut diduga keras melibatkan Cendana dan kroninya,untuk lebih jelasnya tanya saja Mantan Dirut Garuda Soeparno
ABRIANTO(abri@yahoo.co.id) - Jkt
http://www.tempointeraktif.com/komentar/?from=YW5vbnltb3Vz&at=MjAwNzAyMTM=&berita=brk,20070212-93045,id.html&act=read
Garuda: Tak Ada Markup Pembelian Pesawat
12 Pebruari 2007
Manajemen Garuda Indonesia menyatakan tak terjadi markup pada proyek pembelian enam unit pesawat Airbus A320 senilai US$ 660 juta pada 1996.
--------------------------------------------------------------------------------
Selidiki dengan saksama....!!!
Tahun 1996 Cendana masih sangat berkuasa dan kasus ini patut diduga keras melibatkan Cendana dan kroninya,untuk lebih jelasnya tanya saja Mantan Dirut Garuda Soeparno
ABRIANTO(abri@yahoo.co.id) - Jkt
http://www.tempointeraktif.com/komentar/?from=YW5vbnltb3Vz&at=MjAwNzAyMTM=&berita=brk,20070212-93045,id.html&act=read
Saturday, December 9, 2006
Membasmi Korupsi
Sabtu, 09 Desember 2006
� 2006 - Pikiran Rakyat Bandung
Dikelola oleh Pusat Data Redaksi (Unit: Cyber Media-Dokumentasi Digital)
Oleh ACUVIARTA
LANGKAH maju pemberantasan korupsi terus bergulir bak bola salju. Meskipun putarannya terkadang masih zig zag, arahnya sudah mulai lebih fokus. Apalagi banyak pihak lumrahnya juga telah menyadari, salah satu penyakit berat dan kronis perekonomian ini tidak lain karena masih tingginya angka korupsi.
Pekerjaan rumah pemberantasan korupsi jelas bukan hanya pada banyak tidaknya temuan mismanajemen keuangan yang terindikasi korupsi, tetapi persoalan bagaimana menghimpun kembali dana-dana yang raib tersebut agar secepatnya kembali ke pundi-pundi keuangan negara. Oleh sebab itu langkah BPK dan beberapa institusi lain yang terus bergulat dengan pemberantasan korupsi pantas mendapat apresiasi lebih.
Beberapa hari lalu Pikiran Rakyat (29/11) juga memberitakan, Ketua BPK (28/11) telah menyampaikan progress report hasil pemeriksaan BPK selama semester I-2006 di hadapan DPR. Beberapa hal penting dari apa yang disampaikan Ketua BPK adalah: Pertama, masih tingginya indikasi tindakan korupsi Indonesia; Kedua, sudah ada tindak lanjut hasil pemeriksaan yang disampaikan ke Kejagung dan KPK; Ketiga, masih rendahnya respons pejabat pengelola keuangan negara dalam menindaklanjuti temuan-temuan BPK; Keempat, kuatnya dugaan intensitas korupsi di pusat tidak kalah dengan apa yang terjadi di daerah.
Urgensi pemberantasan korupsi dari sudut pandang yang lebih makro paling tidak mengandung beberapa makna: Pertama, upaya menyinkronkan dampak pengeluaran pemerintah dengan target-target pencapaian keberhasilan pembangunan ekonomi. Selama ini keberhasilan pembangunan selalu diidentikkan dengan semakin besarnya pengeluaran negara. Lumrahnya memang seperti itu, tetapi lain halnya kalau kita memasukkan senyawa tingginya kebocoran anggaran pemerintah dalam melihat keberhasilan pembangunan.
Nilai kerugian negara tahun 2004 misalnya meningkat cukup pesat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (2002-2003). Tahun 2002 dan 2003 nilai kerugian negara diperkirakan sudah mencapai Rp 4 triliun lebih. Angka itu kemudian bahkan terlewati tahun 2004, karena kerugian negara diperkirakan meningkat sudah di atas Rp 5 triliun. Parahnya lagi, peningkatan kebocoran keuangan negara juga terjadi di semua bidang keuangan pemerintahan, jadi bukan hanya pada APBN tetapi juga pada APBD/BUMD dan BUMN.
Tahun 2004 kebocoran APBN meningkat hingga Rp 4 triliun, sedangkan kebocoran APBD/BUMD dan BUMN meningkat masing-masing hingga mencapai Rp 672 miliar dan Rp 359 miliar. Anehnya lagi, tingginya angka kerugian negara justru tidak diikuti dengan semakin besarnya jumlah kasus kerugian negara. Tahun 2002 dan 2003 jumlah kasus kerugian negara masing-masing 25.461 dan 12.043 kasus.
Jumlah kasus kerugian tersebut semakin turun tahun 2004 (9.577 kasus), sehingga pola yang ada saat ini "kenaikan nilai kebocoran negara berbanding terbalik dengan jumlah kasusnya". Selain itu, turunnya jumlah kasus kerugian negara menunjukkan ada dampak positif dari program pemberantasan korupsi yang sekarang berlangsung, terutama mengurangi jumlah orang baik yang mencoba melakukan korupsi.
Meningkatnya kerugian negara ini logisnya menjelaskan kepada kita semua bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia belum optimal menunjukkan hasil sebagaimana yang selama ini dijargonkan. Meningkatnya angka kebocoran keuangan negara ini pada satu sisi menunjukkan keberhasilan BPK dalam mengungkap banyak praktik kecurangan oknum penyelenggara keuangan negara. Pada sisi yang lain, peningkatan itu juga disebabkan lambannya respons pejabat pemerintahan dalam menindaklanjuti temuan-temuan BPK.
Ketua BPK dengan lantang juga menyampaikan bahwa tindak lanjut temuan pemeriksaan BPK saat ini baru mencapai 36,15% ("PR/28/11). Dari 17.142 temuan senilai Rp 101 triliun, baru 6.197 temuan yang sudah ditindaklanjuti. Melihat tingginya nilai kebocoran negara dan rendahnya tindaklanjut penyelesaian temuan-temuan BPK, sehingga kebiasaan perhatian kita semua kepada parameter peningkatan besar anggaran sebagai ukuran kemajuan pembangunan sepertinya pantas untuk dikoreksi. Selain itu, modus operandi penanganan tindak korupsi saat ini juga mulai harus melihat nilainya, bukan hanya terfokus pada banyaknya jumlah kasus kerugian negara.
Urgensi kedua, pemberantasan korupsi dari sudut pandang makro selain sebagai ukuran melihat keberhasilan pembangunan ekonomi adalah dalam konteks meningkatkan efisiensi usaha. Meningkatnya korupsi dalam berbagai bentuk kasus dan modus operandinya telah menciptakan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) sehingga menyulitkan banyak upaya untuk meningkatkan kinerja BUMN/BUMD serta mengikutsertakan keterlibatan investor asing dalam projek-projek yang dimobilisasi pemerintah. Persoalan ini juga sempat mendapat tanggapan Bank Dunia beberapa waktu lalu, terutama mengenai tingginya indikasi kebocoran projek-projek yang didanai Bank Dunia.
Merebaknya dugaan korupsi saat ini mulai terindikasi tidak hanya pada pos-pos yang langsung terkait pengelolaan pengeluaran negara (APBN/APBD) melalui departemen/lembaga teknis, tetapi juga sudah menular ke badan-badan usaha milik negara/daerah. Padahal untuk lembaga semacam itu, selain keterlibatan banyak pihak (stakeholders) dalam pengawasan sudah jauh lebih banyak, juga masalah kesejahteraannya sudah lumayan lebih baik.
Stigma ini juga sedikit mengaburkan persepsi yang selama ini berkembang bahwa pada level tertentu tingginya tingkat kesejahteraan dapat meredam tingginya angka korupsi. Dalam bahasa yang lebih sederhana, cukup dapat dipahami bahwa ternyata meningkatnya kesejahteraan yang relatif tidak dibarengi dengan tingginya pengawasan dan penegakan hukum hanya akan melanggengkan budaya korupsi di BUMN/BUMD.
Baru-baru ini BPK juga telah melaporkan beberapa kasus ke Kejagung yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan lembaga seperti itu, seperti: dugaan korupsi dana pensiun BNI'46 yang mencapai Rp 45 miliar dan di PT Asuransi Kredit Indonesia yang disinyalir merugikan negara hingga Rp 31 miliar lebih. Yang terbaru sekali, BPK juga menemukan adanya indikasi korupsi di sejumlah BUMN, seperti pada kasus penjualan dan investasi PT Kimia Farma tahun 2004 dan 2005. Serupa tapi tak sama, indikasi semacam itu juga ditemukan di PT Garuda Indonesia dan PT Surveyor Indonesia.
Persoalan tidak tertibnya manajemen keuangan di daerah juga disinyalir menjadi batu sandungan pada sejumlah BUMD. Temuan BPK lainnya juga menunjukkan adanya kepemilikan saham dan penyertaan modal serta investasi pemda pada bank dan perusahaan daerah senilai Rp 1,17 triliun yang belum jelas status hukumnya serta diduga berseberangan dengan sejumlah peraturan daerah (perda). Indikasi adanya penyalahgunaan dalam kasus-kasus seperti itu masih perlu diteliti lebih dalam, akan tetapi persoalan semacam ini dalam jangka menengah dan jangka panjang dapat memberi citra negatif bagi penciptaan kinerja pemerintah daerah (pemda) yang bersih dari moral hazard (good clean government).
Urgensi ketiga, penanganan korupsi idealnya juga tidak hanya terfokus pada usaha menemukan kasus-kasus pengelolaan keuangan yang diduga berselimut korupsi. Salah satu langkah yang juga harus ditempuh adalah meningkatkan kualitas auditor BPK dan kinerja semua elemen dalam pemberantasan korupsi. Lebih jauh lagi tumbuh suburnya lembaga-lembaga sejenis yang memiliki misi mirip seperti KPK dalam kerangka yang lebih terbatas (teknis/departemental) juga perlu dimobilisasi, selain mengandalkan dan mengoptimalkan peran inspektorat jendral dan bawasda dan lembaga pemberantasan korupsi independen seperti Indonesian Corruption Watch (ICW). Melihat banyaknya kasus temuan BPK yang terlambat ditindaklanjuti oleh pejabat pengelola keuangan negara/daerah, maka bisa jadi hal itu juga mengindikasikan terbatasnya SDM yang dimiliki pemerintah dalam menindaklanjuti kasus-kasus semacam itu, termasuk keterbatasan SDM yang dimiliki Kejagung dan Polri.
Saat ini auditor pemeriksa yang dimiliki BPK diperkirakan tidak lebih dari 1.755 orang. Dengan jumlah auditor yang terbatas seperti itu, sangat sulit bagi BPK untuk dapat optimal membongkar banyak malapraktik pengelolaan keuangan negara yang terjadi d itingkat pusat dan daerah. Data BPK (2004) menunjukkan banyak kantor perwakilan BPK dalam satuan kerja (satker) di daerah yang belum juga memiliki tenaga ahli fungsional sekelas auditor ahli utama (AAU).
Dari 8 Satker BPK di daerah (Medan, Palembang, DKI, Yogyakarta, Denpasar, Banjarmasin, Makassar, Jayapura) hanya Satker Pwk III DKI Jakarta yang sudah memiliki tenaga fungsional auditor ahli utama. Artinya selain DKI Jakarta, BPK di banyak tempat di daerah belum memiliki auditor dengan predikat fungsional ahli utama. Logisnya jabatan fungsional sekelas itu akan diikuti dengan perbaikan kualitas auditor pemeriksa pada tingkat fungsional di bawahnya.
Salah satu langkah positif akhir-akhir ini yang langsung dapat mendukung peningkatan SDM yang mumpuni dalam mengelola keuangan negara/daerah adalah kerja sama Dikti dengan beberapa perguruan tinggi. Perguruan tinggi dengan Dikti saat ini sedang intensif menjalin kerja sama dalam bingkai beasiswa program pendidikan bagi aparatur SKPD dalam hal disiplin ilmu Akuntansi Pemerintahan setingkat S-1 maupun S-2. Sejatinya melalui program peningkatan kualitas SDM semacam itu dalam jangka panjang keterlibatan banyak pihak dalam penanganan korupsi di Indonesia dapat lebih sistematis, selain akan lebih banyak individu yang paham bagaimana mengelola keuangan negara.
Pada saatnya nanti diharapkan tidak ada lagi kasus di mana salah seorang bupati di Jabar memasukkan dana APBD ke kas pribadi serta kasus salah seorang bupati di Sumbar yang mendepositokan dana APBD yang bunganya dibagi-bagikan atas kehendak pribadi. Normatifnya lagi, peningkatan kualitas SDM pengelolaan keuangan negara/daerah dan elemen pemberantasan korupsi juga akan mampu mendeteksi sedini mungkin potensi meluasnya praktik korupsi di daerah. Semoga.***
Penulis, dosen FKIP dan FE Unpas serta anggota Bidang III Ikatan Sarjana Ekonomi (ISEI) Bandung Koordinator Jawa Barat.
� 2006 - Pikiran Rakyat Bandung
Dikelola oleh Pusat Data Redaksi (Unit: Cyber Media-Dokumentasi Digital)
Oleh ACUVIARTA
LANGKAH maju pemberantasan korupsi terus bergulir bak bola salju. Meskipun putarannya terkadang masih zig zag, arahnya sudah mulai lebih fokus. Apalagi banyak pihak lumrahnya juga telah menyadari, salah satu penyakit berat dan kronis perekonomian ini tidak lain karena masih tingginya angka korupsi.
Pekerjaan rumah pemberantasan korupsi jelas bukan hanya pada banyak tidaknya temuan mismanajemen keuangan yang terindikasi korupsi, tetapi persoalan bagaimana menghimpun kembali dana-dana yang raib tersebut agar secepatnya kembali ke pundi-pundi keuangan negara. Oleh sebab itu langkah BPK dan beberapa institusi lain yang terus bergulat dengan pemberantasan korupsi pantas mendapat apresiasi lebih.
Beberapa hari lalu Pikiran Rakyat (29/11) juga memberitakan, Ketua BPK (28/11) telah menyampaikan progress report hasil pemeriksaan BPK selama semester I-2006 di hadapan DPR. Beberapa hal penting dari apa yang disampaikan Ketua BPK adalah: Pertama, masih tingginya indikasi tindakan korupsi Indonesia; Kedua, sudah ada tindak lanjut hasil pemeriksaan yang disampaikan ke Kejagung dan KPK; Ketiga, masih rendahnya respons pejabat pengelola keuangan negara dalam menindaklanjuti temuan-temuan BPK; Keempat, kuatnya dugaan intensitas korupsi di pusat tidak kalah dengan apa yang terjadi di daerah.
Urgensi pemberantasan korupsi dari sudut pandang yang lebih makro paling tidak mengandung beberapa makna: Pertama, upaya menyinkronkan dampak pengeluaran pemerintah dengan target-target pencapaian keberhasilan pembangunan ekonomi. Selama ini keberhasilan pembangunan selalu diidentikkan dengan semakin besarnya pengeluaran negara. Lumrahnya memang seperti itu, tetapi lain halnya kalau kita memasukkan senyawa tingginya kebocoran anggaran pemerintah dalam melihat keberhasilan pembangunan.
Nilai kerugian negara tahun 2004 misalnya meningkat cukup pesat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (2002-2003). Tahun 2002 dan 2003 nilai kerugian negara diperkirakan sudah mencapai Rp 4 triliun lebih. Angka itu kemudian bahkan terlewati tahun 2004, karena kerugian negara diperkirakan meningkat sudah di atas Rp 5 triliun. Parahnya lagi, peningkatan kebocoran keuangan negara juga terjadi di semua bidang keuangan pemerintahan, jadi bukan hanya pada APBN tetapi juga pada APBD/BUMD dan BUMN.
Tahun 2004 kebocoran APBN meningkat hingga Rp 4 triliun, sedangkan kebocoran APBD/BUMD dan BUMN meningkat masing-masing hingga mencapai Rp 672 miliar dan Rp 359 miliar. Anehnya lagi, tingginya angka kerugian negara justru tidak diikuti dengan semakin besarnya jumlah kasus kerugian negara. Tahun 2002 dan 2003 jumlah kasus kerugian negara masing-masing 25.461 dan 12.043 kasus.
Jumlah kasus kerugian tersebut semakin turun tahun 2004 (9.577 kasus), sehingga pola yang ada saat ini "kenaikan nilai kebocoran negara berbanding terbalik dengan jumlah kasusnya". Selain itu, turunnya jumlah kasus kerugian negara menunjukkan ada dampak positif dari program pemberantasan korupsi yang sekarang berlangsung, terutama mengurangi jumlah orang baik yang mencoba melakukan korupsi.
Meningkatnya kerugian negara ini logisnya menjelaskan kepada kita semua bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia belum optimal menunjukkan hasil sebagaimana yang selama ini dijargonkan. Meningkatnya angka kebocoran keuangan negara ini pada satu sisi menunjukkan keberhasilan BPK dalam mengungkap banyak praktik kecurangan oknum penyelenggara keuangan negara. Pada sisi yang lain, peningkatan itu juga disebabkan lambannya respons pejabat pemerintahan dalam menindaklanjuti temuan-temuan BPK.
Ketua BPK dengan lantang juga menyampaikan bahwa tindak lanjut temuan pemeriksaan BPK saat ini baru mencapai 36,15% ("PR/28/11). Dari 17.142 temuan senilai Rp 101 triliun, baru 6.197 temuan yang sudah ditindaklanjuti. Melihat tingginya nilai kebocoran negara dan rendahnya tindaklanjut penyelesaian temuan-temuan BPK, sehingga kebiasaan perhatian kita semua kepada parameter peningkatan besar anggaran sebagai ukuran kemajuan pembangunan sepertinya pantas untuk dikoreksi. Selain itu, modus operandi penanganan tindak korupsi saat ini juga mulai harus melihat nilainya, bukan hanya terfokus pada banyaknya jumlah kasus kerugian negara.
Urgensi kedua, pemberantasan korupsi dari sudut pandang makro selain sebagai ukuran melihat keberhasilan pembangunan ekonomi adalah dalam konteks meningkatkan efisiensi usaha. Meningkatnya korupsi dalam berbagai bentuk kasus dan modus operandinya telah menciptakan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) sehingga menyulitkan banyak upaya untuk meningkatkan kinerja BUMN/BUMD serta mengikutsertakan keterlibatan investor asing dalam projek-projek yang dimobilisasi pemerintah. Persoalan ini juga sempat mendapat tanggapan Bank Dunia beberapa waktu lalu, terutama mengenai tingginya indikasi kebocoran projek-projek yang didanai Bank Dunia.
Merebaknya dugaan korupsi saat ini mulai terindikasi tidak hanya pada pos-pos yang langsung terkait pengelolaan pengeluaran negara (APBN/APBD) melalui departemen/lembaga teknis, tetapi juga sudah menular ke badan-badan usaha milik negara/daerah. Padahal untuk lembaga semacam itu, selain keterlibatan banyak pihak (stakeholders) dalam pengawasan sudah jauh lebih banyak, juga masalah kesejahteraannya sudah lumayan lebih baik.
Stigma ini juga sedikit mengaburkan persepsi yang selama ini berkembang bahwa pada level tertentu tingginya tingkat kesejahteraan dapat meredam tingginya angka korupsi. Dalam bahasa yang lebih sederhana, cukup dapat dipahami bahwa ternyata meningkatnya kesejahteraan yang relatif tidak dibarengi dengan tingginya pengawasan dan penegakan hukum hanya akan melanggengkan budaya korupsi di BUMN/BUMD.
Baru-baru ini BPK juga telah melaporkan beberapa kasus ke Kejagung yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan lembaga seperti itu, seperti: dugaan korupsi dana pensiun BNI'46 yang mencapai Rp 45 miliar dan di PT Asuransi Kredit Indonesia yang disinyalir merugikan negara hingga Rp 31 miliar lebih. Yang terbaru sekali, BPK juga menemukan adanya indikasi korupsi di sejumlah BUMN, seperti pada kasus penjualan dan investasi PT Kimia Farma tahun 2004 dan 2005. Serupa tapi tak sama, indikasi semacam itu juga ditemukan di PT Garuda Indonesia dan PT Surveyor Indonesia.
Persoalan tidak tertibnya manajemen keuangan di daerah juga disinyalir menjadi batu sandungan pada sejumlah BUMD. Temuan BPK lainnya juga menunjukkan adanya kepemilikan saham dan penyertaan modal serta investasi pemda pada bank dan perusahaan daerah senilai Rp 1,17 triliun yang belum jelas status hukumnya serta diduga berseberangan dengan sejumlah peraturan daerah (perda). Indikasi adanya penyalahgunaan dalam kasus-kasus seperti itu masih perlu diteliti lebih dalam, akan tetapi persoalan semacam ini dalam jangka menengah dan jangka panjang dapat memberi citra negatif bagi penciptaan kinerja pemerintah daerah (pemda) yang bersih dari moral hazard (good clean government).
Urgensi ketiga, penanganan korupsi idealnya juga tidak hanya terfokus pada usaha menemukan kasus-kasus pengelolaan keuangan yang diduga berselimut korupsi. Salah satu langkah yang juga harus ditempuh adalah meningkatkan kualitas auditor BPK dan kinerja semua elemen dalam pemberantasan korupsi. Lebih jauh lagi tumbuh suburnya lembaga-lembaga sejenis yang memiliki misi mirip seperti KPK dalam kerangka yang lebih terbatas (teknis/departemental) juga perlu dimobilisasi, selain mengandalkan dan mengoptimalkan peran inspektorat jendral dan bawasda dan lembaga pemberantasan korupsi independen seperti Indonesian Corruption Watch (ICW). Melihat banyaknya kasus temuan BPK yang terlambat ditindaklanjuti oleh pejabat pengelola keuangan negara/daerah, maka bisa jadi hal itu juga mengindikasikan terbatasnya SDM yang dimiliki pemerintah dalam menindaklanjuti kasus-kasus semacam itu, termasuk keterbatasan SDM yang dimiliki Kejagung dan Polri.
Saat ini auditor pemeriksa yang dimiliki BPK diperkirakan tidak lebih dari 1.755 orang. Dengan jumlah auditor yang terbatas seperti itu, sangat sulit bagi BPK untuk dapat optimal membongkar banyak malapraktik pengelolaan keuangan negara yang terjadi d itingkat pusat dan daerah. Data BPK (2004) menunjukkan banyak kantor perwakilan BPK dalam satuan kerja (satker) di daerah yang belum juga memiliki tenaga ahli fungsional sekelas auditor ahli utama (AAU).
Dari 8 Satker BPK di daerah (Medan, Palembang, DKI, Yogyakarta, Denpasar, Banjarmasin, Makassar, Jayapura) hanya Satker Pwk III DKI Jakarta yang sudah memiliki tenaga fungsional auditor ahli utama. Artinya selain DKI Jakarta, BPK di banyak tempat di daerah belum memiliki auditor dengan predikat fungsional ahli utama. Logisnya jabatan fungsional sekelas itu akan diikuti dengan perbaikan kualitas auditor pemeriksa pada tingkat fungsional di bawahnya.
Salah satu langkah positif akhir-akhir ini yang langsung dapat mendukung peningkatan SDM yang mumpuni dalam mengelola keuangan negara/daerah adalah kerja sama Dikti dengan beberapa perguruan tinggi. Perguruan tinggi dengan Dikti saat ini sedang intensif menjalin kerja sama dalam bingkai beasiswa program pendidikan bagi aparatur SKPD dalam hal disiplin ilmu Akuntansi Pemerintahan setingkat S-1 maupun S-2. Sejatinya melalui program peningkatan kualitas SDM semacam itu dalam jangka panjang keterlibatan banyak pihak dalam penanganan korupsi di Indonesia dapat lebih sistematis, selain akan lebih banyak individu yang paham bagaimana mengelola keuangan negara.
Pada saatnya nanti diharapkan tidak ada lagi kasus di mana salah seorang bupati di Jabar memasukkan dana APBD ke kas pribadi serta kasus salah seorang bupati di Sumbar yang mendepositokan dana APBD yang bunganya dibagi-bagikan atas kehendak pribadi. Normatifnya lagi, peningkatan kualitas SDM pengelolaan keuangan negara/daerah dan elemen pemberantasan korupsi juga akan mampu mendeteksi sedini mungkin potensi meluasnya praktik korupsi di daerah. Semoga.***
Penulis, dosen FKIP dan FE Unpas serta anggota Bidang III Ikatan Sarjana Ekonomi (ISEI) Bandung Koordinator Jawa Barat.
Thursday, September 7, 2006
Korupsi Pembelian Pesawat Airbus Dibawa ke KPK
© Copyright 1999 - 2006 Masyarakat Transparansi Indonesia
The Indonesian Society for Transparency
http://www.transparansi.or.id
E-mail: mti@centrin.net.id
http://www.transparansi.or.id/?pilih=lihatberita&id=1974
Kamis, 07 September 2006
JAKARTA -- Tim pencari fakta Komite Korupsi Garuda Indonesia akan segera mengumumkan temuan markup (penggelembungan) pembelian pesawat Airbus 330 senilai US$ 660 juta. Temuan tersebut akan segera diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu dekat.
Menurut Ketua Komite Korupsi Garuda Indonesia Ari Sapari, pihaknya sudah melakukan penelitian selama satu bulan mengenai dugaan korupsi di perusahaan penerbangan pelat merah itu. "Kami akan mengumumkan temuannya ke publik besok (hari ini)," katanya kepada Tempo kemarin. Tentang nama-nama yang terkait dengan kasus penggelembungan tersebut, dia menolak membeberkannya. "Belum bisa karena ini menyangkut asas praduga tak bersalah. Yang terlibat orang dari dalam dan luar Garuda," kata Ari.
Ari, yang juga Direktur Operasi Garuda, mengatakan dugaan korupsi pembelian pesawat 10 tahun lalu itu sangat kuat. Dugaan korupsi pembelian pesawat Airbus A330 senilai US$ 660 juta (dengan kurs sekarang setara dengan Rp 6 miliar) itu terjadi pada 1996. Pembelian enam pesawat Airbus A330 semula merupakan perjanjian sewa beli antara Garuda dan konsorsium Bank Dunia yang dipimpin Morgan Grenfell melalui perusahaan GIE Sulawesi. Kontrak sewa beli pesawat dilakukan selama 12 tahun.
Dari pengoperasian enam pesawat tersebut, Garuda hanya menerima pendapatan 30-40 persen. Padahal, untuk dapat membayar biaya sewa dan biaya operasional lain, target pendapatan sekitar 200 persen.
Sebelumnya, Komite Korupsi Garuda Indonesia telah melaporkan tiga kasus dugaan korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Kasus tersebut adalah dana macet atas penjualan beberapa unit kargo Garuda sebesar US$ 1,4 juta ditambah Rp 74 juta (2003), kasus macetnya dana Yayasan Kesejahteraan Pegawai sejumlah Rp 28 miliar (2003), dan kasus penyalahgunaan tiket Garuda di perwakilan Denpasar (2005).
Di tempat terpisah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Djoko Susilo dan Didik J. Rachbini, mempertanyakan keputusan Panitia Kerja A DPR yang menyetujui pemberian subsidi kepada Garuda dan Merpati Nusantara Airline. Kedua perusahan penerbangan negara itu mendapat subsidi masing-masing Rp 1 triliun dan Rp 450 miliar.
"Saya kira ini agak sembrono. Saya tidak tahu ada apa ini, kok, tiba-tiba Garuda dan Merpati mendapat subsidi sebesar itu," kata Djoko kepada Tempo kemarin. Dia curiga ada konspirasi antara Menteri Keuangan, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, dan sebagian anggota DPR untuk mendukung kucuran dana APBN tersebut.
Ketua Komisi Industri DPR Didik J. Rachbini menyatakan persetujuan Panitia Kerja DPR jelas telah melangkahi kewenangan Komisi. Menurut dia, di Komisi VI itu sama sekali belum ada kata sepakat mengenai penyelesaian utang Garuda dan Merpati, apalagi keputusan pemberian subsidi. ANTON APRIYANTO | AGUS SUPRIYANTO
Wednesday, September 6, 2006
Garuda serius berantas korupsi dan inefisiensi
Antara
Rabu, 06/09/2006 15:04 WIB
DENPASAR (Antara): PT Garuda Indonesia serius memberantas tindak korupsi
dan inefisiensi yang terjadi di perusahaan dan bahkan beberapa kasusnya telah
dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Perusahaan serius dalam menangani berbagai kasus korupsi dan atau
inefisiensi dan terakhir kasus penyimpangan prosedur tiket di Denpasar telah
kita laporkan ke Polda Bali," kata Kepala Komunikasi Perusahaan PT Garuda
Indonesia Pujobroto, kepada pers, di Sanur, Bali, hari ini.
Menurutnya, manajemen Garuda telah melaporkan berbagai dugaan korupsi dan
tindak inefisiensi di Garuda ke KPK, 22 September 2005 dan 9 Februari 2006,
untuk kasus "outstanding SBU Kargo".
Untuk menindaklanjuti korupsi dan inefisiensi, perusahaan telah membentuk
Komite Penanganan Korupsi yang anggotanya berasal dari personil Garuda yang
membidangi masalah hukum SDM, urusan perusahaan, internal audit, dan komunikasi
perusahaan.
Secara umum tugas Komite adalah menangani dan menindaklanjuti setiap
laporan dari masyarakat luas atau unsur perusahaan mengenai dugaan korupsi di
Garuda.
Bahkan, katanya, Komite berkewajiban menyampaikan informasi kepada
pelapor mengenai perkembangan penanganan laporan dugaan korupsi yang
dilaporkannya.
"Dalam menindaklanjuti setiap laporan, Komite akan berkoordinasi dengan
instansi penegak hukum," kata Pujobroto.
Komite juga akan mengumumkan kepada publik secara periodik mengenai
kinerjenya dalam menangani korupsi dan tindak inefisiensi yang terjadi di
Garuda Indonesia.
Dalam setiap laporannya, Komite melindungi kerahasiaan, baik menyangkut
materi laporan maupun identitas pelapor. Para pelapor juga mendapat
perlindungan hukum, baik mengenai status hukum maupun rasa aman dari PT Garuda
Indoensia.
Pujobroto mengatakan, perusahaan sangat serius menangani korupsi sehingga
diperlukan peran aktif dari masyarakat luas maupun semua unsur perusahaan.
Komitmen pemberantasan korupsi, termasuk penanganan korupsi yang
dilakukan Komite Penanganan Korupsi, tegasnya, bukan suatu upaya bersifat
"kosmetik" apalagi hanya "lip service" belaka.
Sejumlah kasus korupsi dan inefisiensi yang telah ditangani antara lain
penyalahgunaan tiket Garuda di Cabang Jakarta yang kasusunya sudah dilimpahkan
ke Polda Bali 3 Juli 2006.
Selain itu juga dugaan penggemblungan dana (mark up) pesawat A-330 yang
saat ini sudah dibentuk tim investigasi dan pengumpulan data. (editor dj)
Rabu, 06/09/2006 15:04 WIB
DENPASAR (Antara): PT Garuda Indonesia serius memberantas tindak korupsi
dan inefisiensi yang terjadi di perusahaan dan bahkan beberapa kasusnya telah
dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Perusahaan serius dalam menangani berbagai kasus korupsi dan atau
inefisiensi dan terakhir kasus penyimpangan prosedur tiket di Denpasar telah
kita laporkan ke Polda Bali," kata Kepala Komunikasi Perusahaan PT Garuda
Indonesia Pujobroto, kepada pers, di Sanur, Bali, hari ini.
Menurutnya, manajemen Garuda telah melaporkan berbagai dugaan korupsi dan
tindak inefisiensi di Garuda ke KPK, 22 September 2005 dan 9 Februari 2006,
untuk kasus "outstanding SBU Kargo".
Untuk menindaklanjuti korupsi dan inefisiensi, perusahaan telah membentuk
Komite Penanganan Korupsi yang anggotanya berasal dari personil Garuda yang
membidangi masalah hukum SDM, urusan perusahaan, internal audit, dan komunikasi
perusahaan.
Secara umum tugas Komite adalah menangani dan menindaklanjuti setiap
laporan dari masyarakat luas atau unsur perusahaan mengenai dugaan korupsi di
Garuda.
Bahkan, katanya, Komite berkewajiban menyampaikan informasi kepada
pelapor mengenai perkembangan penanganan laporan dugaan korupsi yang
dilaporkannya.
"Dalam menindaklanjuti setiap laporan, Komite akan berkoordinasi dengan
instansi penegak hukum," kata Pujobroto.
Komite juga akan mengumumkan kepada publik secara periodik mengenai
kinerjenya dalam menangani korupsi dan tindak inefisiensi yang terjadi di
Garuda Indonesia.
Dalam setiap laporannya, Komite melindungi kerahasiaan, baik menyangkut
materi laporan maupun identitas pelapor. Para pelapor juga mendapat
perlindungan hukum, baik mengenai status hukum maupun rasa aman dari PT Garuda
Indoensia.
Pujobroto mengatakan, perusahaan sangat serius menangani korupsi sehingga
diperlukan peran aktif dari masyarakat luas maupun semua unsur perusahaan.
Komitmen pemberantasan korupsi, termasuk penanganan korupsi yang
dilakukan Komite Penanganan Korupsi, tegasnya, bukan suatu upaya bersifat
"kosmetik" apalagi hanya "lip service" belaka.
Sejumlah kasus korupsi dan inefisiensi yang telah ditangani antara lain
penyalahgunaan tiket Garuda di Cabang Jakarta yang kasusunya sudah dilimpahkan
ke Polda Bali 3 Juli 2006.
Selain itu juga dugaan penggemblungan dana (mark up) pesawat A-330 yang
saat ini sudah dibentuk tim investigasi dan pengumpulan data. (editor dj)
Tuesday, August 29, 2006
Garuda Akan Pecat Karyawan Jika Ada yang Jadi Tersangka
29/08/2006 17:40 WIB
Garuda Akan Pecat Karyawan Jika Ada yang Jadi Tersangka
Maryadi - detikcom
Jakarta - Garuda Indonesia akan memecat karyawannya apabila mereka menjadi tersangka dalam sejumlah kasus dugaan korupsi yang dilaporkan manajemen Garuda ke pihak penyidik.
Pemecatan tersebut sebagai bentuk sanksi berat yang dilakukan manajemen Garuda untuk membuktikan keseriusan Garuda dalam memberantas korupsi di tubuh BUMN berlogo burung tersebut.
"Tidak perlu sampai mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketika sudah menjadi tersangka, kita akan langsung pecat," kata Ketua Komite Penanganan Laporan Dugaan Korupsi PT Garuda Indonesia Kapten Ari Sapari di kantor Garuda Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Selasa (29/8/2006).
Dijelaskan Ari, jika memang nantinya di pengadilan tersangka korupsi dari Garuda tidak terbukti pada keputusan pengadilan terakhir, maka Garuda akan mempekerjakan karyawan tersebut sekaligus memberikan rehabilitasi kepada yang bersangkutan. "Ini penting bagi Garuda agar publik bisa percaya," katanya.
Menurut Ari, saat ini manajemen Garuda sudah melaporkan sejumlah kasus korupsi di tubuh BUMN tersebut. Seperti kasus korupsi SBU cargo yang telah dilaporkan ke KPK dengan nilai dugaan kerugian negara sebesar US$ 1,4 juta dan Rp 75 juta.
Selain itu, dilaporkan korupsi dana Yayasan Pegawai Garuda yang merugikan negara Rp 28 miliar serta penyalahgunaan tiket Garuda diperwakilan Denpasar yang telah dilaporkam ke Polda Bali 3 Juli 2006.
Selain itu dugaan mark up Airbus seri A330 yang saat ini tengah dilakukan investigasi dan pengumpulan data. "Tapi kita belum bisa merilis berapa kerugian negara serta orang-orang Garuda yang terlibat," kata Ari ketika ditanya soal keterlibatan mantan Presiden BJ Habibie yang diduga terlibat kasus ini.
(jon/)
Garuda Akan Pecat Karyawan Jika Ada yang Jadi Tersangka
Maryadi - detikcom
Jakarta - Garuda Indonesia akan memecat karyawannya apabila mereka menjadi tersangka dalam sejumlah kasus dugaan korupsi yang dilaporkan manajemen Garuda ke pihak penyidik.
Pemecatan tersebut sebagai bentuk sanksi berat yang dilakukan manajemen Garuda untuk membuktikan keseriusan Garuda dalam memberantas korupsi di tubuh BUMN berlogo burung tersebut.
"Tidak perlu sampai mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketika sudah menjadi tersangka, kita akan langsung pecat," kata Ketua Komite Penanganan Laporan Dugaan Korupsi PT Garuda Indonesia Kapten Ari Sapari di kantor Garuda Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Selasa (29/8/2006).
Dijelaskan Ari, jika memang nantinya di pengadilan tersangka korupsi dari Garuda tidak terbukti pada keputusan pengadilan terakhir, maka Garuda akan mempekerjakan karyawan tersebut sekaligus memberikan rehabilitasi kepada yang bersangkutan. "Ini penting bagi Garuda agar publik bisa percaya," katanya.
Menurut Ari, saat ini manajemen Garuda sudah melaporkan sejumlah kasus korupsi di tubuh BUMN tersebut. Seperti kasus korupsi SBU cargo yang telah dilaporkan ke KPK dengan nilai dugaan kerugian negara sebesar US$ 1,4 juta dan Rp 75 juta.
Selain itu, dilaporkan korupsi dana Yayasan Pegawai Garuda yang merugikan negara Rp 28 miliar serta penyalahgunaan tiket Garuda diperwakilan Denpasar yang telah dilaporkam ke Polda Bali 3 Juli 2006.
Selain itu dugaan mark up Airbus seri A330 yang saat ini tengah dilakukan investigasi dan pengumpulan data. "Tapi kita belum bisa merilis berapa kerugian negara serta orang-orang Garuda yang terlibat," kata Ari ketika ditanya soal keterlibatan mantan Presiden BJ Habibie yang diduga terlibat kasus ini.
(jon/)
Garuda Ungkap Empat Kasus Dugaan Korupsi
Garuda Ungkap Empat Kasus Dugaan Korupsi
Selasa, 29 Agustus 2006 | 18:34 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Komite Korupsi PT Garuda Indonesia menemukan empat kasus dugaan korupsi di tubuh manajemen perusahaan penerbangan milik negara ini. Tiga kasus sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan satu kasus masih diselidiki tim pencari fakta Komite Korupsi Garuda.
Tiga kasus dugaan korupsi di Garuda yang sudah dilaporkan KPK adalah pertama, dana macet atas penjualan beberapa unit kargo Garuda sebesar US$ 1,4 juta ditambah Rp 74 juta pada 2003. Kasus kedua macetnya dana Yayasan Kesejahteraan Pegawai sebesar Rp 28 miliar pada 2003, dan ketiga Dugaan penyalahgunaan tiket Garuda di perwakilan Denpasar pada 2005. Keempat yang masih diselidik tim pencari fakta adalah dugaan markup Garuda tahun 1996. untuk kasus ketiga dan keempat komite tidak bersedia menyebutkan besaran nilai yang diduga dikorupsi.
Menurut Ketua Komite Korupsi Garuda Ari Sapari temuan-temuan ini merupakan bentuk keseriusan manajemen Garuda sebagai salah satu upaya penyehatan perusahaan. Sejauh ini, kata dia, sudah ada beberapa orang yang diduga terkait dengan empat kasus korupsi ini. Namun, manajemenmasih menunggu hasil dari KPK atas keterlibatan orang-orang tersebut.
“Mereka orang dalam dan luar perusahaan. Demi asas praduga tak bersalah nama-namanya belum bisa kami sebutkan” kata Ari kepada pers di Jakarta, Selasa (29/8).
Selasa, 29 Agustus 2006 | 18:34 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Komite Korupsi PT Garuda Indonesia menemukan empat kasus dugaan korupsi di tubuh manajemen perusahaan penerbangan milik negara ini. Tiga kasus sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan satu kasus masih diselidiki tim pencari fakta Komite Korupsi Garuda.
Tiga kasus dugaan korupsi di Garuda yang sudah dilaporkan KPK adalah pertama, dana macet atas penjualan beberapa unit kargo Garuda sebesar US$ 1,4 juta ditambah Rp 74 juta pada 2003. Kasus kedua macetnya dana Yayasan Kesejahteraan Pegawai sebesar Rp 28 miliar pada 2003, dan ketiga Dugaan penyalahgunaan tiket Garuda di perwakilan Denpasar pada 2005. Keempat yang masih diselidik tim pencari fakta adalah dugaan markup Garuda tahun 1996. untuk kasus ketiga dan keempat komite tidak bersedia menyebutkan besaran nilai yang diduga dikorupsi.
Menurut Ketua Komite Korupsi Garuda Ari Sapari temuan-temuan ini merupakan bentuk keseriusan manajemen Garuda sebagai salah satu upaya penyehatan perusahaan. Sejauh ini, kata dia, sudah ada beberapa orang yang diduga terkait dengan empat kasus korupsi ini. Namun, manajemenmasih menunggu hasil dari KPK atas keterlibatan orang-orang tersebut.
“Mereka orang dalam dan luar perusahaan. Demi asas praduga tak bersalah nama-namanya belum bisa kami sebutkan” kata Ari kepada pers di Jakarta, Selasa (29/8).
Friday, July 28, 2006
Utang Garuda Senilai US$ 300 Juta Tak Layak Dibayar
Bapekki Depkeu 28 Juli 2006
http://www.fiskal.depkeu.go.id/bapekki/klip/detailklip.asp?klipID=N256004081
TEMPO Interaktif, Jakarta: Komisi BUMN DPR minta agar PT Garuda Indonesia tidak membayar seluruh utang kepada European Export Credit Agency (ECA) sebesar US$ 501,6 juta. Komisi ini menemukan bukti utang senilai US$ 300 juta dari total utang sisa pembelian enam pesawat A330 tidak layak dibayar.
"Namun ini harus dibuktikan secara hukum dan biarkan pemerintah yang bekerja," kata Ketua Komisi BUMN Didik J. Rachbini kepada Tempo kemarin.
Menurut Direktur Keuangan Garuda indonesia, Alex M.T Maneklaran, Garuda akan tetap mengajukan opsi berbagi beban dengan ECA. Opsi itu paling memungkinkan dengan kondisi perusahaan saat ini. "Ini sesuai dengan rencana busnis Garuda ke depan dan langkah efisiensi," katanya.
Pertemuan di London pekan lalu dengan ECA, kata Alex, akan disikapi serius oleh Garuda untuk membuat bussines plan yang ramping dan meyakinkan kerditor tentang upaya restrukturisasi utang yang didukung perbaikan kinerja perusahaan.
ECA sendiri, lanjut Alex sudah membuka pintu negoisasi tentang ketidakmampuan Garuda membayar hutang secara penuh. Namun hal itu harus dituangkan dalam rencana bisnis. Namun Alex sendiri tidak mau berkomentar apakah pihaknya sudah membicarakan dugaan markup dengan ECA.
Kritik & saran anda mengenai desain dan fasilitas situs ini mohon dialamatkan pada Bagian Dokumentasi dan Informasi pada Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional
Alamat : Jl. Wahidin Raya Gedung-B Departemen Keuangan.
atau ke email address : baf@depkeu.go.id
http://www.fiskal.depkeu.go.id/bapekki/klip/detailklip.asp?klipID=N256004081
TEMPO Interaktif, Jakarta: Komisi BUMN DPR minta agar PT Garuda Indonesia tidak membayar seluruh utang kepada European Export Credit Agency (ECA) sebesar US$ 501,6 juta. Komisi ini menemukan bukti utang senilai US$ 300 juta dari total utang sisa pembelian enam pesawat A330 tidak layak dibayar.
"Namun ini harus dibuktikan secara hukum dan biarkan pemerintah yang bekerja," kata Ketua Komisi BUMN Didik J. Rachbini kepada Tempo kemarin.
Menurut Direktur Keuangan Garuda indonesia, Alex M.T Maneklaran, Garuda akan tetap mengajukan opsi berbagi beban dengan ECA. Opsi itu paling memungkinkan dengan kondisi perusahaan saat ini. "Ini sesuai dengan rencana busnis Garuda ke depan dan langkah efisiensi," katanya.
Pertemuan di London pekan lalu dengan ECA, kata Alex, akan disikapi serius oleh Garuda untuk membuat bussines plan yang ramping dan meyakinkan kerditor tentang upaya restrukturisasi utang yang didukung perbaikan kinerja perusahaan.
ECA sendiri, lanjut Alex sudah membuka pintu negoisasi tentang ketidakmampuan Garuda membayar hutang secara penuh. Namun hal itu harus dituangkan dalam rencana bisnis. Namun Alex sendiri tidak mau berkomentar apakah pihaknya sudah membicarakan dugaan markup dengan ECA.
Kritik & saran anda mengenai desain dan fasilitas situs ini mohon dialamatkan pada Bagian Dokumentasi dan Informasi pada Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional
Alamat : Jl. Wahidin Raya Gedung-B Departemen Keuangan.
atau ke email address : baf@depkeu.go.id
Utang Garuda Senilai US$ 300 Juta Tak Layak Dibayar
TEMPO Interaktif
Jum'at, 28 Juli 2006 | 04:05 WIB
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2006/07/28/brk,20060728-80779,id.html
TEMPO Interaktif, Jakarta: Komisi BUMN DPR minta agar PT Garuda Indonesia tidak membayar seluruh utang kepada European Export Credit Agency (ECA) sebesar US$ 501,6 juta. Komisi ini menemukan bukti utang senilai US$ 300 juta dari total utang sisa pembelian enam pesawat A330 tidak layak dibayar.
"Namun ini harus dibuktikan secara hukum dan biarkan pemerintah yang bekerja," kata Ketua Komisi BUMN Didik J. Rachbini kepada Tempo kemarin.
Menurut Direktur Keuangan Garuda indonesia, Alex M.T Maneklaran, Garuda akan tetap mengajukan opsi berbagi beban dengan ECA. Opsi itu paling memungkinkan dengan kondisi perusahaan saat ini. "Ini sesuai dengan rencana busnis Garuda ke depan dan langkah efisiensi," katanya.
Pertemuan di London pekan lalu dengan ECA, kata Alex, akan disikapi serius oleh Garuda untuk membuat bussines plan yang ramping dan meyakinkan kerditor tentang upaya restrukturisasi utang yang didukung perbaikan kinerja perusahaan.
ECA sendiri, lanjut Alex sudah membuka pintu negoisasi tentang ketidakmampuan Garuda membayar hutang secara penuh. Namun hal itu harus dituangkan dalam rencana bisnis. Namun Alex sendiri tidak mau berkomentar apakah pihaknya sudah membicarakan dugaan markup dengan ECA.
Anton Aprianto
Jum'at, 28 Juli 2006 | 04:05 WIB
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2006/07/28/brk,20060728-80779,id.html
TEMPO Interaktif, Jakarta: Komisi BUMN DPR minta agar PT Garuda Indonesia tidak membayar seluruh utang kepada European Export Credit Agency (ECA) sebesar US$ 501,6 juta. Komisi ini menemukan bukti utang senilai US$ 300 juta dari total utang sisa pembelian enam pesawat A330 tidak layak dibayar.
"Namun ini harus dibuktikan secara hukum dan biarkan pemerintah yang bekerja," kata Ketua Komisi BUMN Didik J. Rachbini kepada Tempo kemarin.
Menurut Direktur Keuangan Garuda indonesia, Alex M.T Maneklaran, Garuda akan tetap mengajukan opsi berbagi beban dengan ECA. Opsi itu paling memungkinkan dengan kondisi perusahaan saat ini. "Ini sesuai dengan rencana busnis Garuda ke depan dan langkah efisiensi," katanya.
Pertemuan di London pekan lalu dengan ECA, kata Alex, akan disikapi serius oleh Garuda untuk membuat bussines plan yang ramping dan meyakinkan kerditor tentang upaya restrukturisasi utang yang didukung perbaikan kinerja perusahaan.
ECA sendiri, lanjut Alex sudah membuka pintu negoisasi tentang ketidakmampuan Garuda membayar hutang secara penuh. Namun hal itu harus dituangkan dalam rencana bisnis. Namun Alex sendiri tidak mau berkomentar apakah pihaknya sudah membicarakan dugaan markup dengan ECA.
Anton Aprianto
Thursday, July 27, 2006
Warisan Habibie Beban Garuda
Laporan Utama, Gatra Nomor 37 Beredar Kamis, 27 Juli 2006
http://www.gatra.com/2006-07-27/artikel.php?id=96559
Tim Habibie disebut merekomendasikan konsorsium bank yang menalangi pembelian Airbus A330-300 Garuda. Pengadaan A330-300 itu memang disinyalir berbau mark-up. Nilai pembeliannya digelembungkan.
Untuk mengurai kasus ini, Direktur Utama (Dirut) Garuda Emir Satar membentuk "Tim Pencari Fakta" yang beranggotakan enam orang, dari bagian keuangan dan satuan pengawas internal. Mereka diharapkan merampungkan misinya, 23 Agustus nanti. Tugasnya, antara lain, memeriksa dokumen terkait proses pengadaan A330 -300 tadi. Mereka juga meminta klarifikasi dari para direksi dan pejabat di bawahnya ketika pembelian terjadi.
Salah satu yang ditemuinya adalah Moehamad Soeparno, 68 tahun, Direktur Utama (Dirut) Garuda 1988-1992. "Mohon maaf jika suatu saat Bapak terbawa-bawa," kata Emir kepada Soeparno.
Sumber Gatra, sebut saja Joko Flight, mantan petinggi Garuda, menyatakan bahwa ide pembelian Airbus A330-300 juga bukan murni dari Garuda. Pilihan atas Airbus itu, kata Joko, terkait dengan antusiasnya B.J. Habibie sebagai pimpinan di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), kini bersulih nama menjadi PT Dirgantara Indonesia, untuk mengembangkan kapasitas pabrik pesawatnya.
Jalinan kerja sama dengan Airbus terus ditingkatkan. Apalagi, Habibie kenal dekat dengan pabrik pesawat milik konsorsium negara Eropa (Jerman, Prancis, Inggris, dan Spanyol) itu. Ia pernah menjadi direktur di sana. "Tapi sebenarnya niat Pak Habibie baik, untuk kepentingan IPTN yang juga kepentingan bangsa," kata Joko. Dari sekian pilihan, Habibie menyarankan Airbus.
Di satu sisi, tidak ada salahnya membeli pesawat itu karena kualitasnya bagus. Di sisi lain, ke depan, kerja sama IPTN dengan Airbus bisa tambah mulus. "Namun niat baik Pak Habibie itu diboncengi kepentingan lain yang ingin meraup keuntungan," ujar Joko. Walhasil, harganya di-mark-up. Garuda pun kelimpungan harus mencicil utangnya, bahkan sampai sekarang.
Jika mengacu pada rekomendasi Tim PKLN, model yang dipilih mestinya operating lease alias menyewa. Tapi yang diambil Garuda, GIE Sulawesi, dan Airbus ialah finance lease atau sewa beli. Artinya, ada utang untuk pembeliannya. Di sinilah, berdasarkan temuan ICW, siasat itu dilakukan.
Dalam perjanjian itu, finance leasing direkayasa seolah-olah berupa operating lease, yakni pada pemberian judul-judul kontrak dan surat-menyurat. Sedangkan di pasal-pasal kontrak secara substansial adalah finance lease. Skema rekayasa ini tetap dibiayai dengan kredit ekspor dan konsorsium bank. Ini menunjukkan bahwa permintaan Tim PKLN agar pengadaan pesawat tidak dengan cara berutang tetap saja diabaikan.
Aries menyatakan, kasus Airbus A330-300 harus dibuka agar pemerintah terbuka matanya. Beban utang yang sekarang ada kaitannya dengan persoalan di masa lalu. "Jangan sampai yang menghajar Garuda sekarang justru orang yang membuat Garuda repot," katanya.
Pembukaan kasus ini juga akan memperjelas bahwa mahalnya harga pesawat itu dinikmati pihak-pihak tertentu atau dinikmati BUMN lain dengan cara memakai duit Garuda. "Kalau benar untuk membantu BUMN lain, mbok ya sekarang Garuda gantian dibantu," ujarnya. Membantu IPTN? "Saya tak bisa menyebut karena masih dalam penelitian."
Kasus ini sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Irwan Andri Atmanto, Rohmat Haryadi, dan Hatim Ilwan
[Laporan Utama, Gatra Nomor 37 Beredar Kamis, 27 Juli 2006]
http://www.gatra.com/2006-07-27/artikel.php?id=96559
Tim Habibie disebut merekomendasikan konsorsium bank yang menalangi pembelian Airbus A330-300 Garuda. Pengadaan A330-300 itu memang disinyalir berbau mark-up. Nilai pembeliannya digelembungkan.
Untuk mengurai kasus ini, Direktur Utama (Dirut) Garuda Emir Satar membentuk "Tim Pencari Fakta" yang beranggotakan enam orang, dari bagian keuangan dan satuan pengawas internal. Mereka diharapkan merampungkan misinya, 23 Agustus nanti. Tugasnya, antara lain, memeriksa dokumen terkait proses pengadaan A330 -300 tadi. Mereka juga meminta klarifikasi dari para direksi dan pejabat di bawahnya ketika pembelian terjadi.
Salah satu yang ditemuinya adalah Moehamad Soeparno, 68 tahun, Direktur Utama (Dirut) Garuda 1988-1992. "Mohon maaf jika suatu saat Bapak terbawa-bawa," kata Emir kepada Soeparno.
Sumber Gatra, sebut saja Joko Flight, mantan petinggi Garuda, menyatakan bahwa ide pembelian Airbus A330-300 juga bukan murni dari Garuda. Pilihan atas Airbus itu, kata Joko, terkait dengan antusiasnya B.J. Habibie sebagai pimpinan di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), kini bersulih nama menjadi PT Dirgantara Indonesia, untuk mengembangkan kapasitas pabrik pesawatnya.
Jalinan kerja sama dengan Airbus terus ditingkatkan. Apalagi, Habibie kenal dekat dengan pabrik pesawat milik konsorsium negara Eropa (Jerman, Prancis, Inggris, dan Spanyol) itu. Ia pernah menjadi direktur di sana. "Tapi sebenarnya niat Pak Habibie baik, untuk kepentingan IPTN yang juga kepentingan bangsa," kata Joko. Dari sekian pilihan, Habibie menyarankan Airbus.
Di satu sisi, tidak ada salahnya membeli pesawat itu karena kualitasnya bagus. Di sisi lain, ke depan, kerja sama IPTN dengan Airbus bisa tambah mulus. "Namun niat baik Pak Habibie itu diboncengi kepentingan lain yang ingin meraup keuntungan," ujar Joko. Walhasil, harganya di-mark-up. Garuda pun kelimpungan harus mencicil utangnya, bahkan sampai sekarang.
Jika mengacu pada rekomendasi Tim PKLN, model yang dipilih mestinya operating lease alias menyewa. Tapi yang diambil Garuda, GIE Sulawesi, dan Airbus ialah finance lease atau sewa beli. Artinya, ada utang untuk pembeliannya. Di sinilah, berdasarkan temuan ICW, siasat itu dilakukan.
Dalam perjanjian itu, finance leasing direkayasa seolah-olah berupa operating lease, yakni pada pemberian judul-judul kontrak dan surat-menyurat. Sedangkan di pasal-pasal kontrak secara substansial adalah finance lease. Skema rekayasa ini tetap dibiayai dengan kredit ekspor dan konsorsium bank. Ini menunjukkan bahwa permintaan Tim PKLN agar pengadaan pesawat tidak dengan cara berutang tetap saja diabaikan.
Aries menyatakan, kasus Airbus A330-300 harus dibuka agar pemerintah terbuka matanya. Beban utang yang sekarang ada kaitannya dengan persoalan di masa lalu. "Jangan sampai yang menghajar Garuda sekarang justru orang yang membuat Garuda repot," katanya.
Pembukaan kasus ini juga akan memperjelas bahwa mahalnya harga pesawat itu dinikmati pihak-pihak tertentu atau dinikmati BUMN lain dengan cara memakai duit Garuda. "Kalau benar untuk membantu BUMN lain, mbok ya sekarang Garuda gantian dibantu," ujarnya. Membantu IPTN? "Saya tak bisa menyebut karena masih dalam penelitian."
Kasus ini sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Irwan Andri Atmanto, Rohmat Haryadi, dan Hatim Ilwan
[Laporan Utama, Gatra Nomor 37 Beredar Kamis, 27 Juli 2006]
Monday, July 17, 2006
Ada Mark Up di Sayap Garuda
Monday, July 17, 2006
Ada Mark Up di Sayap Garuda
Boleh jadi, para pejabat dan mantan pejabat di PT Garuda Indonesia serta oknum-oknum lain yang terkait, kini sedang ketar-ketir. Setelah Komite Audit di BUMN bidang jasa angkutan udara tersebut menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses pembelian enam pesawat Airbus 330, giliran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini turun tangan untuk melakukan investigasi menyeluruh. Bukan hanya untuk kasus A330, tetapi kasus-kasus lain yang berpotensi merugikan keuangan negara tak luput dari bidikan KPK. Sedikitnya, terdapat 11 kasus di PT Garuda yang diduga kuat merugikan keuangan negara. Adanya investigasi KPK ini sesuai dengan Surat Laporan Board of Management kepada Ketua KPK No.Garuda/DF-2065/05, tanggal 22 September 2005.
Khusus kasus A330, ada indikasi terjadinya penggelembungan atau mark up harga enam pesawat itu ketika dibeli dari Airbus Industries di Inggris. Indikasi mark up tersebut dapat dilihat dengan membandingkan pembelian jenis pesawat yang sama oleh negara lain. Garuda membeli pesawat itu senilai US$ 200 juta per unit, tapi setelah itu beberapa negara hanya membeli US$ 60 juta per unit. Konon, indikasi itu dapat digunakan tim perunding restrukturisasi utang Garuda sebagai bahan tawar-menawar dengan salah satu kreditur Garuda yaitu European Credit Agencies (ECAs). Ini mungkin saja terjadi karena ECAs pernah memberikan fasilitas kredit pembelian pesawat itu kepada Garuda. Apalagi Menteri Perhubungan Hatta Radjasa juga sempat menyatakan, salah satu proses penyelesaian utang yang layak ditempuh adalah konversi sebagian utang Garuda menjadi penyertaan saham ECAs di Garuda. Harapannya, saham itu bisa dibeli lagi oleh Garuda jika kondisi perusahaan itu telah membaik. Sedangkan upaya lain yang bisa ditempuh adalah haircut mengingat jumlah piutang yang layak dibayar oleh Garuda (sustainable debt) sekitar US$ 270 juta atau setara Rp 2,4 triliun. Sedangkan jumlah utang BUMN ini sebesar US$ 794,6 juta. Dari jumlah utang itu, US$ 500 juta adalah utang kepada ECAs.
Lika-liku persoalan ini, diawali pada akhir 1996 silam, Dirut PT Garuda waktu itu Soeparno menandatangani perjanjian pembelian beberapa pesawat dengan pabrikan Airbus Industries untuk jenis pasawat A330-300. Karena tak sanggup menyediakan uang tunai untuk pembayaran pesawat itu, selain setahun kemudian muncul peraturan bahwa sebagai BUMN tidak boleh melakukan pinjaman uang (loan), Garuda mencari-cari penyandang dana yang sanggup menalangi pembayaran tersebut. Akhirnya datang konsorsium bank di bawah pimpinan Morgan Grenfell yang bersedia mengambil alih pembelian dengan melakukan novasi pembelian untuk enam pesawat A330 tersebut.
Morgan Grenfell tak sendirian karena dalam konsorsium yang dipimpinnya tergabung beberapa lembaga keuangan yang turut menyalurkan kredit ekspor dan kredit komersial, antara lain Hermes, Cofas, Credit Lyonais dan Bank Paribas. Bantuan yang diberikan tersebut tentu tidak cuma-cuma. Sebab, Morgan tidak membutuhkan pesawat-pesawat tersebut sehingga Garuda diwajibkan mengembalikan uang Morgan yang dipinjamnya dengan membeli kembali pesawat-pesawat tersebut secara cicilan, lengkap dengan bunga pinjaman sebagaimana lazimnya pinjam meminjam uang di bank.
Karena terhalang oleh peraturan pemerintah yang tidak memungkinkan Garuda untuk melakukan kontrak pembelian pesawat dengan cara cicilan, lagi-lagi BUMN ini harus mencari akal agar dapat memiliki pesawat-pesawat tersebut tanpa memerlukan izin pemerintah. Akhirnya, diputuskan bahwa pesawat-pesawat tersebut secara formal di atas kertas akan disewa oleh Garuda. Namun karena Morgan Grenfell adalah konsorsium bank, aneh bila menyewakan pesawat kepada Garuda. Maka, didirikanlah sebuah perusahaan di atas kertas (special purpose company) oleh Morgan Grenfell, yang diberi nama GIE Sulawesi dan secara administrasi dikelola oleh Bank Paribas. Lagi-lagi Garuda bingung karena pesawat tersebut pada dasarnya harus lepas dari Morgan Grenfell, sedangkan hanya dengan menyewa pesawat saja, secara formal status pesawat akan tetap menjadi milik Morgan Grenfell yang diwakili oleh GIE Sulawesi. Akhirnya diputuskan, sewa pesawat tersebut bersifat sewa beli (financial lease) untuk jangka waktu 12 tahun. Ini berarti, Garuda harus membayar harga sewa dua kali lebih mahal dari harga sewa pesawat untuk dioperasikan, karena bagi Morgan pada tahun ke-12, pesawat-pesawat tersebut berpindah tangan ke Garuda yang berarti penghapusan aset Morgan dalam pembukuannya.
Untuk melakukan financial lease, Garuda pun harus mendapatkan izin dari pemerintah. Oknum-oknum di Garuda termasuk di bagian pengadaaan pesawat, unit keuangan dan biro hukum, lagi-lagi harus memutar otak agar transaksi ini terlihat samar. Sadar bahwa transaksi ini melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah, oknum-oknum Garuda itu menciptakan cosmetic lease yaitu transaksi financial lease yang disamarkan dalam bentuk perjanjian sewa biasa (operating lease). Sepintas isi perjanjian itu seperti sewa operasi, tetapi bila ditelusuri banyak dokumen-dokumen lain yang dibuat bersamaan dengan perjanjian sewanya, akan tampak bahwa transaksi tersebut sebetulnya merupakan transaksi pembelian yang tertunda. Financial lease ini berakibat Garuda tak bisa meremajakan pesawat karena harus membeli pesawat rongsokan yang habis masa sewanya sesuai dengan harga pasar.
Karena pembayaran sewa untuk enam pesawat tersebut terlalu mahal sehingga memberatkan, Garuda akhirnya menerima tawaran dari institusi keuangan Jepang yang tergabung dalam grup Yamasa untuk meringankan beban pembayaran sebagian pesawat tersebut selama enam tahun. Caranya, Yamasa mengambil alih sewa beli tiga pesawat yang secara formal menjadi milik GIE Sulawesi selama jangka waktu enam tahun dengan modal dengkul, karena Yamasa tidak perlu mengeluarkan uang untuk itu. Yang dilakukan tak lain menggadaikan tiga pesawat tersebut kepada Sanwa Bank. Dengan modal gadai pesawat tersebut, Yamasa mendapatkan kucuran dana dari Sanwa.
Untuk mengembalikan uang Sanwa Bank yang didapat dari hasil menggadaikan pesawat milik GIE Sulawesi selama enam tahun, Yamasa mengambil alih hak Garuda atas keuntungan yang diperoleh Garuda dari peraturan-peraturan pajak (tax benefit) di negara manapun sehubungan dengan transaksi A330 ini berdasarkan sistem Japan Leverage Lease (JLL) yang saat itu masih diberlakukan. Sistem JLL ini hanya dapat dilakukan apabila Garuda melakukan perjanjian sewa pesawat dengan perusahaan Jepang. Namun karena bukan perusahaan penyewaan pesawat, Yamasa mendirikan perusahaan di atas kertas yang diberi nama GIE Sumatera. Maka tiga dari enam pesawat A330-300 itu disewa oleh Garuda dari GIE Sumatera.
Keuntungan yang diperoleh Garuda adalah selama enam tahun bunga yang dibayar Garuda untuk sewa tiga pesawat sedikit lebih ringan daripada bunga yang dikenakan untuk tiga pesawat lainnya yang disewa dari GIE Sulawesi. Kerugiannya, selama enam tahun itu pula Garuda akan dikenai penalti atau denda yang sangat besar apabila terlambat membayar atau membatalkan isi perjanjian tiga pesawat yang disewa berasarkan JLL tersebut. Padahal pendapatan yang diperoleh Garuda dari pengoperasian enam pesawat A330 itu rata-rata hanya 30%-40%. Sedangkan untuk dapat membayar biaya sewa dan biaya operasional lain termasuk biaya perawatan, bahan bakar dan lain-lain, diperlukan target 200% dari full capacity. Dengan kata lain, keberadaan pesawat-pesawat A330 itu bukannya mendatangkan keuntungan, namun malah sangat memberatkan dan merepotkan. Risiko lain yang juga harus ditanggung apabila benar-benar tidak mampu membayar harga sewa, Garuda tidak mungkin berpaling kepada pemerintah untuk meminta jaminan (government guarentee) yang seharusnya dimintakan pada awal-awal transaksi.
Sekretaris Jenderal Serikat Karyawan Garuda (Sekjen Sekarga), Ahmad Irfan pun menegaskan, direksi Garuda memang melaporkan pembelian pesawat itu sebagai pesawat sewa kepada pemerintah sehingga ada pengeluaran biaya lebih. “Akibat pembelian itu, saat ini Garuda masih menyisakan utang senilai US$ 600 juta atau sekitar Rp 5,4 triliun. Dari sinilah awal mula mengapa Garuda merugi terus,” katanya saat ditemui Investigasi.
Sedangkan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar enggan berkomentar soal indikasi mark up pengadaan A330 itu. Yang jelas, kata Emir, tim perundingan utang Garuda yang dibentuk pemerintah akan segera menggelar pertemuan dengan ECAs. Rencananya, perwakilan ECAs akan datang ke Jakarta dalam pekan-pekan ini. Perundingan ini sebagai tindak lanjut pertemuan antara Garuda dan ECAs beberapa waktu lalu. Tim tersebut gabungan lintas instansi yang melibatkan Kementerian Negara BUMN, Departemen Keuangan dan Departemen Perhubungan. “Kami ikut dalam tim tersebut,” ujarnya ketika dihubungi via ponselnya.
Konon, indikasi mark up itu dapat digunakan tim perunding restrukturisasi utang Garuda sebagai bahan tawar-menawar dengan salah satu kreditur Garuda yaitu European Credit Agencies (ECAs). Ini mungkin saja terjadi karena ECAs pernah memberikan fasilitas kredit pembelian pesawat itu kepada Garuda. Apalagi Menteri Perhubungan Hatta Radjasa juga sempat menyatakan, salah satu proses penyelesaian utang yang layak ditempuh adalah konversi sebagian utang Garuda menjadi penyertaan saham ECAs di Garuda. Harapannya, saham itu bisa dibeli lagi oleh Garuda jika kondisi perusahaan itu telah membaik. Sedangkan upaya lain yang bisa ditempuh adalah haircut mengingat jumlah piutang yang layak dibayar oleh Garuda (sustainable debt) sekitar US$ 270 juta atau setara Rp 2,4 triliun.
Menilik laporan auditor independent Hans Tuanakotta Mustofa & Halim (2002-2003) yang ditandatangani oleh Osman Sitorus tanggal 20 Juli 2004, restrukturisasi pinjaman perusahaan yang juga mencakup penjadwalan ulang pembayaran sewa enam pesawat A330 kepada kreditur yang tergabung dalam ECAs dan bank komersial lain, Garuda juga menerbitkan wesel bayar bunga mengambang (FRN) dalam US dolar dan rupiah. Dalam penerbitan FRN ini, The Chase Manhattan Bank, London Branch bertindak sebagai Trustee. FRN tersebut jatuh tempo pada 2007 dengan tingkat bunga mengambang berdasarkan libor tiga bulanan +0,5% per tahun untuk FRN dalam US dolar dan berdasarkan tingkat bunga rata-rata deposito tiga bulanan BNI, BRI dan Bank Mandiri ditambah 1,5% untuk FRN dalam rupiah.
Garuda juga telah memperoleh persetujuan perpanjangan jangka waktu pembayaran kembali pinjaman kepada BNI sampai tahun 2007 dengan tingkat bunga berdasarkan tingkat bunga deposito rupiah tiga bulanan BNI, BRI dan Bank Mandiri ditambah marjin 1,5% dan dari Bank Mandiri sampai dengan 2007 dengan tingkat bunga berdasarkan rata-rata tingkat bunga deposito rupiah tiga bulanan (mana yang lebih tinggi) Bank Mandiri, BII dan Bank Danamon ditambah marjin 1,5%.
Mengacu perjanjian sewa guna usaha (operating lease) dalam pengadaan enam pesawat A330 (ECAs) yang jatuh tempo pada 2010, untuk menjamin pembayaran sewa guna usaha itu, Bank Mandiri menyediakan fasilitas kredit tambahan berupa fasilitas Standby Letter of Credit (SBLC) dengan jumlah maksimum US$ 100 juta. Penerima SBLC ini adalah GIE Sulawesi dan GIE Sumatera dengan klausul keduanya dapat mengalihkan hak atas SBLC tersebut kepada ECAs. Tingkat bunga per tahun sebesar 2,5% di atas biaya bank. Jangka waktu 12 bulan terhitung mulai tanggal penerbitan. Biaya provisi 2,5% per tahun dari outstanding SBLC. Fasilitas ini dijamin oleh Surat Kuasa Memasang Hipotek atas lima buah pesawat DC-10. Perusahaan diwajibkan untuk memenuhi pembatasan-pembatasan tertentu yang disyaratkan dalam perjanjian sewa guna usaha itu.
Sengkarut persoalan di PT Garuda bukan hanya itu. Kasus menonjol lain adalah penjualan kargo yang melibatkan anak perusahaan PT Garuda yaitu PT Sungai Gemuruh (SGR Air Cargo). Dalam kasus ini, seorang pejabat PT Garuda di bidang kargo berinisial SP (salah seorang Vice President di Garuda), diduga telah melakukan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) sehingga merugikan perusahaan BUMN tersebut sedikitnya US$ 1,4 juta atau sekitar Rp 14 miliar. Sebenarnya, praktik KKN itu telah berlangsung lama, namun baru terbongkar pada medio 2005 lalu.
Pejabat berinisial SP bersama teman-temannya itu disebut-sebut memiliki andil penting dalam kasus yang merugikan Garuda tersebut. Pejabat itu juga disebut-sebut backing orang penting, sehingga tidak tersentuh. Bahkan, setelah sempat dicopot dari jabatannya, pejabat itu dikembalikan lagi ke posisi jabatan semula. Para direksi di Garuda juga tidak berani melakukan tindakan terhadap SPL karena dikenal sangat dekat dengan tim sukses Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Pejabat tersebut padahal jelas telah merugikan Garuda Indonesia,” kata seorang pejabat di Garuda.
Modus yang dipakai dalam praktik KKN ini adalah kerja sama dengan sebuah perusahaan jasa angkutan kargo PT Sungai Gemuruh pada 2003 lalu. Perusahaan kargo ini sebetulnya perusahaan ecek-ecek, tapi karena ada rekayasa dan kerja sama dengan orang dalam Garuda, perusahaan yang dipimpin pengusaha bernama Daud dan Dipa cs tersebut bisa melakukan banyak manuver. Tarif kargo yang diberlakukan sangat murah dibanding dengan perusahaan kargo lain. Dari biaya angkutan kargo (airway bill) tersebut, seharusnya agen hanya mendapat insentif sebesar 5%. Tapi uang yang harusnya disetorkan ke Garuda ternyata ditahan oleh pihak agen PT Sungai Gemuruh. Karena waktunya sudah cukup lama, total yang harus dibayarkan ke Garuda pun mencapai US$ 1,4 juta.
Dalam kasus kargo ini juga terjadi permainan dalam kerjasama General Sales Agent (GSA), Garuda Satria Utama di Taiwan. Selain tata cara pemberian komisinya sebagai agen tidak sesuai dengan ketentuan asosiasi penerbangan internasional (IATA) yang berlaku, Garuda juga diwajibkan menyewa kantor berikut segala fasilitasnya kepada perusahaan tersebut seharga US$ 6.000 per bulan. Ironisnya lagi kerjasama-kerjasama dengan GSA semacam itu bersifat tak terbatas jangka waktunya karena tanggal berakhirnya perjanjian tidak ditentukan secara pasti. Untuk urusan GSA ini cukup banyak tangan-tangan sakti yang turut campur, termasuk tangan-tangan Cendana misalnya untuk kerjasama GSA Kibeka di Jepang dan GSA Sandon di RRC. Kondisi ini sempat diperbaiki di era Supandi.
Sementara itu berdasarkan laporan auditor independent Hans Tuanakotta Mustofa & Halim (2002-2003) yang ditandatangani oleh Osman Sitorus pada 20 Juli 2004, piutang usaha khusus jasa penerbangan pada poin agen kargo berjumlah Rp 70.446.018.417 pada 2003 dan Rp 54.020.161.765 untuk 2002. “Manajemen sudah menindaklanjuti kasus kargo itu. Sejumlah karyawan di bagian kargo sudah diperiksa. Mereka yang terlibat pasti ditindak,” kata Kepala Komunikasi Perusahaan PT Garuda Indonesia, Pujobroto.
Selain pengadaan A330 dan penjualan kargo, kasus dana Yayasan Kesejahteraan Pegawai (YKP) sebesar Rp 28 miliar yang diinvestasikan di anak perusahaan PT Texmaco Group tepatnya di PT Eficorp Securitas juga mencuat. Dana yang diambil di antaranya dari potongan gaji pegawai sebesar 2,5% tersebut, sejak 2005 lalu macet alias tidak pernah sampai kepada karyawan. Sekarga menilai bahwa kasus ini diwarnai muatan politis. Banyak pihak yang bermain, baik dari kalangan legislatif, eksekutif maupun intermediasi.
Berawal ketika YKP yang berdiri sejak 22 Oktober 1999 ditujukan untuk menjamin kebutuhan para karyawan Garuda. YKP yang memiliki kekayaan awal sebesar Rp 10 milyar, diperkenankan untuk melakukan investasi, salah satunya berupa reksadana bernama Dana Unggul Investasi Tepercaya (DUIT) dengan manajer investasi PT Eficorp Securitas. Investasi awal YKP di reksadana itu dilakukan pada 24 Oktober 2003 di Eficorp sebesar Rp 1.009.972.500 dan dalam sembilan bulan sejak tanggal kerjasama, telah dilakukan 17 kali penempatan dana. Sehingga, total dana YKP yang tertanam di reksadana DUIT hingga 31 Juli 2004 sebesar Rp 36.694.932.493.
Pada 16 Agustus 2004 YKP melakukan redemptiont sebesar Rp 10 milyar. Lalu pada 16 September 2004, YKP berusaha melakukan redemptiont kedua senilai Rp 16 milyar. Tetapi proses ini dibatalkan setelah YKP bertemu dengan pihak Eficorp, yang antara lain menjanjikan growth minimal 1% per bulan. Dengan penundaan redemptiont tersebut, saldo YKP per 24 Januari 2005 menjadi Rp 28.270.901.882, di mana waktu itu telah dilakukan redemptiont ketiga terhadap semua saldo investasi tetapi gagal bayar oleh Eficorp. Sebelumnya pada 17 Januari 2005 terjadi pertemuan antara pihak YKP dengan Eficorp, di mana Marimutu Sinivasan juga hadir sebagai salah seorang pemegang saham di Eficorp. Pada saat itu, Marimutu meminta penundaan pencairan redemptiont, tetapi tidak menjanjikan kapan realisasi redemptiont tersebut dilakukan. Hingga akhirnya Marimutu kabur dan menjadi daftar pencarian orang (DPO) oleh Mabes Polri berkait dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sehingga, redemptiont dikhawatirkan tidak terjadi.
“Kalau manajemen berpikir jernih, seharusnya sadar kondisi Texmaco Group itu seperti apa. Marimutu Sinivasan sendiri sekarang dalam DPO. Kami khawatir, reksadana yang masih Rp 28 milyar lebih, di Eficorp macet mengingat sampai saat ini belum ada kepastian. Ini harus diungkap KPK juga,” kata Sekjen Sekarga, Tommy Tampaty.
Sementara itu dilihat dari laporan auditor independent Hans Tuanakotta Mustofa & Halim (2002-2003) yang ditandatangani oleh Osman Sitorus pada 20 Juli 2004, PT Garuda dan salah satu anak perusahaannya yaitu Garuda Maintenance Fasility Aero Asia (GMFAA) menyelenggarakan program pemeliharaan kesehatan pensiunan bagi karyawan aktif dan karyawan yang pensiun sejak 2001. Program ini juga mencakup keluarga pensiunan yang memenuhi syarat. Program ini didanai melalui kontribusi Garuda dan GMFAA sebesar 4% dan iuran karyawan 2% dari gaji dasar karyawan tersebut dan dikelola oleh YKP. Berdasarkan hasil penelaahan kembali terhadap program tersebut, rapat direksi pada 22 Juni 2004 memutuskan untuk mengalihkan pengelolaan program ini melalui mekanisme asuransi serta kewajiban perusahaan dan GMFAA berdasarkan kontribusi yang diberikan. Perusahaan dan GMFAA mencatat kontribusi itu sebagai beban sebesar Rp 17.180.101.694 pada 2003 dan Rp 12.467.297.776 pada 2002.
Hingga saat ini, sudah tiga bulan lebih KPK menjalankan tugasnya ikut memeriksa aspek keuangan PT Garuda Indonesia, dan tidak lama lagi hasilnya bakal diketahui publik. Tinggal menunggu siapa yang bakal dicokok, diadili lalu dijebloskan ke penjara untuk menanggung akibat atas perbuatan jahatnya itu. Tetapi seriuskah KPK menjalankan tugasnya seperti Mabes Polri yang mulai galak misalnya dalam kasus korupsi yang melibatkan Dirut Jamsostek, Dirut PLN dan Dirut Pupuk Kaltim? “Kami masih menyelidiki dan investigasi sedang berlangsung. Tunggu saja hasilnya,” kata Iswan, Ketua Penyidik KPK ketika Investigasi menanyakan perkembangan pemeriksaan yang telah dilakukan.
Iswan mengungkapkan bahwa manajemen Garuda telah mengundang KPK untuk ikut memeriksa maskapai penerbangan ini, terutama dalam aspek keuangan itu (Surat Laporan Board of Management kepada Ketua KPK No.Garuda/DF-2065/05, tanggal 22 September 2005). Apalagi, BUMN yang semestinya mampu menyumbang pendapatan bagi negara ini, justru merugi terus akibat ulah oknum-oknum tamak. Dalam hal ini, sebenarnya KPK telah mendapatkan hasil pemeriksaan dari Komite Audit Garuda. “Mereka melibatkan KPK dalam pemeriksaan ini karena ingin menunjukkan keseriusan dalam membenahi PT Garuda,” ujarnya.
dion bambang arinto
http://senyumcalm.blog.com/891010/
Siap Pertaruhkan Nyawa
Kasus dugaan korupsi di PT Garuda Indonesia, kini tengah diinvestigasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada Desember 2005 lalu, data-data pendukung sudah masuk ke KPK. Namun, hingga kini, hasil investigasi tersebut belum final. Pada 24 Mei 2006 lalu, Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) pun mendatangi KPK untuk beraudiensi yang intinya memberikan dukungan dan desakan kepada salah satu lembaga yang kini menjadi momok bagi pelaku tindakan korupsi di negeri ini, agar benar-benar serius menangani kasus ini. Apa saja yang disampaikan dan bagaimana sikap Sekarga, berikut petikan wawancara Investigasi dengan Ketua Bidang Humas Sekarga yang juga Senior Financial Report Officer PT Garuda Indonesia, Tomy Tampatty.
Apa inti audiensi dengan KPK itu?
Pada 24 Mei lalu, Sekarga minta audiensi dengan Ketua KPK Taufiqurahman Ruki sebagai decision maker. Semula dijadwalkan jam 11.00, tapi diundur sampai jam 16.00. Yang menemui Direktur Penyidik KPK, Iswan. Intinya, kami menyampaikan dukungan terhadap investigasi yang sedang dilakukan KPK. Mereka sudah tiga bulan menginvestigasi Garuda.
Respon KPK?
Kami minta, investigasi itu dilakukan sungguh-sungguh dan mereka siap. Siapapun yang terlibat harus diproses secara hukum. Apalagi sudah muncul angka penjualan kargo domestik, misalnya, sebesar US$ 1,4 juta, lalu kasus Yayasan Kesejahteraan Pegawai (YKP) Rp 28 milyar lebih. Memang potensi-potensi kerugian negara cukup banyak, tapi kami belum bisa sampaikan sekarang karena menghormati kerja investigasi KPK. Kita berjanji kalau itu selesai, angka potensi kerugian negara sudah ada, kita akan ekspos ke publik. Ini perlu untuk menjawab pertanyaan publik, mengapa Garuda merugi terus padahal infrastruktur dan pengalaman sudah ada. Ini sekaligus menunjukkan dukungan kami terhadap komitmen pemerintah yang akan melakukan sapu bersih terhadap endemik korupsi di republik ini.
Proses investigasi ditargetkan sampai kapan?
Kami sudah menanyakan kepada KPK, tetapi Direktur Penyidik KPK belum memberikan deadline pasti karena investigasi butuh waktu. Tetapi yang jelas mereka berjanji serius menangani kasus Garuda dan membongkar semua penyimpangan-penyimpangan yang ada di BUMN ini.
Dalam kasus YKP sebenarnya modusnya seperti apa?
Itu kan dana kesejahteraan karyawan, dipotong dari gaji-gaji karyawan sebesar 2,5%. Memang, kewenangan diberikan kepada yayasan untuk mengelola dana tersebut. Yang terjadi di YKP, salah melakukan investasi. Mereka melakukan investasi berupa reksa dana senilai Rp 28 milyar lebih di anak perusahan Texmaco. Padahal hampir semua orang di republik ini tahu Texmaco, termasuk pemiliknya Marimutu Sinivasan yang sekarang masuk daftar cekal. Tetapi mengapa manajemen berani melakukan investasi ke sana dan terbukti macet kan. Biar fair, ya kami minta KPK mengusut termasuk kemungkinan terlibatnya orang di luar yayasan. Duitnya kan besar.
Sekarga melihat kasus ini pada saat rezim siapa?
Kayaknya jauh sebelum SBY. Jelas bukan SBY.
BUMN dikenal sebagai sapi perahan. Dalam kasus YKP, Texmaco (Eficorp Securitas) kan berperan dalam pengadaan pesawat untuk Garuda. Apakah ada kaitannya dengan Meneg BUMN saat itu?
Kita tidak melihat ke arah itu dulu. Katakanlah itu terbukti, kita serahkan kepada KPK. Bagi Sekarga dan seluruh karyawan, semua harus diungkap termasuk modusnya seperti apa. Sebab, Sekarga bersama forum dan ikatan profesi yang ada sepakat untuk memulai yang benar dalam mengelola Garuda sebagai aset bangsa yang harus dijaga. Sehingga tidak ada kompromi, lakukan sapu bersih terhadap praktik-praktik yang merugikan Garuda. Kami juga minta KPK untuk menginvestigasi kebijakan-kebijakan yang akhirnya merugikan perusahaan. Amin Rais pernah bilang korupsi di negara ini sangat sistematis dan berjamaah. Ketika rapat dengan jajaran direksi, kami menyampaikan kepada pak Emirsyah Satar, perihal komitmen pemberantasan korupsi. Secara politis kita nyatakan kita sudah siapkan tambang bagi siapapun yang terlibat untuk digantung di Monas. Tapi bukan itu tujuannya. Maksudnya, siapapun yang terlibat harus menikmati fasilitas di hotel prodeo. Tidak ada kompromi. Ini milik publik dan kita di sini punya responsibility. Apalagi potensi kerugiannya banyak. Misalnya pengelolaan penjualan tiket domestik yang juga kita pertanyakan dan KPK sedang menginvestigasinya. Tapi maaf angkanya belum bisa kita sebut karena belum selesai. Yang pasti, Sekarga pertaruhkan nyawa untuk melawan kelompok-kelompok yang merusak ini.
Mengenai penjualan kargo senilai US$ 1,4 juta?
Kasus ini terungkap pertengahan 2005 antara Mei-Juni. Kasus kargo ini, sama seperti penumpang, kita punya agen-agen dalam hal ini Sungai Gemuruh Agen. Setelah diselidiki, ternyata kita dalam posisi dirugikan. Sepertinya ada kerjasama pada intermediasi ini. Kita minta ini diinvestigasi termasuk regulasi-regulasi dalam kaitannya dengan kargo itu. Modusnya, pihak Garuda menyatakan, kalau Sungai Gemuruh Agen mencapai penjualannya sekian, Garuda kasih insentif. Begitu sampai pada hitung-hitungan insentif, dari data yang ada di Garuda, Sungai Gemuruh masuk kategori yang mendapat insentif. Atas dasar itu, keluarlah insentif senilai itu (US$ 1,4 juta). Ini memang angka akumulasi karena sudah terjadi beberapa kali. Ini tidak lain akibat regulasi yang melibatkan pihak tertentu, bahkan pihak tertentu ini berada di balik layar. Jadi susah, agak panjang serta sulit untuk terbongkar. Sehingga kalau korupnya mungkin tidak ada, tetapi ada kolusi yang membuat pihak-pihak tertentu diuntungkan. Mengapa Sekarga semangat minta KPK segera menginvestigasi, kami menyadari, Garuda going down. Bolehlah Meneg BUMN mengatakan jual, partner strategic atau apapun namanya. Tetapi ketika bagian di badan kami diberikan kepada asing, namanya dijual. Terserah terminologi yang dipakai apa, tetapi pertanyaannya, mengapa Garuda rugi terus menerus? Ada apa? Jelas, cost lebih tinggi dari revenue. Lalu kenapa cost lebih tinggi, ini jadi pertanyaan besar. Sekarga komit agar KPK mempercepat pembersihan di Garuda yang sedang default ini. Bukankah kalau sudah bersih pemerintah tenang ketika akan membuka diri bagi para investor dibanding kondisi yang dari tahun ke tahun rugi, rugi, rugi, sekali untung, lalu rugi lagi? Kalau sudah bersih, Garuda kan untung.
Soal pengadaan dua Boeing 737 NG dan enam Airbus 330 (Garuda punya utang US$ 600 juta)?
Sekarga kan sudah minta agar investigasi dilakukan menyeluruh. Termasuk pengadaan pesawat, catering, penjualan aset, maintenance pesawat dan sebagainya. Kita tidak akan menyampaikan lebih jauh soal pengadaan pesawat ini karena sekali lagi sedang diinvestigasi. Nanti kalau sudah final dan angka sudah muncul, kita ekspos ke publik. Bicara soal potensi kerugian negara, kita percayakan kepada KPK. Yang jelas SBY sangat mendukung karena sudah menjadi cerita di publik mengapa Garuda rugi dan rugi terus. Ada apa, ini harus jelas dulu.
Berkait regulasi yang berakibat memunculkan potensi kerugian negara, kan banyak posisi yang saling berkaitan?
Siapa yang membuat regulasi, dialah yang paling bertanggung jawab. Sebab di tingkat pelaksana hanya melaksanakan perintah. Yang jelas, pasti di posisi top management.
Termasuk Dirut Garuda yang juga mantan Direktur Keuangan itu?
Siapapun dia, hukum kalau memang salah. Lihat saja hasil internal audit management Garuda. Ini shock terapy yang tidak sebentar. Next kalau ada yang terbukti, hajar lagi. KPK punya pola dan standar untuk itu. Ambil contoh pada kasus YKP dan kargo sudah jelas kok bukti-buktinya. Apalagi ekspektasi publik terhadap KPK sedang tinggi. Tapi kita juga punya direct link ke TP1 (Mabes Polri). Bukankah mantan Direktur Jamsostek, Direktur Pupuk Kaltim, Direktur PLN juga bisa masuk? Kita juga diback-up eksekutif dan legislatif, karena yang dihadapi kekuatan yang sangat besar. Seluruh kekuatan kita kerahkan. Termasuk legislatif dan eksekutif yang masih merah putih, yang komit terhadap aset bangsa ini. Sebab banyak juga yang sudah abu-abu. Ketua MPR Hidayat Nurwahid juga mendukung.
Mengenai regulasi ini, perbandingan antara yang dulu dengan yang sekarang?
Maret tahun lalu Emirsyah Satar dilantik, dan pada Juli tahun yang sama kami sudah mapping persoalan. Persoalan internal ini berkait dengan regulasi-regulasi sebelumnya, notabene Emirsyah pernah menjadi Direktur Keuangan. Tapi sepertinya mereka banyak pertimbangan. Kamis lalu saat rapat, kita sempat marah, mengapa setelah mapping persoalan yang harusnya kini sampai pada sesi eksekusi, tetapi masih di diskusi? Misalnya soal intermediasi dalam kasus kargo domestik yang melibatkan pihak ketiga, itu kami nilai sangat merugikan Garuda. Ini kebijakan masa lalu, dia-dia juga. Jadi, biar fair kami minta KPK menginvestigasi. Kalau dalam kasus hukum seperti uji materilah, seperti apa hasilnya nanti. Kalau berpotensi merugikan negara, ya biar saja masuk ke hotel prodeo. Memang dilematis, tetapi kita optimis. Nawaitu itu kita benar, pasti nanti lancar. Kami nyatakan siap mempertaruhkan nyawa. Kita tahu, ada banyak yang ngga suka dan bisa bermain apa saja, tapi terserah saja. Yang penting niat kita untuk orang banyak. Kalau Garuda hancur, kan berakibat pada nasib tiga kepala bagi karyawan dan empat kepala kalau publik. Reputasi negara juga bisa hancur dalam kaitannya dengan flight carrier ini. Nah, Sekarga tidak mau tenggelam karena salah dinakhodai. Kalau perlu kaptennya yang kita tenggelamkan. Kita juga malu kok kepada masyarakat, mengapa Garuda rugi terus dan minta bantuan ke mana-mana.
Kesulitan membongkar kasus di Garuda sebenarnya apa sih?
Sama dengan membongkar kasus yang terjadi di republik ini. Kita tahu siapa yang berkuasa di republik ini, demikian juga di Garuda. Menurut analisa kita, semua tidak sendiri tapi kaitannya dengan luar sangat kuat. Orang-orang zaman dulu juga ya. Untuk itu harus ada shock terapy, agar mulai sekarang mereka berhenti berbuat yang tidak benar. dion bambang arinto
Ada Mark Up di Sayap Garuda
Boleh jadi, para pejabat dan mantan pejabat di PT Garuda Indonesia serta oknum-oknum lain yang terkait, kini sedang ketar-ketir. Setelah Komite Audit di BUMN bidang jasa angkutan udara tersebut menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses pembelian enam pesawat Airbus 330, giliran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini turun tangan untuk melakukan investigasi menyeluruh. Bukan hanya untuk kasus A330, tetapi kasus-kasus lain yang berpotensi merugikan keuangan negara tak luput dari bidikan KPK. Sedikitnya, terdapat 11 kasus di PT Garuda yang diduga kuat merugikan keuangan negara. Adanya investigasi KPK ini sesuai dengan Surat Laporan Board of Management kepada Ketua KPK No.Garuda/DF-2065/05, tanggal 22 September 2005.
Khusus kasus A330, ada indikasi terjadinya penggelembungan atau mark up harga enam pesawat itu ketika dibeli dari Airbus Industries di Inggris. Indikasi mark up tersebut dapat dilihat dengan membandingkan pembelian jenis pesawat yang sama oleh negara lain. Garuda membeli pesawat itu senilai US$ 200 juta per unit, tapi setelah itu beberapa negara hanya membeli US$ 60 juta per unit. Konon, indikasi itu dapat digunakan tim perunding restrukturisasi utang Garuda sebagai bahan tawar-menawar dengan salah satu kreditur Garuda yaitu European Credit Agencies (ECAs). Ini mungkin saja terjadi karena ECAs pernah memberikan fasilitas kredit pembelian pesawat itu kepada Garuda. Apalagi Menteri Perhubungan Hatta Radjasa juga sempat menyatakan, salah satu proses penyelesaian utang yang layak ditempuh adalah konversi sebagian utang Garuda menjadi penyertaan saham ECAs di Garuda. Harapannya, saham itu bisa dibeli lagi oleh Garuda jika kondisi perusahaan itu telah membaik. Sedangkan upaya lain yang bisa ditempuh adalah haircut mengingat jumlah piutang yang layak dibayar oleh Garuda (sustainable debt) sekitar US$ 270 juta atau setara Rp 2,4 triliun. Sedangkan jumlah utang BUMN ini sebesar US$ 794,6 juta. Dari jumlah utang itu, US$ 500 juta adalah utang kepada ECAs.
Lika-liku persoalan ini, diawali pada akhir 1996 silam, Dirut PT Garuda waktu itu Soeparno menandatangani perjanjian pembelian beberapa pesawat dengan pabrikan Airbus Industries untuk jenis pasawat A330-300. Karena tak sanggup menyediakan uang tunai untuk pembayaran pesawat itu, selain setahun kemudian muncul peraturan bahwa sebagai BUMN tidak boleh melakukan pinjaman uang (loan), Garuda mencari-cari penyandang dana yang sanggup menalangi pembayaran tersebut. Akhirnya datang konsorsium bank di bawah pimpinan Morgan Grenfell yang bersedia mengambil alih pembelian dengan melakukan novasi pembelian untuk enam pesawat A330 tersebut.
Morgan Grenfell tak sendirian karena dalam konsorsium yang dipimpinnya tergabung beberapa lembaga keuangan yang turut menyalurkan kredit ekspor dan kredit komersial, antara lain Hermes, Cofas, Credit Lyonais dan Bank Paribas. Bantuan yang diberikan tersebut tentu tidak cuma-cuma. Sebab, Morgan tidak membutuhkan pesawat-pesawat tersebut sehingga Garuda diwajibkan mengembalikan uang Morgan yang dipinjamnya dengan membeli kembali pesawat-pesawat tersebut secara cicilan, lengkap dengan bunga pinjaman sebagaimana lazimnya pinjam meminjam uang di bank.
Karena terhalang oleh peraturan pemerintah yang tidak memungkinkan Garuda untuk melakukan kontrak pembelian pesawat dengan cara cicilan, lagi-lagi BUMN ini harus mencari akal agar dapat memiliki pesawat-pesawat tersebut tanpa memerlukan izin pemerintah. Akhirnya, diputuskan bahwa pesawat-pesawat tersebut secara formal di atas kertas akan disewa oleh Garuda. Namun karena Morgan Grenfell adalah konsorsium bank, aneh bila menyewakan pesawat kepada Garuda. Maka, didirikanlah sebuah perusahaan di atas kertas (special purpose company) oleh Morgan Grenfell, yang diberi nama GIE Sulawesi dan secara administrasi dikelola oleh Bank Paribas. Lagi-lagi Garuda bingung karena pesawat tersebut pada dasarnya harus lepas dari Morgan Grenfell, sedangkan hanya dengan menyewa pesawat saja, secara formal status pesawat akan tetap menjadi milik Morgan Grenfell yang diwakili oleh GIE Sulawesi. Akhirnya diputuskan, sewa pesawat tersebut bersifat sewa beli (financial lease) untuk jangka waktu 12 tahun. Ini berarti, Garuda harus membayar harga sewa dua kali lebih mahal dari harga sewa pesawat untuk dioperasikan, karena bagi Morgan pada tahun ke-12, pesawat-pesawat tersebut berpindah tangan ke Garuda yang berarti penghapusan aset Morgan dalam pembukuannya.
Untuk melakukan financial lease, Garuda pun harus mendapatkan izin dari pemerintah. Oknum-oknum di Garuda termasuk di bagian pengadaaan pesawat, unit keuangan dan biro hukum, lagi-lagi harus memutar otak agar transaksi ini terlihat samar. Sadar bahwa transaksi ini melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah, oknum-oknum Garuda itu menciptakan cosmetic lease yaitu transaksi financial lease yang disamarkan dalam bentuk perjanjian sewa biasa (operating lease). Sepintas isi perjanjian itu seperti sewa operasi, tetapi bila ditelusuri banyak dokumen-dokumen lain yang dibuat bersamaan dengan perjanjian sewanya, akan tampak bahwa transaksi tersebut sebetulnya merupakan transaksi pembelian yang tertunda. Financial lease ini berakibat Garuda tak bisa meremajakan pesawat karena harus membeli pesawat rongsokan yang habis masa sewanya sesuai dengan harga pasar.
Karena pembayaran sewa untuk enam pesawat tersebut terlalu mahal sehingga memberatkan, Garuda akhirnya menerima tawaran dari institusi keuangan Jepang yang tergabung dalam grup Yamasa untuk meringankan beban pembayaran sebagian pesawat tersebut selama enam tahun. Caranya, Yamasa mengambil alih sewa beli tiga pesawat yang secara formal menjadi milik GIE Sulawesi selama jangka waktu enam tahun dengan modal dengkul, karena Yamasa tidak perlu mengeluarkan uang untuk itu. Yang dilakukan tak lain menggadaikan tiga pesawat tersebut kepada Sanwa Bank. Dengan modal gadai pesawat tersebut, Yamasa mendapatkan kucuran dana dari Sanwa.
Untuk mengembalikan uang Sanwa Bank yang didapat dari hasil menggadaikan pesawat milik GIE Sulawesi selama enam tahun, Yamasa mengambil alih hak Garuda atas keuntungan yang diperoleh Garuda dari peraturan-peraturan pajak (tax benefit) di negara manapun sehubungan dengan transaksi A330 ini berdasarkan sistem Japan Leverage Lease (JLL) yang saat itu masih diberlakukan. Sistem JLL ini hanya dapat dilakukan apabila Garuda melakukan perjanjian sewa pesawat dengan perusahaan Jepang. Namun karena bukan perusahaan penyewaan pesawat, Yamasa mendirikan perusahaan di atas kertas yang diberi nama GIE Sumatera. Maka tiga dari enam pesawat A330-300 itu disewa oleh Garuda dari GIE Sumatera.
Keuntungan yang diperoleh Garuda adalah selama enam tahun bunga yang dibayar Garuda untuk sewa tiga pesawat sedikit lebih ringan daripada bunga yang dikenakan untuk tiga pesawat lainnya yang disewa dari GIE Sulawesi. Kerugiannya, selama enam tahun itu pula Garuda akan dikenai penalti atau denda yang sangat besar apabila terlambat membayar atau membatalkan isi perjanjian tiga pesawat yang disewa berasarkan JLL tersebut. Padahal pendapatan yang diperoleh Garuda dari pengoperasian enam pesawat A330 itu rata-rata hanya 30%-40%. Sedangkan untuk dapat membayar biaya sewa dan biaya operasional lain termasuk biaya perawatan, bahan bakar dan lain-lain, diperlukan target 200% dari full capacity. Dengan kata lain, keberadaan pesawat-pesawat A330 itu bukannya mendatangkan keuntungan, namun malah sangat memberatkan dan merepotkan. Risiko lain yang juga harus ditanggung apabila benar-benar tidak mampu membayar harga sewa, Garuda tidak mungkin berpaling kepada pemerintah untuk meminta jaminan (government guarentee) yang seharusnya dimintakan pada awal-awal transaksi.
Sekretaris Jenderal Serikat Karyawan Garuda (Sekjen Sekarga), Ahmad Irfan pun menegaskan, direksi Garuda memang melaporkan pembelian pesawat itu sebagai pesawat sewa kepada pemerintah sehingga ada pengeluaran biaya lebih. “Akibat pembelian itu, saat ini Garuda masih menyisakan utang senilai US$ 600 juta atau sekitar Rp 5,4 triliun. Dari sinilah awal mula mengapa Garuda merugi terus,” katanya saat ditemui Investigasi.
Sedangkan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar enggan berkomentar soal indikasi mark up pengadaan A330 itu. Yang jelas, kata Emir, tim perundingan utang Garuda yang dibentuk pemerintah akan segera menggelar pertemuan dengan ECAs. Rencananya, perwakilan ECAs akan datang ke Jakarta dalam pekan-pekan ini. Perundingan ini sebagai tindak lanjut pertemuan antara Garuda dan ECAs beberapa waktu lalu. Tim tersebut gabungan lintas instansi yang melibatkan Kementerian Negara BUMN, Departemen Keuangan dan Departemen Perhubungan. “Kami ikut dalam tim tersebut,” ujarnya ketika dihubungi via ponselnya.
Konon, indikasi mark up itu dapat digunakan tim perunding restrukturisasi utang Garuda sebagai bahan tawar-menawar dengan salah satu kreditur Garuda yaitu European Credit Agencies (ECAs). Ini mungkin saja terjadi karena ECAs pernah memberikan fasilitas kredit pembelian pesawat itu kepada Garuda. Apalagi Menteri Perhubungan Hatta Radjasa juga sempat menyatakan, salah satu proses penyelesaian utang yang layak ditempuh adalah konversi sebagian utang Garuda menjadi penyertaan saham ECAs di Garuda. Harapannya, saham itu bisa dibeli lagi oleh Garuda jika kondisi perusahaan itu telah membaik. Sedangkan upaya lain yang bisa ditempuh adalah haircut mengingat jumlah piutang yang layak dibayar oleh Garuda (sustainable debt) sekitar US$ 270 juta atau setara Rp 2,4 triliun.
Menilik laporan auditor independent Hans Tuanakotta Mustofa & Halim (2002-2003) yang ditandatangani oleh Osman Sitorus tanggal 20 Juli 2004, restrukturisasi pinjaman perusahaan yang juga mencakup penjadwalan ulang pembayaran sewa enam pesawat A330 kepada kreditur yang tergabung dalam ECAs dan bank komersial lain, Garuda juga menerbitkan wesel bayar bunga mengambang (FRN) dalam US dolar dan rupiah. Dalam penerbitan FRN ini, The Chase Manhattan Bank, London Branch bertindak sebagai Trustee. FRN tersebut jatuh tempo pada 2007 dengan tingkat bunga mengambang berdasarkan libor tiga bulanan +0,5% per tahun untuk FRN dalam US dolar dan berdasarkan tingkat bunga rata-rata deposito tiga bulanan BNI, BRI dan Bank Mandiri ditambah 1,5% untuk FRN dalam rupiah.
Garuda juga telah memperoleh persetujuan perpanjangan jangka waktu pembayaran kembali pinjaman kepada BNI sampai tahun 2007 dengan tingkat bunga berdasarkan tingkat bunga deposito rupiah tiga bulanan BNI, BRI dan Bank Mandiri ditambah marjin 1,5% dan dari Bank Mandiri sampai dengan 2007 dengan tingkat bunga berdasarkan rata-rata tingkat bunga deposito rupiah tiga bulanan (mana yang lebih tinggi) Bank Mandiri, BII dan Bank Danamon ditambah marjin 1,5%.
Mengacu perjanjian sewa guna usaha (operating lease) dalam pengadaan enam pesawat A330 (ECAs) yang jatuh tempo pada 2010, untuk menjamin pembayaran sewa guna usaha itu, Bank Mandiri menyediakan fasilitas kredit tambahan berupa fasilitas Standby Letter of Credit (SBLC) dengan jumlah maksimum US$ 100 juta. Penerima SBLC ini adalah GIE Sulawesi dan GIE Sumatera dengan klausul keduanya dapat mengalihkan hak atas SBLC tersebut kepada ECAs. Tingkat bunga per tahun sebesar 2,5% di atas biaya bank. Jangka waktu 12 bulan terhitung mulai tanggal penerbitan. Biaya provisi 2,5% per tahun dari outstanding SBLC. Fasilitas ini dijamin oleh Surat Kuasa Memasang Hipotek atas lima buah pesawat DC-10. Perusahaan diwajibkan untuk memenuhi pembatasan-pembatasan tertentu yang disyaratkan dalam perjanjian sewa guna usaha itu.
Sengkarut persoalan di PT Garuda bukan hanya itu. Kasus menonjol lain adalah penjualan kargo yang melibatkan anak perusahaan PT Garuda yaitu PT Sungai Gemuruh (SGR Air Cargo). Dalam kasus ini, seorang pejabat PT Garuda di bidang kargo berinisial SP (salah seorang Vice President di Garuda), diduga telah melakukan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) sehingga merugikan perusahaan BUMN tersebut sedikitnya US$ 1,4 juta atau sekitar Rp 14 miliar. Sebenarnya, praktik KKN itu telah berlangsung lama, namun baru terbongkar pada medio 2005 lalu.
Pejabat berinisial SP bersama teman-temannya itu disebut-sebut memiliki andil penting dalam kasus yang merugikan Garuda tersebut. Pejabat itu juga disebut-sebut backing orang penting, sehingga tidak tersentuh. Bahkan, setelah sempat dicopot dari jabatannya, pejabat itu dikembalikan lagi ke posisi jabatan semula. Para direksi di Garuda juga tidak berani melakukan tindakan terhadap SPL karena dikenal sangat dekat dengan tim sukses Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Pejabat tersebut padahal jelas telah merugikan Garuda Indonesia,” kata seorang pejabat di Garuda.
Modus yang dipakai dalam praktik KKN ini adalah kerja sama dengan sebuah perusahaan jasa angkutan kargo PT Sungai Gemuruh pada 2003 lalu. Perusahaan kargo ini sebetulnya perusahaan ecek-ecek, tapi karena ada rekayasa dan kerja sama dengan orang dalam Garuda, perusahaan yang dipimpin pengusaha bernama Daud dan Dipa cs tersebut bisa melakukan banyak manuver. Tarif kargo yang diberlakukan sangat murah dibanding dengan perusahaan kargo lain. Dari biaya angkutan kargo (airway bill) tersebut, seharusnya agen hanya mendapat insentif sebesar 5%. Tapi uang yang harusnya disetorkan ke Garuda ternyata ditahan oleh pihak agen PT Sungai Gemuruh. Karena waktunya sudah cukup lama, total yang harus dibayarkan ke Garuda pun mencapai US$ 1,4 juta.
Dalam kasus kargo ini juga terjadi permainan dalam kerjasama General Sales Agent (GSA), Garuda Satria Utama di Taiwan. Selain tata cara pemberian komisinya sebagai agen tidak sesuai dengan ketentuan asosiasi penerbangan internasional (IATA) yang berlaku, Garuda juga diwajibkan menyewa kantor berikut segala fasilitasnya kepada perusahaan tersebut seharga US$ 6.000 per bulan. Ironisnya lagi kerjasama-kerjasama dengan GSA semacam itu bersifat tak terbatas jangka waktunya karena tanggal berakhirnya perjanjian tidak ditentukan secara pasti. Untuk urusan GSA ini cukup banyak tangan-tangan sakti yang turut campur, termasuk tangan-tangan Cendana misalnya untuk kerjasama GSA Kibeka di Jepang dan GSA Sandon di RRC. Kondisi ini sempat diperbaiki di era Supandi.
Sementara itu berdasarkan laporan auditor independent Hans Tuanakotta Mustofa & Halim (2002-2003) yang ditandatangani oleh Osman Sitorus pada 20 Juli 2004, piutang usaha khusus jasa penerbangan pada poin agen kargo berjumlah Rp 70.446.018.417 pada 2003 dan Rp 54.020.161.765 untuk 2002. “Manajemen sudah menindaklanjuti kasus kargo itu. Sejumlah karyawan di bagian kargo sudah diperiksa. Mereka yang terlibat pasti ditindak,” kata Kepala Komunikasi Perusahaan PT Garuda Indonesia, Pujobroto.
Selain pengadaan A330 dan penjualan kargo, kasus dana Yayasan Kesejahteraan Pegawai (YKP) sebesar Rp 28 miliar yang diinvestasikan di anak perusahaan PT Texmaco Group tepatnya di PT Eficorp Securitas juga mencuat. Dana yang diambil di antaranya dari potongan gaji pegawai sebesar 2,5% tersebut, sejak 2005 lalu macet alias tidak pernah sampai kepada karyawan. Sekarga menilai bahwa kasus ini diwarnai muatan politis. Banyak pihak yang bermain, baik dari kalangan legislatif, eksekutif maupun intermediasi.
Berawal ketika YKP yang berdiri sejak 22 Oktober 1999 ditujukan untuk menjamin kebutuhan para karyawan Garuda. YKP yang memiliki kekayaan awal sebesar Rp 10 milyar, diperkenankan untuk melakukan investasi, salah satunya berupa reksadana bernama Dana Unggul Investasi Tepercaya (DUIT) dengan manajer investasi PT Eficorp Securitas. Investasi awal YKP di reksadana itu dilakukan pada 24 Oktober 2003 di Eficorp sebesar Rp 1.009.972.500 dan dalam sembilan bulan sejak tanggal kerjasama, telah dilakukan 17 kali penempatan dana. Sehingga, total dana YKP yang tertanam di reksadana DUIT hingga 31 Juli 2004 sebesar Rp 36.694.932.493.
Pada 16 Agustus 2004 YKP melakukan redemptiont sebesar Rp 10 milyar. Lalu pada 16 September 2004, YKP berusaha melakukan redemptiont kedua senilai Rp 16 milyar. Tetapi proses ini dibatalkan setelah YKP bertemu dengan pihak Eficorp, yang antara lain menjanjikan growth minimal 1% per bulan. Dengan penundaan redemptiont tersebut, saldo YKP per 24 Januari 2005 menjadi Rp 28.270.901.882, di mana waktu itu telah dilakukan redemptiont ketiga terhadap semua saldo investasi tetapi gagal bayar oleh Eficorp. Sebelumnya pada 17 Januari 2005 terjadi pertemuan antara pihak YKP dengan Eficorp, di mana Marimutu Sinivasan juga hadir sebagai salah seorang pemegang saham di Eficorp. Pada saat itu, Marimutu meminta penundaan pencairan redemptiont, tetapi tidak menjanjikan kapan realisasi redemptiont tersebut dilakukan. Hingga akhirnya Marimutu kabur dan menjadi daftar pencarian orang (DPO) oleh Mabes Polri berkait dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sehingga, redemptiont dikhawatirkan tidak terjadi.
“Kalau manajemen berpikir jernih, seharusnya sadar kondisi Texmaco Group itu seperti apa. Marimutu Sinivasan sendiri sekarang dalam DPO. Kami khawatir, reksadana yang masih Rp 28 milyar lebih, di Eficorp macet mengingat sampai saat ini belum ada kepastian. Ini harus diungkap KPK juga,” kata Sekjen Sekarga, Tommy Tampaty.
Sementara itu dilihat dari laporan auditor independent Hans Tuanakotta Mustofa & Halim (2002-2003) yang ditandatangani oleh Osman Sitorus pada 20 Juli 2004, PT Garuda dan salah satu anak perusahaannya yaitu Garuda Maintenance Fasility Aero Asia (GMFAA) menyelenggarakan program pemeliharaan kesehatan pensiunan bagi karyawan aktif dan karyawan yang pensiun sejak 2001. Program ini juga mencakup keluarga pensiunan yang memenuhi syarat. Program ini didanai melalui kontribusi Garuda dan GMFAA sebesar 4% dan iuran karyawan 2% dari gaji dasar karyawan tersebut dan dikelola oleh YKP. Berdasarkan hasil penelaahan kembali terhadap program tersebut, rapat direksi pada 22 Juni 2004 memutuskan untuk mengalihkan pengelolaan program ini melalui mekanisme asuransi serta kewajiban perusahaan dan GMFAA berdasarkan kontribusi yang diberikan. Perusahaan dan GMFAA mencatat kontribusi itu sebagai beban sebesar Rp 17.180.101.694 pada 2003 dan Rp 12.467.297.776 pada 2002.
Hingga saat ini, sudah tiga bulan lebih KPK menjalankan tugasnya ikut memeriksa aspek keuangan PT Garuda Indonesia, dan tidak lama lagi hasilnya bakal diketahui publik. Tinggal menunggu siapa yang bakal dicokok, diadili lalu dijebloskan ke penjara untuk menanggung akibat atas perbuatan jahatnya itu. Tetapi seriuskah KPK menjalankan tugasnya seperti Mabes Polri yang mulai galak misalnya dalam kasus korupsi yang melibatkan Dirut Jamsostek, Dirut PLN dan Dirut Pupuk Kaltim? “Kami masih menyelidiki dan investigasi sedang berlangsung. Tunggu saja hasilnya,” kata Iswan, Ketua Penyidik KPK ketika Investigasi menanyakan perkembangan pemeriksaan yang telah dilakukan.
Iswan mengungkapkan bahwa manajemen Garuda telah mengundang KPK untuk ikut memeriksa maskapai penerbangan ini, terutama dalam aspek keuangan itu (Surat Laporan Board of Management kepada Ketua KPK No.Garuda/DF-2065/05, tanggal 22 September 2005). Apalagi, BUMN yang semestinya mampu menyumbang pendapatan bagi negara ini, justru merugi terus akibat ulah oknum-oknum tamak. Dalam hal ini, sebenarnya KPK telah mendapatkan hasil pemeriksaan dari Komite Audit Garuda. “Mereka melibatkan KPK dalam pemeriksaan ini karena ingin menunjukkan keseriusan dalam membenahi PT Garuda,” ujarnya.
dion bambang arinto
http://senyumcalm.blog.com/891010/
Siap Pertaruhkan Nyawa
Kasus dugaan korupsi di PT Garuda Indonesia, kini tengah diinvestigasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada Desember 2005 lalu, data-data pendukung sudah masuk ke KPK. Namun, hingga kini, hasil investigasi tersebut belum final. Pada 24 Mei 2006 lalu, Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) pun mendatangi KPK untuk beraudiensi yang intinya memberikan dukungan dan desakan kepada salah satu lembaga yang kini menjadi momok bagi pelaku tindakan korupsi di negeri ini, agar benar-benar serius menangani kasus ini. Apa saja yang disampaikan dan bagaimana sikap Sekarga, berikut petikan wawancara Investigasi dengan Ketua Bidang Humas Sekarga yang juga Senior Financial Report Officer PT Garuda Indonesia, Tomy Tampatty.
Apa inti audiensi dengan KPK itu?
Pada 24 Mei lalu, Sekarga minta audiensi dengan Ketua KPK Taufiqurahman Ruki sebagai decision maker. Semula dijadwalkan jam 11.00, tapi diundur sampai jam 16.00. Yang menemui Direktur Penyidik KPK, Iswan. Intinya, kami menyampaikan dukungan terhadap investigasi yang sedang dilakukan KPK. Mereka sudah tiga bulan menginvestigasi Garuda.
Respon KPK?
Kami minta, investigasi itu dilakukan sungguh-sungguh dan mereka siap. Siapapun yang terlibat harus diproses secara hukum. Apalagi sudah muncul angka penjualan kargo domestik, misalnya, sebesar US$ 1,4 juta, lalu kasus Yayasan Kesejahteraan Pegawai (YKP) Rp 28 milyar lebih. Memang potensi-potensi kerugian negara cukup banyak, tapi kami belum bisa sampaikan sekarang karena menghormati kerja investigasi KPK. Kita berjanji kalau itu selesai, angka potensi kerugian negara sudah ada, kita akan ekspos ke publik. Ini perlu untuk menjawab pertanyaan publik, mengapa Garuda merugi terus padahal infrastruktur dan pengalaman sudah ada. Ini sekaligus menunjukkan dukungan kami terhadap komitmen pemerintah yang akan melakukan sapu bersih terhadap endemik korupsi di republik ini.
Proses investigasi ditargetkan sampai kapan?
Kami sudah menanyakan kepada KPK, tetapi Direktur Penyidik KPK belum memberikan deadline pasti karena investigasi butuh waktu. Tetapi yang jelas mereka berjanji serius menangani kasus Garuda dan membongkar semua penyimpangan-penyimpangan yang ada di BUMN ini.
Dalam kasus YKP sebenarnya modusnya seperti apa?
Itu kan dana kesejahteraan karyawan, dipotong dari gaji-gaji karyawan sebesar 2,5%. Memang, kewenangan diberikan kepada yayasan untuk mengelola dana tersebut. Yang terjadi di YKP, salah melakukan investasi. Mereka melakukan investasi berupa reksa dana senilai Rp 28 milyar lebih di anak perusahan Texmaco. Padahal hampir semua orang di republik ini tahu Texmaco, termasuk pemiliknya Marimutu Sinivasan yang sekarang masuk daftar cekal. Tetapi mengapa manajemen berani melakukan investasi ke sana dan terbukti macet kan. Biar fair, ya kami minta KPK mengusut termasuk kemungkinan terlibatnya orang di luar yayasan. Duitnya kan besar.
Sekarga melihat kasus ini pada saat rezim siapa?
Kayaknya jauh sebelum SBY. Jelas bukan SBY.
BUMN dikenal sebagai sapi perahan. Dalam kasus YKP, Texmaco (Eficorp Securitas) kan berperan dalam pengadaan pesawat untuk Garuda. Apakah ada kaitannya dengan Meneg BUMN saat itu?
Kita tidak melihat ke arah itu dulu. Katakanlah itu terbukti, kita serahkan kepada KPK. Bagi Sekarga dan seluruh karyawan, semua harus diungkap termasuk modusnya seperti apa. Sebab, Sekarga bersama forum dan ikatan profesi yang ada sepakat untuk memulai yang benar dalam mengelola Garuda sebagai aset bangsa yang harus dijaga. Sehingga tidak ada kompromi, lakukan sapu bersih terhadap praktik-praktik yang merugikan Garuda. Kami juga minta KPK untuk menginvestigasi kebijakan-kebijakan yang akhirnya merugikan perusahaan. Amin Rais pernah bilang korupsi di negara ini sangat sistematis dan berjamaah. Ketika rapat dengan jajaran direksi, kami menyampaikan kepada pak Emirsyah Satar, perihal komitmen pemberantasan korupsi. Secara politis kita nyatakan kita sudah siapkan tambang bagi siapapun yang terlibat untuk digantung di Monas. Tapi bukan itu tujuannya. Maksudnya, siapapun yang terlibat harus menikmati fasilitas di hotel prodeo. Tidak ada kompromi. Ini milik publik dan kita di sini punya responsibility. Apalagi potensi kerugiannya banyak. Misalnya pengelolaan penjualan tiket domestik yang juga kita pertanyakan dan KPK sedang menginvestigasinya. Tapi maaf angkanya belum bisa kita sebut karena belum selesai. Yang pasti, Sekarga pertaruhkan nyawa untuk melawan kelompok-kelompok yang merusak ini.
Mengenai penjualan kargo senilai US$ 1,4 juta?
Kasus ini terungkap pertengahan 2005 antara Mei-Juni. Kasus kargo ini, sama seperti penumpang, kita punya agen-agen dalam hal ini Sungai Gemuruh Agen. Setelah diselidiki, ternyata kita dalam posisi dirugikan. Sepertinya ada kerjasama pada intermediasi ini. Kita minta ini diinvestigasi termasuk regulasi-regulasi dalam kaitannya dengan kargo itu. Modusnya, pihak Garuda menyatakan, kalau Sungai Gemuruh Agen mencapai penjualannya sekian, Garuda kasih insentif. Begitu sampai pada hitung-hitungan insentif, dari data yang ada di Garuda, Sungai Gemuruh masuk kategori yang mendapat insentif. Atas dasar itu, keluarlah insentif senilai itu (US$ 1,4 juta). Ini memang angka akumulasi karena sudah terjadi beberapa kali. Ini tidak lain akibat regulasi yang melibatkan pihak tertentu, bahkan pihak tertentu ini berada di balik layar. Jadi susah, agak panjang serta sulit untuk terbongkar. Sehingga kalau korupnya mungkin tidak ada, tetapi ada kolusi yang membuat pihak-pihak tertentu diuntungkan. Mengapa Sekarga semangat minta KPK segera menginvestigasi, kami menyadari, Garuda going down. Bolehlah Meneg BUMN mengatakan jual, partner strategic atau apapun namanya. Tetapi ketika bagian di badan kami diberikan kepada asing, namanya dijual. Terserah terminologi yang dipakai apa, tetapi pertanyaannya, mengapa Garuda rugi terus menerus? Ada apa? Jelas, cost lebih tinggi dari revenue. Lalu kenapa cost lebih tinggi, ini jadi pertanyaan besar. Sekarga komit agar KPK mempercepat pembersihan di Garuda yang sedang default ini. Bukankah kalau sudah bersih pemerintah tenang ketika akan membuka diri bagi para investor dibanding kondisi yang dari tahun ke tahun rugi, rugi, rugi, sekali untung, lalu rugi lagi? Kalau sudah bersih, Garuda kan untung.
Soal pengadaan dua Boeing 737 NG dan enam Airbus 330 (Garuda punya utang US$ 600 juta)?
Sekarga kan sudah minta agar investigasi dilakukan menyeluruh. Termasuk pengadaan pesawat, catering, penjualan aset, maintenance pesawat dan sebagainya. Kita tidak akan menyampaikan lebih jauh soal pengadaan pesawat ini karena sekali lagi sedang diinvestigasi. Nanti kalau sudah final dan angka sudah muncul, kita ekspos ke publik. Bicara soal potensi kerugian negara, kita percayakan kepada KPK. Yang jelas SBY sangat mendukung karena sudah menjadi cerita di publik mengapa Garuda rugi dan rugi terus. Ada apa, ini harus jelas dulu.
Berkait regulasi yang berakibat memunculkan potensi kerugian negara, kan banyak posisi yang saling berkaitan?
Siapa yang membuat regulasi, dialah yang paling bertanggung jawab. Sebab di tingkat pelaksana hanya melaksanakan perintah. Yang jelas, pasti di posisi top management.
Termasuk Dirut Garuda yang juga mantan Direktur Keuangan itu?
Siapapun dia, hukum kalau memang salah. Lihat saja hasil internal audit management Garuda. Ini shock terapy yang tidak sebentar. Next kalau ada yang terbukti, hajar lagi. KPK punya pola dan standar untuk itu. Ambil contoh pada kasus YKP dan kargo sudah jelas kok bukti-buktinya. Apalagi ekspektasi publik terhadap KPK sedang tinggi. Tapi kita juga punya direct link ke TP1 (Mabes Polri). Bukankah mantan Direktur Jamsostek, Direktur Pupuk Kaltim, Direktur PLN juga bisa masuk? Kita juga diback-up eksekutif dan legislatif, karena yang dihadapi kekuatan yang sangat besar. Seluruh kekuatan kita kerahkan. Termasuk legislatif dan eksekutif yang masih merah putih, yang komit terhadap aset bangsa ini. Sebab banyak juga yang sudah abu-abu. Ketua MPR Hidayat Nurwahid juga mendukung.
Mengenai regulasi ini, perbandingan antara yang dulu dengan yang sekarang?
Maret tahun lalu Emirsyah Satar dilantik, dan pada Juli tahun yang sama kami sudah mapping persoalan. Persoalan internal ini berkait dengan regulasi-regulasi sebelumnya, notabene Emirsyah pernah menjadi Direktur Keuangan. Tapi sepertinya mereka banyak pertimbangan. Kamis lalu saat rapat, kita sempat marah, mengapa setelah mapping persoalan yang harusnya kini sampai pada sesi eksekusi, tetapi masih di diskusi? Misalnya soal intermediasi dalam kasus kargo domestik yang melibatkan pihak ketiga, itu kami nilai sangat merugikan Garuda. Ini kebijakan masa lalu, dia-dia juga. Jadi, biar fair kami minta KPK menginvestigasi. Kalau dalam kasus hukum seperti uji materilah, seperti apa hasilnya nanti. Kalau berpotensi merugikan negara, ya biar saja masuk ke hotel prodeo. Memang dilematis, tetapi kita optimis. Nawaitu itu kita benar, pasti nanti lancar. Kami nyatakan siap mempertaruhkan nyawa. Kita tahu, ada banyak yang ngga suka dan bisa bermain apa saja, tapi terserah saja. Yang penting niat kita untuk orang banyak. Kalau Garuda hancur, kan berakibat pada nasib tiga kepala bagi karyawan dan empat kepala kalau publik. Reputasi negara juga bisa hancur dalam kaitannya dengan flight carrier ini. Nah, Sekarga tidak mau tenggelam karena salah dinakhodai. Kalau perlu kaptennya yang kita tenggelamkan. Kita juga malu kok kepada masyarakat, mengapa Garuda rugi terus dan minta bantuan ke mana-mana.
Kesulitan membongkar kasus di Garuda sebenarnya apa sih?
Sama dengan membongkar kasus yang terjadi di republik ini. Kita tahu siapa yang berkuasa di republik ini, demikian juga di Garuda. Menurut analisa kita, semua tidak sendiri tapi kaitannya dengan luar sangat kuat. Orang-orang zaman dulu juga ya. Untuk itu harus ada shock terapy, agar mulai sekarang mereka berhenti berbuat yang tidak benar. dion bambang arinto
Subscribe to:
Posts (Atom)