ANGKASA N0.10 JULI 2000 TAHUN X
Copyright © 1998 Majalah Angkasa. All rights reserved
Designed by Kompas Cyber Media
http://www.angkasa-online.com/10/10/kolom/kolom1.htm
Baru-baru ini diberitakan secara luas bahwa perusahaan penerbangan BUMN Garuda dalam jangka waktu dua tahun telah menderita kerugian yang tidak kecil. Menurut penjelasan pimpinan perusahaan, itu terjadi menurut pengakuannya karena 'lalai' memperhatikan masalah biaya sewa pesawat udara, sedang perusahaan selama ini mengutamakan perhatiannya pada sisi operasionalnya.
Bagi orang awam, alasan yang dikemukakan pimpinan perusahaan itu mungkin bisa diterima sebagai alasan yang wajar-wajar saja, tidak ada masalah. Tapi bagi para pengamat atau pemerhati masalah penerbangan dan angkutan udara, alasan semacam itu sulit diterima. Mengapa bisa demikian? Karena, pertama bagi mereka (para mengamat) faham benar bahwa bidang penerbangan atau usaha angkutan udara merupakan the most integrated business antara segenap bidang kegiatan manajemen seperti pemasaran, operasi yang terdiri dari flight maupun ground operation, teknik-perawatan yang mencakup perawatan dan pemeliharaan, dan terakhir administrasi dan keuangan yang juga mencakup masalah SDM.
Jadi sulit untuk diterima bila manajemen sedang atau membenahi bidang operasi tanpa mengaitkan atau mengintegrasikannya dengan bidang-bidang lainnya. Kedua, istilah 'lalai' merupakan istilah asing atau tidak dikenal di semua bidang kegiatan perusahaan penerbangan.
Tidak sulit untuk dibayangkan bila di bidang teknik atau operasi yang mungkin bisa terjadi. Suatu 'kelalaian' betapa kecilnya, tidak mustahil dapat mengakibatkan suatu musibah yang besar. Bahkan mungkin hanya keliru menginterpretasikan atau keliru mendapat atau menerima informasi bisa mengakibatkan suatu musibah yang tidak diinginkan atau diduga sebelumnya.
Demikian pula di bidang keuangan. Keliru dalam mengambil kebijakan di bidang keuangan, seperti yang telah terjadi yakni tingginya sewa pesawat akibat mark-up atau bentuk KKN lainnya, tidak mustahil dapat menempatkan perusahaan dalam kesulitan finansial ekonomi. Mengingat dalam perusahaan penerbangan terdapat keterkaitan perimbangan antara sisi keuangan dan sisi keselamatan penerbangannya, maka sulit diharapkan perusahaan dapat mempertahankan apalagi meningkatkan tingkat keselamatan penerbangannya bila perusahaan berada dalam kesulitan finansial. Dan ini berarti meningkatkan risiko yang merugikan dilihat dari sisi pelayanan bagi kepentingan umum.
Yang sekarang perlu dipertanyakan adalah bagaimana tindakan pencegahannya agar tidak terjadi mark-up atau KKN. Solusinya adalah dengan membangun hukum baru yang belum dikenal di dalam wacana hukum perundangan di Indonesia. Bentuk hukum baru yang dimaksud adalah Regulasi Ekonomi Penerbangan.
Di Indonesia, sebuah regulasi biasanya diterjemahkan sebagai sebuah peraturan yang tingkat kekuatannya atau hirarkinya berada di bawah Undang-undang. Namun regulasi ekonomi yang dimaksud agar efektif dalam pelaksanannya harus mempunyai kekuatan hukum. Jadi harus berupa suatu undang-undang. Dengan kata lain harus memiliki sifat memaksa untuk dipatuhi atau dilaksanakan. Kita ambil contoh Aircarrier Economic Regulation (AER), yang merupakan bagian dari FAA (Federal Aviatian Act-1958). Undang-undangnya adalah FAA-1958, sedang AER merupakan suatu Bab dari FAA tersebut. FAA-1958 jelas merupakan sebuah U.U. yang berasal dari sistem hukum Anglo-Saxon dari AS.
Dengan demikian, jelas bila belum 'dikenal' di Indonesia yang sistem hukumnya masih mengacu pada sistem hukum Continental, yang merupakan 'warisan' dari sistem hukum kolonial Belanda (Eropa Barat) yang telah menjajah kita selama 350 tahun. Untuk mempersingkat dan memudahkan menyebutnya, maka selanjutnya mungkin bisa digunakan istilah Hukum Ekonomi Penerbangan tanpa mengurangi pengertian yang sebenarnya yakni Regulasi Ekonomi Penerbangan yang mempunyai kekuatan hukum seperti AER-nya FAA-1958 dari AS.
FAA-1958 dengan AER-nya diberlakukan sejak 23 Agustus 1958. Dan telah menjadi pemicu munculnya regulasi ekonomi lainnya yang mengatur bidang usaha ekonomi yang dikatagorikan sebagai public utility. Atau bidang usaha yang melayani kepentingan orang banyak, seperti BBM dan gas alam, pembangkit listrik dan distribusinya, perusahaan telepon dan telegraf antar-negara bagian, pelayanan kesehatan dan lain sebagainya.
Ada perbedaan yang sangat mendasar antara sistem hukum Continental (Eropa) dan sistem hukun Anglo-Saxon (AS). Pada sistem hukun continental, filosofinya tampak pada sifat-sifatnya yang represif, yang senantiasa cenderung melindungi yang berkuasa. Hal ini bisa dimaklumi karena yang berkuasa (waktu itu) adalah kolonial Belanda yang jelas ingin mempertahankan dan mengokohkan kekuasaannya melalui berbagai undang-undang atau sistem hukumnya.
Sedang sistem hukum Anglo Saxon selain tentunya ada sifat yang represif, namun sifat penekanannya lebih mengutamakan pada sifat-sifat yang preventif. Pasal-pasalnya merupakan rambu-rambu untuk mencegah munculnya KKN dalam segala bentuk maupun manifestasinya.
Selain mencegah terjadinya white collar crime dan corporate crime juga untuk mencegah terjadinya distorsi, keharusan memberikan proteksi bagi kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan orang perorang, serta menjamin partisipasi dan pengawasan sosial secara transparan dan demokratis.
Dengan pengalaman krisis yang multidimensi sekarang ini, bukankah sudah tiba waktunya untuk memikirkan secara serius, untuk mengalihkan sistem hukum Continental kita ke hukum Angl-Saxon bagi sistem hukum Indonesia Baru di masa mendatang. Mudah-mudahan. (Cartono Soejatman)
Monday, July 10, 2000
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment